KUMPULAN KARYA ILMIAH
( MAKALAH DAN HASIL PENELITIAN)
Untuk melengkapi berkas usulan kenaikan
pangkat /jabatan :
Nama : H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
NIP: 131 567 004
Fisip unpad
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
KATA PENGANTAR
Makalah ini mengangkat judul tentang “Strategi Perencanaan
Sumberdaya Manusia yang efektif”. Hal ini didasarkan pada suatu
pemikiran bahwa organisasi publik maupun bisnis saat ini
dihadapkan pada suatu perubahan kondisi lingkungan yang semakin
cepat . Keselarasan antara perencanaan sumber daya manusia (SDM)
dapat membangun kinerja organisasi yang mampu mengadaptasi
dengan perubahan tadi.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber
daya manusia yang efektif bukanlah pekerjaan yang mudah, dia
membutuhkan suatu pemikiran, pertimbangan jangka pendek maupun
jangka panjang. Tiga tahap perencanaan yang saling terkait, seperti
strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan. Kedua,
operational planning, yang menunjukkan demand terhadap SDM, dan
ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka
pendek dan jangka panjang yang menggabungkan program
pengembangan dan kebijaksanaan SDM.
Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia
harus disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan
untuk meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan
kenyataan dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat
dicapai. Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan
dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang
organisasi. Hal ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan
dapat berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat
cepat dan dinamis .
Dengan selesainya makalah ini ,kami ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penulisan makalah ini. Semoga bermamfaat.
Bandung, Pebruari 2007
Penulis
4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................. i
DAFTAR ISI .................................................................... ii
1. Pendahuluan .................................................................. 1
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM ....... 3
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan ................. 6
4. Tahapan Perencanaan SDM .................................................. 8
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia ... 9
6. Implementasi Perencanaan SDM........................................ 11
7. Penutup ............................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 16
5
STRATEGI PERENCANAAN
SUMBER DAYA MANUSIA YANG EFEKTIF
1. PENDAHULUAN.
Sebuah organisasi dalam mewujudkan eksistensinya dalam rangka
mencapai tujuan memerlukan perencanaan Sumber daya manusia yang efektif.
Suatu organisasi, menurut Riva’i( 2004:35) “tanpa didukung pegawai/karyawan
yang sesuai baiik segi kuantitatif,kualitatif, strategi dan operasionalnya ,maka
organisasi/perusahaan itu tidak akan mampu mempertahankan keberadaannya,
mengembangkan dan memajukan dimasa yang akan datang”.
Oleh karena itu disini diperlukan adanya langkah-langkah
manajemen guna lebih menjamin bahwa organisasi tersedia tenaga kerja
yang tepat untuk menduduki berbagai jabatan, fungsi, pekerjaan yang
sesuai dengan kebutuhan . Perencanaan sumber daya manusia (Human
Resource Planning) merupakan proses manajemen dalam menentukan
pergerakan sumber daya manusia organisasi dari posisi yang diinginkan di
masa depan, sedangkan sumber daya manusia adalah seperangkat
proses-proses dan aktivitas yang dilakukan bersama oleh manajer sumber
daya manusia dan manajer lini untuk menyelesaikan masalah organisasi
yang terkait dengan manusia.
Tujuan dari integrasi system adalah untuk menciptakan proses
prediksi demand sumber daya manusia yang muncul dari perencanaan
strategik dan operasional secara kuantitatif, dibandingkandengan prediksi
6
ketersediaan yang berasal dari program-program SDM. Oleh karena itu,
perencanaan sumber daya manusia harus disesuaikan dengan strategi
tertentu agar tujuan utama dalam memflitasi keefektifan organisasi dapat
tercapai..
Strategi bisnis di masa yang akan datang yang dipengaruhi
perubahan kondisi lingkungan menuntut manajer untuk mengembangkan
program-program yang mampu menterjemahkan current issues dan
mendukung rencana bisnis masa depan. Keselarasan antara bisnis dan
perencanaan sumber daya manusia (SDM) dapat membangun
perencanaan bisnis yang pada akhirnya menentukan kebutuhan SDM.
Beberapa faktoreksternal yang mempengaruhi aktivitas bisnis dan
perencanaan SDM, antara lain: globalisasi, kemajuan teknologi,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan komposisi angkatan kerja.
Perubahan karakteristik angkatan kerja yang ditandai oleh berkurangnya
tingkat pertumbuhan tenaga kerja, semakin meningkatnya masa kerja bagi
golongan tua, dan peningkatan diversitas tenaga kerja membuktikan
perlunya kebutuhan perencanaan SDM. Dengan demikian, proyeksi
de3mografis terhadap angkatan kerja di masa depan akan membawa
implikasi bagi pengelolaan sumber daya manusia yang efetif.
Peramalan kebutuhan sumber daya manusiadi masa depan serta
perencanaan pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia tersebut
merupakan bagian dalam perencanaan sumber daya manusia yang
meliputi pencapaian tujuan dan implementasi program-program. Dalam
perkembangannya, perencanaan sumber, perencanaan sumber manusia
7
juga meliputi pengumpulan data yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi keefektrifan program-program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencanaan bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program pada saat diperlukan. Tujuan utama
perencanaan adalah memfasilitasi keefektifan organisasi, yang harus
diintegrasikan dengan tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka
panjang organisasi (Jackson & Schuler, 1990). Dengan demikian,
perencanaan sumber daya manusia merupakan suatu proses
menterjemahkan strategi bisnis menjadi kebutuhan sumber daya manusia
baik kualitatif maupun kuantitatif melalui tahapan tertentu.
2. Berbagai Pengertian dan Strategi Perencanaan SDM
Mondy & Noe (1995) mendefinisikan Perencanan SDM sebagai
proses yang secara sistematis mengkaji keadaan sumberdaya manusia
untuk memastikan bahwa jumlah dan kualitas dengan ketrampilan yang
tepat, akan tersedia pada saat mereka dibutuhkan”. Kemudian Eric Vetter
dalam Jackson & Schuler (1990) dan Schuler & Walker (1990)
mendefinisikan Perencanaan sumber daya manusia (HR Planning)
sebagai; proses manajemen dalam menentukan pergerakan sumber daya
manusia organisasi dari posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di
masa depan. Dari konsep tersebut, perncanaan sumber daya manusia
dipandang sebagai proses linear, dengan menggunakan data dan proses
masa lalu (short-term) sebagai pedoman perencanaan di masa depan
(long-term).
8
Dari beberapa pengertian tadi ,maka perencanaan SDM adalah
serangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan
strategis yang berkaitan dengan peramalan kebutuhan tenaga
kerja/pegawai dimasa yang akan datang dalam suatu organisasi
(publik,bisnis ) dengan menggunakan sumber informasi yang tepat guna
penyediaan tenaga kerja dalam jumlah dan kualitas sesuai yang
dibutuhkan.
Adapun dalam perencanaan tersebut memerlukan suatu strategi
yang didalamnya terdapat seperangkat proses-proses dan aktivitas yang
dilakukan bersama oleh manajer sumber daya manusia pada setiap level
manajemen untuk menyelesaikan masalah organisasi guna meningkatkan
kinerja organisasi saat ini dan masa depan serta menghasilkan
keunggulan bersaing berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalah memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat,sehingga hal tersebut harus disesuaikan
dengan rencana organisasi secara menyeluruh.
Untuk merancang dan mengembangkan perencanaan sumber daya
manusia yang efektif menurut Manzini (1996) untuk, terdapat tiga tipe
perencanaan yang saling terkait dan merupakan satu kesatuan sistem
perencanaan tunggal.
Pertama, strategic planning yang bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan organisasi dalam lingkungan persaingan,
Kedua, operational planning, yang menunjukkandemand terhadap SDM, dan
9
Ketiga, human resources planning, yang digunakan untuk memprediksi
kualitas dan kuantitas kebutuhan sumber daya manusia dalam jangka pendek
dan jangka panjang yang menmggabungkan program pengembangan dan
kebijaksanaan SDM.
Perencanaan sumber daya manusia dengan perencanaan strategik
perlu diintegrasikan untuk memudahkan organisasi melakukan berbagai
tindakan yang diperlukan ,manakala terjadi perubahan dan tuntutan
perkembangan lingkungan organisasi yang demikian cepat . Sedangkan
tujuan pengintegrasian perencanaan sumber daya manusia adalah untuk
mengidentifikasi dan menggabubungkan faktor-faktor perencanaan yang
saling terkait, sistematrik, dan konsisten. Salah satu alasan untuk
mengintegrasikan perencanaan sumber daya manusia dengan
perencanaan strategik dan operasional adalah untuk mengidentifikasi
human resources gap antara demand dan supply, dalam rangka
menciptakan proses yang memprediksi demand sumber daya manusia
yang muncul dari perencanaan strategik dan operasional secara kuantitatif
dibandingkan dengan prediksi ketersediaan yang berasal dari programprogram
SDM.
Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia organisasi di masa depan
ditentukan oleh kondisi faktor lingkungan dan ketidakpastian, diserta tren
pergeseran organisasi dewasa ini. Organisasi dituntut untuk semakin
mengandalkan pada speed atau kecepatan, yaitu mengupayakan yang
terbaik dan tercepat dalam memenuhi kebutuhan tuntutan/pasar (Schuler
& Walker, 1990).
10
3. Manfaat Pengembangan SDM di Masa Depan
Pimpinan yang secara teratur melakukan proses pengembangan
strategi sumber daya manusia pada organisasinya akan memperoleh
manfaat berupa distinctive capability dalam beberapa hal dibandingkan
dengan mereka yang tidak melakukan, seperti :
Yang sifatnya strategis yakni :
1. Kemampuan mendifinisikan kesempatan maupun ancaman bagi
sumber daya manusia dalam mencapai tujuan bisnis.
2. Dapat memicu pemikiran baru dalam memandang isu-isu sumber
daya manusia dengan orientasi dan mendisdik patisipan serta
menyajikan perluasan perspektif.
3. Menguji komitmen manajemen terhadap tindakan yang dilakukan
sehingga dapat menciptakan proses bagi alokasi sumber daya
program-program spesifik dan aktivitas.
4. Mengembangkan “sense of urgency” dan komitmen untuk
bertindak.
Kemudian yang sifatnya opersional ,perencanaan SDM dapat
bermamfaat untuk :
1. Meningkatkan pendayagunaan SDM guna memberi kontribusi
terbaik,
2. Menyelaraskan aktivitas SDM dengan sasaran organisasi agar
setiap pegawai/tenaga kerja dapat mengotimalkan potensi dan
ketrampilannya guna meningkatkan kinerja organisasi,
11
3. Penghematan tenaga,biaya, waktu yang diperlukan ,sehingga
dapat meningkatkan efisiensi guna kesejahteraan
pegawai/karyawan.(Nawawi, 1997: 143)
Adapun pola yang dapat digunakan dalam penyusunan strategi
sumber daya manusia organisasi di masa depan antara lain , (Schuler &
Walker, 1990) :
· Manajer lini menangani aktivitas sumber daya manusia (strategik dan
manajerial), sementara administrasi sumber daya manusia ditangani oleh
pimpinan unit teknis operasional.
· Manajer lini dan Biro kepegawaian/ sumber daya manusia saling berbagi
tanggung jawab dan kegiatan, dalam kontek manajer lini sebagai pemilik
dan sumber daya manusia sebagai konsultan.
· Departemen sumber daya manusia berperan dalam melatih manajer
dalam praktik-praktik sumber daya manusia dan meningkatkan kesadaran
para manajer berhubungan dengan HR concerns
4. Tahapan Perencanaan SDM
Menurut Jackson dan Schuler (1990), perencanaan sumber daya manusia
yang tepat membutuhkan langkah-langkah tertentu berkaitan dengan aktivitas
perencanaan sumber daya manusia menuju organisasi modern. Langkahlangkah
tersebut meliputi :
1.Pengumpulan dan analisis data untuk meramalkan permintaan
maupun persediaan sumber daya manusia yang diekspektasikan
bagi perencanaan bisnis masa depan.
2.Mengembangkan tujuan perencanaan sumber daya manusia
12
3.Merancang dan mengimplementasikan program-program yang dapat
memudahkan organisasi untuk pencapaian tujuan perencanaan
sumber daya manusia
4.Mengawasi dan mengevaluasi program-program yang berjalan.
Keempat tahap tersebut dapat diimplementasikan pada pencapaian
tujuan jangka pendek (kurang dari satu tahun), menengah (dua sampai
tiga tahun), maupun jangka panjang (lebih dari tiga tahun).
Rothwell (1995) menawarkan suatu teknik perencanaan sumber
daya manusia yang meliputi tahap :
(1) investigasi baik pada lingkungan eksternal, internal, organisasional:
(2) forecasting atau peramalan atas ketersediaan supply dan demand
sumber daya manusia saat ini dan masa depan;
(3) perencanaan bagi rekrumen, pelatihan, promosi, dan lain-lain;
(4) utilasi, yang ditujukan bagi manpower dan kemudian memberikan
feedback bagi proses awal. Sementara itu, pendekatan yang digunakan
dalam merencanakan sumber daya manusia adalah dengan actiondriven
,yang memudahkan organisasi untuk menfokuskan bagian
tertentu dengan lebih akurat atau skill-need, daripada melakukan
perhitungan numerik dwengan angka yang besar untuk seluruh bagian
organisasi.
Perencanaan sumber daya manusia umumnya dipandang sebagai
bciri penting dari tipe ideal model MSDM meski pada praktiknya tidak
selalu harus dijadikan prioritas utama. Perencanaan sumber daya manusia
merupakan kondisi penting dari “integrasi bisnis” dan “strategik,”
implikasinya menjadi tidak sama dengan “manpower planning” meski
13
tekniknya mencakup hal yang sama. Manpower planning menggambarkan
pendekatan tradisional dalam upaya forecasting apakah ada
ketidaksesuaian antara supply dan demand tenaga kerja, serta
merencanakan penyesuaian kebijakan yang paling tepat. Integrasi antara
aspek-aspek perencanaan sumber daya manusia terhadap pengembangan
bisnis sebaiknya memastikan bahwa kebutuhan perencanaan sumber daya
manusia harus dilihat sebagai suatu tanggung jawab lini.
5. Kesenjangan dalam Perencanaan Sumber daya Manusia
Dalam perencanaan SDM tidaklah semudah apa yang
dibayangkan, kendati telah ada perhitungan dan pertimbangan
berdasarkan kecenderungan dan data yang tersedia, tapi kemelencengan
bisa saja terjadi. Hal ini wajar karena selain adanya dinamika organisasi
juga adanya perubahan faktor lingkungan , kebijakan yang tidak
diantisipasisi sebelumnya. Proses perencanaan sering tidak berjalan
sebagaimana mestinya, karena kebijakan perencanaan tidak dibuat secara
detil, sehingga terjadi kesenjangan antara kebijakan sebelumnya dengan
aspek teknis operasional secara empiris . Persoalan yang dihadapi dalam
perencanaan sumber daya manusia dalam pengembangan dan
implementasinya dari strategi sumber daya manusia dapat dikelompokkan
ke dalam empat permasalah (Rothwell, 1995) :
Pertama, perencanaan menjadi suatu problema yang dirasa tidak
bermanfaat karena adanya perubahan pada lingkungan eksternal
14
organisasi, meskipun nampak adanya peningkatan kebutuhan bagi
perencanaan.
Kedua, realitas dan bergesernya kaleidoskop prioritas kebijakan dan
strategi yang ditentukan oleh keterlibatan interes group yang memiliki
power.
Ketiga, kelompok faktor-faktor yang berkaitan dengan sifat manajemen
dan ketrampilan serta kemampuan manajer yang memiliki preferensi bagi
adatasi pragmatik di luar konseptualisasi, dan rasa ketidakpercayaan
terhadap teori atau perencanaan, yang dapat disebabkan oleh kurangnya
data, kurangnya pengertian manajemen lini, dan kurangnya rencana
korporasi.
Keempat, pendekatan teoritik konseptual yang dilakukan dalam pengujian
kematangan perencanaan sumber daya manusia sangat idealistik dan
preskriptif, di sisi lain tidak memenuhi realita organisasi dan cara manajer
mengatasi masalah-masalah spesifik.
Permasalahan tersebut merupakan sebuah resiko yang perlu
adanya antisipasi dengan menerapkan aspek fleksibilitas ,manakala terjadi
kesenjangan di lapangan. Namun sedapat mungkin manajer telah
menyiapkan langkah-langkah antisipasi secara cermat setiap
perkembangan yang terjadi , karena pada dasarnya sebuah bangunan
perencanaan SDM tidak harus dibongkar secara mendasar , jika ada
kekurangan dan kelemahan ,tentu ada upaya mengatasi jalan keluar yang
terbaik. Oleh karena itu diperlukan analisis terhadap perencanaan yang
dibuat dengan menreapkan analisi SWOT.
15
6. Implementasi Perencanaan SDM
Pemilihan teknik merupakan starting point dalam melaksanakan
berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gaya manajeral, nilai dan
budaya secara keseluruhan. Beberapa teknik perencanaan sumber daya
manusia (Nursanti, 2002 : 61) dapat diimplementasikan dalam proses
rekrutmen dan perencanaan karir.
a. Rekrutmen
Identifikasi kemungkinan ketidakcocokan antara supply dan demand
serta penyesuaian melalui rekrutmen, sebelumnya dilihat sebagai alasan
perencanaan manpower tradisional. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
baru yang mempertimbangkan kombinasi kompetensi karyawan melalui
pengetahuan, keterampilan dan sikap dan pengalaman yang dimiliki.
Perencanaan MSDM dapat dijadikan petunjuk dan memberikan wawasan
masa yang akan datang bagi orang-orang yang diperlukan untuk
m,enyampaikan produk-produk inovatif atau pelayanan berkualitas yang
difokuskan melalui strategi bisnis dalam proses rekrutmen.
b. Perencanaan Karir
Hal ini membutuhkan pengertian proses-proses yang diintegrasikan
pada karekteristik individual dan preferensi dengan implikasinya pada :
budaya organisasi, nilai dan gaya, strategi bisnis dan panduan, struktur
organisasi dan perubahan, sistem reward, penelitian dan sistem
pengembangan, serat penilaian dan sistem promosi. Beberapa organisasi
dewasa ini menekankan pada tanggung jawab individual bagi
16
pengembangan karir masing-masing. Sistem mentoring formal maupun
informal diperkenalkan untuk membantu pencapaian pengembangan karir.
Seberapa jauh fleksibelitas dan efisiensi organisasi ditentukan oleh
kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun pasar tenaga kerja.
c. Evaluasi Perencanaan SDM
Perencana sumber daya manusia dapat digunakan sebagai indikator
kesesuaian antara supply dan demand bagi sejumlah orang-orang yang
ada dalam organisasi dengan keterampilan yang sesuai : perencanaan
sumber daya manusia juga berguna sebagai “early warning” organisasi
terhadap implikasi strategi bisnis bagi pengembangan sumber daya
manusia dengan melakukan audit terhadap SDM. Teknik-teknik yang dapat
digunakan dalam evaluasi perencanaan sumber daya manusia meliputi :
a. Audit sederhana terhadap sasaran apaqkah memenuhi tujuan,
kekosongan terisi, biaya berkurang, dan sebagainya. Sedangkan
tingkat audit tergantung pada tujuan organisasi dan seberapa jauh
analisis terhadap keberhasilan maupunb penyimpangan dapat
dilakukan.
b. Evaluasi sebagai bagian dari tinjauan prosedur organisasi lain sesuai
standar penggunaan :
a. Prosedur total kualitas; perlu bagi kebutu8han pengawasan dan
dapat menggambarkan atensi bagi ketidakcukupan SDM
17
b. Prosedur investasi manusia; perlu pengawasan bagi hasil pelatihan
terhadap analisis kebutuhan pelatihan bagi seluruh karyawan
berbasis kontinyuitas.
c. Pendekatan analitis bagi utilisasi sumber daya manusia dan
pengawasan hasil
c. Evaluasi sebagai bagian dari audit komunikasi generalv atau survai
sikap karyawan
d. Dimasukkannya hal-hal berikut sebagai bagian audit yang lebih luas
atau tinjauan fungsi SDM :
· Nilai tambah yang diperoleh organisasi, misalnya dalam
mengembangkan manusia atau pengurangan perpindahan tenaga
kerja.
· Dalam pemenuhan target departemen sumber daya manusia atau
penetapan fungsi
· Dalam pengwasan pencapaian “equal opportunity target” dalam hal
gender atau ras
· Sebagai bagian bentuk internal atau eksternal bench-marking
komporasi dari perencanaan sumber daya manusia yang digunakan
dan outcomes dalam bagian lain di organisasi yang sama
e. Melakukan review atas penilaian individu.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tujuan perencanaan
sumber daya manusia adalh memastikan bahwa orang yang tepat berada
pada tempat dan waktu yang tepat, sehingga hal tersebut harus
18
disesuaikan dengan rencana organisasi secara menyeluruh. Salah satu
hasil evaluasi penerapan program jangkan panjang dapat ditujukan bagi
perencanaan program suksesi.
7 . Penutup.
Berdasarkan uraian sebelumnya, pada bab ini penulis
mengemukakan beberapa kesimpulan :
1. Perencanaan sumber daya manusia (Human Resource Planning)
merupakan salah satu fungsi dalam Manajemen Sumberdaya manusia
yang mengorientasi pada bagaimana menyusun langkah-langkah
strategi menyiapkan sumberdaya manusia (pegawai/karyawan) dalam
suatu organisasi secara tepat dalam jumlah dan kualitas yang
diperlukan .Perencanaan SDM sebagai; proses manajemen dalam
menentukan pergerakan sumber daya manusia organisasi dari
posisinya saat ini menuju posisi yang diinginkan di masa depan dengan
menggunakan data sebagai pedoman perencanaan di masa depan .
2. Perencanaan sumber daya manusia awal difokuskan pada perencanaan
kebutuhan sumber daya manusia di masa depan serta cara pencapaian
tujuannya dan implementasi program-program, yang kemudian
berkembang, termasuk dalam hal pengumpulan data untuk
mengevaluasi keefektifan program yang sedang berjalan dan
memberikan informasi kepada perencana bagi pemenuhan kebutuhan
untuk revisi peramalan dan program daat diperlukan.
3. Dalam pelaksanaannya, perencanaan sumber daya manusia harus
disesuaikan dengan strategi tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk
19
meminimalisikan adanya kesenjangan agar tujuan dengan kenyataan
dan sekaligus menfasilitasi keefektifan organisasi dapat dicapai.
Perencanaan sumber daya manusia harus diintegrasikan dengan
tujuan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang organisasi. Hal
ini diperlukan agar organisasi bisa terus survive dan dapat berkembang
sesuai dengan tuntutan perubahan yang sangat cepat dan dinamis .
20
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, S.E., & Schuler, R.S. 1990. Human Resource Planning:
Challenges for Industrial/Organization Psychologists. New York,
West Publishing Company .
Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management,
Massahusetts, Allyn & Bacon
Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan SDM ,
dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, Amara books.
Purnama, N. 2000. Membangun Keunggulan Bersaing Melalui Integrasi
Perencanaan Strategik dan Perendanaan SDM. Jakarta,
Usahawan, 7(29):3-8
Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk
Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo Persada.
Rothwell, S. 1995. Human Resource Planning. In J. Storey (ED). Human
Resource Management: A Critical Text . London: Routledge
Schuler. R.S., & Walker, J.W. 1990. Human Resource Strategy: Focusing
on Issues and Actions. Organizational Dynamics, New York, West
Publishing Company .
21
PERANAN KOMPETENSI DALAM
PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERISTAS PADJADJARAN
2006
22
KATA PENGANTAR
Makalah dengan mengmbil judul tentang “Peranan
Kompetensi Dalam Pengembangan Manajemen SDM” didasarkan
pada suatu pemikiran bahwa permasalahan kompetensi merupakan
wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi dihadapkan
pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap
manajer kecuali bagaimana organisasi mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik
lebih pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi
masyarakat ,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan
citra yang baik dimata masyarakat.
Karakteristik yang diperlukan dalam Organisasi publik
dewasa ini adalah kompetensi di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai
wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap
perilaku (attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja
organisasi. Karakteristik kompetensi tersebut amat membantu
keberhasilan organisasi dalam membawa misinya dengan
memperhatikan keterkaitan dengan seleksi, perencanaan suksesi.
Namun demikian, peranan kompetensi bagi organisasi tidak akan
mampu memacu produktivitas yang tinggi tanpa dibarengi sistem
penghargaan dan evaluasi kinerja yang terukur.
Dalam penulisan makalah ini tentu
masih ada kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan. Semoga.
Bandung, Desember 2006
Penulis
23
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................ ii
1. Pendahuluan....................................................................... 1
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis .............. 2
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi ........................ 4
4. Model Kompetensi dalam Manajemen SDM ..................... 7
5. Beberapa Kompetensi yg dibutuhkan untuk Masa Depan.. 11
6.Penutup ............................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 18
24
PERANAN KOMPETENSI DALAM PENGEMBANGAN
MANAJEMEN SUMBERDAYA MANUSIA
1. Pendahuluan.
Permasalahan kompetensi dalam kaitannya dengan pengembangan
SDM merupakan wacana yang tengah berkembang, ketika organisasi
dihadapkan pada berbagai tantangan dan persaingan yang semakin tajam.
Organisasi di negara maju telah menunjukkan keberhasilan dengan
menggunakan praktek pengelolaan SDM yang efektif melalui cara
peningkatan keterampilan dan keahlian SDM .
Dalam pengelolaan SDM suatu organisasi di era kompetisi ini
memberi kesadaran bahwa dunia kerja masa kini dan yang akan datang
telah mengalami perubahan. Peran SDM dalam organisasi mempunyai arti
yang sama pentingnya dengan pekerjaan itu sendiri, sehingga interaksi
antara organisasi dan SDM menjadi fokus perhatian para pimpinan di
berbagai tingkatan manajemen dan berbagai organisasi baik publik
maupun bisnis. Karenanya penting untuk mengadopsi dan
mensosialisasikan nilai-nilai (values) baru yang sesuai dengan tuntutan
lingkungan organisasi kepada semua unsur dalam organisasi. Ancok
dalam Usmara (2002, 139) menyebutkan pergeseran pandangan tentang
SDM sebagai refleksi dari adanya revitalisasi peran SDM dalam kegiatan
organisasi yang memandang “manusia tidak lagi dianggap sebagai biaya
tetapi dianggap sebagai aset (modal), Karyawan tidak lagi difokuskan
untuk ‘berkompetensi’ pada kemajuan diri sendiri, tetapi lebih pada
kerjasama untuk kepentingan bersama”. Inilah konsekwensi dari
25
pergeseran pardigma manajemen sebagaimana dikatakan Alfin Tofler
memasuki ke gelombang ke tiga (third wave) dalam manajemen (termasuk
dalam manajemen SDM).
2. Konsep Kompetensi dalam perspektif historis
Perkembangan kompetensi sebagai konsep maupun praktek dalam
manajemen tidak dapat dipisahkan dengan sejarah perkembangan
Manajemen Sumberdaya Manusia itu sendiri. Timbulnya teori motivasi
pada dekade empat puluhan dengan Maslow sebagai pelopornya
merupakan bukti konkrit bahwa penekanan pentingnya sumberdaya
manusia sebagai aset,potensi yang memiliki pengaruh besar terhadap
kemajuan organisasi di sektor bisnis maupun publik. Salah satu kebutuhan
yang diperlukan perusahaan/organisasi adalah menyangkut kompetensi
SDM. Hal ini mengingat kini organisasi menghadapi berbagai kemajuan di
bidang informasi dan teknilogi sehingga diperlukan orang yang memiliki
keahlian tertentu.
Istilah “kompetensi” sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Menurut
Organisasi Industri Psikologi Amerika (Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
gerakan tentang kompetensi telah dimulai pada tahun 1960 dan awal 1970.
Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa
hasil test sikap dan pengetahuan, prestasi belajar di sekolah dan diploma
tidak dapat memprediksi kinerja atau keberhasilan dalam kehidupan.
Unsur tersebut sering menimbulkan bias terhadap minoritas, wanita dan
orang yang berasal dari strata sosio ekonomi yang rendah.
26
Temuan tersebut telah mendorong dilakukan penelitian terhadap
variabel kompetensi yang diduga memprediksi kinerja individu dan tidak
bias dikarenakan faktor rasial, jender dan sosio ekonomi. Oleh sebab itu
beberapa prinsip yang perlu diperhatikan adalah :
· Membandingkan individu yang secara jelas berhasil di dalam
pekerjaannya dengan individu yang tidak berhasil. Melalui cara ini
perlu diidentifikasikan karakteristik yang berkaitan dengan
keberhasilan tersebut.
· Mengidentifikasikan pola perilaku individu yang berhasil. Pengukuran
kompetensi harus menyangkut reaksi individu terhadap situasi yang
terbuka ketimbang menggantungkan kepada pengukuran responden
seperti test “multiple choice” (pilihan ganda) yang meminta individu
mem8ilih alternatif jawaban. Prediktor yang terbaik atas apa yang
dapat dilakukan oleh seseorang adalah mengetahui apa yang
dipikirkan individu secara spontan dalam situasi yang tudak terstrutur.
(Mitrani, Palziel, and Fitt, 1992)
Pertanyaan yang harus di jawab atas permasalahan tersebut
adalah jika cara klasik menggunakan pengukuran sikap tidak
memprediksi kinerja. Menurut David Mc. Clellands dalam (Mitrani, Palziel,
and Fitt, 1992), yang harus dilakukan adalah:
Pertama, mencari individu yang memiliki kinerja yang tinggi, dan
membandingkannya dengan individu yang berkinerja rendah.
Kedua, mengembangkan teknik Behavioral Event Interview (BEI)
yang menggabungkan teknik seleksi sebelumnya (critical incident
method) dalam teknik yang baru. Falnagan lebih tertarik untuk
mengindentifikasikan unsur tugas dalam pekerjaan, sementara
Mc.Clelland lebih tertarik kepada karakteristik SDM yang
27
melakukan pekerjaan dengan baik. Teknik BEI meminta individuindividu
untuk memikirkan beberapa aspek penting atas keadaan
yang berkaitan dengan pekerjaannya sehingga menimbulkan hasil
yang baik atau buruk.
Ketiga, menganalisis transkrip BEI atas informasi tentang
keberhasilan dan ketidakberhasilan para pemim[pin untuk
mengindentifikasi karakteristik yang membedakan kedua sampel
tersebut. Analisis biasanya lebih ditekankan kepada perilaku yang
menunjukkan kinerja yang tinggi ketimbang yang rata-rata.
Perbedaan kedua karakteristik tersebut diterjemahkan kedalam
tujuan dan definisi sistem skoring yang dapat dipercaya oleh
masing-masing pengamat.
Adapun esensi dari teori Mc.Clelland tentang pendekatan penilaian
kompetensi terhadap job analisys, bahwa penelitian lebih menekankan
kepada orang-orang yang melakukan pekerjaan dan berkinerja baik, dan
mendifinisikan job berdasarkan karakteristik dan perilaku orang-orang
tersebut, ketimbang menggunakan pendekatan tradisional dengan
menganalisis unsur yang ada dalam job tersebut.
3. Pengertian dan karakteristik Kompetensi
Kompetensi didefenisikan (Mitrani et.al, 1992; Spencer and
Spencer, 1993) ; “an underlying characteristics of an individual which is
related to criterion-referenced effective and or superior performance in a
job or situation (sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan
berkaitan dengan efetivitas kinerja individu dalam pekerjaannya ).
Berdasarkan difinisi tersebut bahwa kata “ underlying charateristic”
mengandung makna kompetensi adalah bagian kepribadian yang
mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat
diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Sedangkan kata
“causally related” berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan
28
atau memprediksi perilaku dan kinerja. Sedangkan kata “Criterionreferenced”
mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya
memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari
kriteria atau standar yang digunakan. Misalnya, kriteria volume penjualan
yang mampu dihasilkan oleh seseorang tenaga.
Kompetensi dapat berupa penguasaan masalah, ketrampilan
kognitif maupun ketrampilan perilaku, tujuan,perangai, konsep diri, sikap
atau nilai. Setiap orang dapat diukur dengan jelas dan dapat ditunjukkan
untuk membedakan perilaku unggul atau yang berberstasi rata-rata.
Penguasaan masalah dan ketrampilan relatif mudah diajarkan, mengubah
sikap dan perilaku relatif lebih sukar. Sedangkan mengubah tujuan dapat
dilakukan tetapi prosesnya panjang,lama dan mahal.
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui
tingkat kinerja yang diharapkan untuk katagori baik atau rata-rata.
Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat
dijadikan dasar bagi proses seleksi, suksesi perencanaan, evaluasi kinerja
dan pengembangan SDM. Menurut Spencer and Spencer (1993), Mitrani
et. Al, (1992), terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu :
· “Knowledge” adalah informasi yang memiliki seseorang untuk bidang
tertentu. Pengetahuan (knowledge) merupakan kompetensi yang
kompleks. Skor atas tes pengetahuan sering gagal untuk memperidiksi
kinerja SDM karena skor tersebut tidak berhasil mengukur
pengetahuan dan keahlian seperti apa seharusnya dilakukan dalam
pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk
memilih jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah
seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya.
· “Skill” adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu
baik secara pisik maupun mental. Misalnya, seorang dokter gigi secara
29
pisik mempunyai keahlian untuk mencabut dan menambal gigi tanpa
harus merusak saraf. Selain itu kemampuan seorang programer
komputer untuk mengorganisasikan 50.000 kode dalam logika yang
sekuensial.
· Motives adalah drive, direct and`select behavior to ward certain
actions or goals and away from other Seseorang memiliki motif
berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang
memberikan tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh
untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk
memperbaikii dirinya.
· “Traits” adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau
bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu.
Misalnya percaya diri (self-confidence), kontrol diri (self-control),
steress resistance, atau hardiness (ketabahan / daya tahan)
· “Self-Concept” adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui
bagaimana value (nilai) yang dimiliki seseorang, apa yang menarik bagi
seseorang melakukan sesuatu. Seseorang yang dinilai menjadi “leader”
seyogyanya memiliki perilaku kepemimpinan sehingga perlu adanya tes
tentang leadership ability.
Dalam kaitannya dengan karakteristik ke lima kompetensi tadi,
maka dapat dikatakan adanya 3 kecenderungan yang terjadi:
Pertama , bahwa kompetensi pengetahuan (Knowledge Competencies) dan
kahlian (Skill Competencies) cenderung lebih nyata (visible) dan relatip
berada di permukaan sebagai salah satu karakteristik yang dimiliki
manusia. Oleh karenanya kompetensi pengetahuan dan keahlian relatif
mudah untuk dikembangkan sehingga program pelatihan merupakan cara
yang baik untuk menjamin tingkat kemampuan SDM.
Kedua, motif kompetensi dan “trait” berada pada “personality iceberg”
sehingga cukup sulit untuk dinilai dan dikembangkan sehingga salah satu
cara yang paling efektif adalah memilih karakteristik tersebut dalam proses
seleksi.
30
Ketiga, self-concep (konsep diri), trait (watak / sifat) dan motif kompetensi
lebih tersembunyi (hidden), dalam (deeper) dan berada pada titik central
kepribadian seseorang (Spencer and Spencer, 1993). Konsep diri (selfconcept)
terletak diantara keduanya. Sedangkan sikap dan nilai (values)
seperti percaya diri “self-confidence” (seeing ones self as a “manajer”
instead of a “technical/profesional”) dapat dirubah melalui pelatihan,
psikoterapi sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan sulit.
Dengan melihat kecenderungan di atas, maka dapat memberikan
gambaran pada manajemen bagaimana upaya meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
Disisi lain bahwa karakteristik tersebut memiliki hubungan satu dengan
yang lain yang saling menentukan.
4. Model Kompetensi dan Pendekatan yang Terintegrasi dalam
ManajemenSumber Daya Manusia.
Model kompetensi adalah suatu cara bagaimana memetakan suatu
sistem pemikiran yang dapat memberi gambaran terintegrasi mengenai
kompetensi kaitannya dengan strategi manajemen SDM. Dalam konteks
strategi manajemen SDM tersebut terdapat beberapa unsur terkait yakni
1. sistem rekruitmen dan seleksi, 2. Penempatan dan rencana suksesi, 3.
Pengembangan karier 4, Kompensasi . Adapun penjelasan selanjutnya
sebagai berikut :
Pertama, sistem rekruitmen dan seleksi .
31
Sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi biasanya memusatkan
pada metode seleksi yang dapat digunakan untuk memilih sejumlah calon
dari populasi pelamar yang cyukup besar secara cepat dan efisien. Seleksi
dalam proses rekrutmen memerlukan tantangan yang khusus, seperti
menseleksi dari jumlah pelamar dalam kurun waktu yang pendek. Oleh
karena itu sistem rekrutmen yang berbasis kompetensi perlu menekankan
kepada usaha mengindetifikasikan 3 kompetensi yang memenuhi kriteria
seperti :
· Kompetensi yang telah dikembangkan dan diperlihatkan oleh pelamar
dalam suatu pekerjaan (misalnya : inisiatif)
· Kompetensi yang dapat mempridiksi prospek keberhasilan calon
pegawai jangka panjang dan kompetensi tersebut sulit dikembangkan
melalui training atau pengalaman kerja (misalnya : Motivasi
berprestasi)
· Kompetensi yang dapat dipercaya dengan menggunakan wawancara
perilaku yang singkat dan tertentu. Misalnya, jika kolaborasi tim
ladership merupakan kompetensi yang diinginkan, para pewancara
dapat meminta calon menunjukkan kompetensi tersebut.
Kedua, Penempatan dan rencana suksesi
Penetapan dan rencana suksesi berbasis kompetensi memusatkan
kepada usaha identifikasi calon yang dapat memberikan nilai tambah pada
suatu pekerjaan organisasi. Oleh karena itu, sistem seleksi dan penetapan
harus menekankan kepada identifikasi kompetensi yang paling dibutuhkan
32
bagi kepentingan suatu pekerjaan tertentu. Usaha yaqng dilakukan adalah
mengunankan sebanyak mungkin sumber informasi tentang calon sehingga
dapat ditentukan apakah calon memiliki kmpetensi yang dibutuhkan
Metode penilaian atas calon yang dapat dilakukan melalui berbagai
cara seperti wawancara perilaku (behavioral event review) tes, simulasi
lewat assesment centers, menelaah laporan evaluasi kinerja atas penilaian
atasan, teman sejawat dan bawahan, calon pegawai direkomendasikan
untuk promosi atau ditetapkan pada suatu pekerjaan berdasarkan atas
rangking dari total bobot skor berdasarkan kriteria kompetensi.
Ketiga , Pengembangan Karier
Kebutuhan kompetensi untuk pengembangan dan jalur karier akan
menentukan dasar untuk pengembangan karyawan. Karyawan yang dinilai
lemah pada aspek kompetensi tertentu dapat diarahkan untuk kegioatan
pengembangan kompetensi tertentu sehingga diharapkan dapat
memperbaiki kinerjanya. Beberapa pilihan pengembangan kompetensi
termasuk pengalaman “ássessment center”, lembaga-lembaga training,
pemberian tugas-tugas pengembangan, mentor dan sebagainya.
Proses perolehan kompetensi (competency acquisition process)
telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat kompetensi yang meliputi:
· Recognition; suatu simulasi atau studi kasus yang memberikan
kesempatan peserta untuk mengenali satu atau lebih kompetensi yang
dapat memprediksi individu berkinerja tinggi di dalam pekerjaannya
sehingga seseorang dapat belajar dari pengalaman simulasi tersebut.
33
· Understanding; instruksi khusus termasuk modelling perilaku tentang
apa itu kompetensi dan bagaimana penerapan kompetensi tersebut.
· Assessment; umpan balik kepada peserta tentang berapa banyak
kompetensi yang dimiliki peserta (membandingkan skor peserta) .Cara
ini dapat memotivasi peserta mempelajari kompetensi sehingga mereka
sadar adanya gap antara kinerja yang aktual dan kinerja yang ideal.
· Feedback; suatu latihan dimana peserta dapat mempraktekkan
kompetensi dan memperoleh umpan balik bagaimana peserta dapat
melaksanakan pekerjaan tertentu dibanding dengan seseorang yang
berkinerja tinggi.
· Job Application; peserta menetapkan tujuan dan mengembangkan
tindakan yang spesifik agar dapat menggunakan kompetensi di dalam
kehidupan nyata.
Keempat, Kompensasi untuk Kompetensi dan Manajemen Kinerja
Sistem kompensasi yang didasarkan pada keahlian secara ekplisit
mengkaitkan reward terhadap pengembangan keahlian. Cara ini sangat
tepat untuk dilakukan apabila karyawan tidak memiliki kontrol terhadap
hasil-hasil kinerjanya
Efektifitas evaluasi kinerja tergantung pada ketepatan penggunaan
masing-masing bentuk data yang ditentukan sebagai sasaran suatu sistem
dan tingkat pengawasan atas kinerja karyawan untuk masing-masing
variabel yang dinilai. Data hasil kinerja biasanya digunakan untuk
keputusan pemberian “reward”. Jika karyawan mempunyai pengawasan
34
yang bersifat individual atas hasil suatu pekerjaan (misalnya, dalam kerja
tim), maka reward hanya akan didasarkan atas hasil tersebut. Hasil
pekerjaan tersebut tentunya dapat mengakibatkan demotivasi bagi individu
yang berkinerja tinggi. Dalam hal ini beberapa porsi “reward” harus
didasarkan atas “job behavior”. Data job behavior biasanya digunakan
untuk keputusan pengembangan skill individu. Misalnya, bagaimana
evaluasi terhadap kinerja manajer Y menunjukkan adanya kelemahan
dalam aspek Motivator , maka orang tersebut dapat disarankan untuk
mengikuti pelatihan Achievement Motivation Training (AMT) untuk
mengembangkan keahliannya.
5. Beberapa Kompetensi yang dibutuhkan untuk Masa Depan
Dengan semakin tingginya tingkat kompetisi antar
organisasi/perusahaan ,maka tidak ada pilihan lain bagi setiap manajer
kecuali bagaimana organisasi/perusahaan mampu menghasilkan produk
yang berkualitas dan kompetif di pasaran. Dalam organisasi publik lebih
pada bagaimana memberi pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
,sehingga organisasi tersebut tetap memiliki reputasi dan citra yang baik
dimata masyarakat. Dari pemikiran tersebut , maka kompetensi yang
dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki penekanan yang
spesifik, kendati tidak berarti sesuatu yang berbeda dengan level lainnya.
Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan.
35
1. Tingkat Eksekutif
Kompetensi apa yang dibutuhkan ,hal ini sangat tergantung pada
organisasi apa mereka bergerak dengan melakukan analisis terhadap
kebutuhan dan dinamika perubahan lingkungan. Tapi pada umumnya
pada tingkat pimpinan /eksekutif diperlukan beberapa kompetensi , yakni
(1) strategic thingking;
(2) change leadership dan
(3) relationship management.
Strategic thingking adalah kompetensi untuk memahami
kecenderungan ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat
mengidentifikasikan “strategic response” secara optimum. Strategi ini
dilakukan melalui analisis SWOT yang akan memberikan gambaran nyata
terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman yang mungkin bakal
dihadapi organosasi/perudsahaan. Analisis ini memerlukan kemampuan
konseptual kognitif dengan berbagai pertimbangan rasional yang dapat
diuji tingkat kebenarannya.
Dari aspek change leadership yakni kompetensi untuk
mengkomunikasikan visi dan strategi perusahaan dapat ditransformasikan
kepada pegawai/karyawan terkait. Pemahaman atas visi organisasi oleh
para karyawan akan mengakibatkan motivasi dan komitmen sehingga
karyawan dapat bertindak sebagai sponsor inovasi dan “enterpreneurship”
terutama dalam mengalokasikan sumber daya organisasi sebaik mungkin
untuk menuju kepada proses perubahan.
36
Sedangkan kompetensi relationship management adalah
kemampuan untuk meningkatkan hubungan dan jaringan dengan semua
pihak terkait baik dengan unsur pemerintah, masyarakat, maupun
stakeholder lainnya. Kerjasama dengan negara lain sangat dibutuhkan
bagi keberhasilan organisasi.
2. Tingkat Manajer
Pada tingkat manajer, paling tidak diperlukan aspek-aspek
kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation, interpersonal
understanding and empowering. Aspek fleksibelitas adalah kemampuan
merubah struktur dan proses manajerial; apabila strategi perubahan
organisasi diperlukan untuk efektivitas pelaksanaan tugas organisasi.
Dimensi “interpersonal understanding” adalah kemampuan untuk
memahami nilai dari berbagai tipe manusia. Aspek pemberdayaan
(empowerment) adalah kemampuan berbagai imformasi, penyampaian ideide
oleh bawahan, mengembangkan pengembangan karyawan,
mendelegasikan tanggungjawab, memberikan sarau umpan balik,
menyatakan harapan-harapan yang positif untuk bawahan dan memberikan
reward bagi peningkatan kinerja. Kesemua faktor-faktor tersebut membuat
karyawan merasa termotivasi dan memiliki tanggung jawab yang lebih
besar.
Adapun dimensi “team facilitation” adalah kemampuan untuk
menyatukan orang untuk bekerja sama secara efektif dalam mencapai
tujuan bersama; termasuk dalam hal ini adalah memberikan kesempatan
37
setiap orang untuk berpartisipasi dan mengatasi konflik. Sedangkan
dimensi “portability” adalah kemampuan untuk beradapsi dan berfungsi
secara efektif dengan lingkungan luar negeri sehingga manajer harus
“portable” terhadap posisi-posisi yang ada di negara manapun
3. Tingkat Karyawan (tingkat pelaksana)
Pada tingkat karyawan diperlukan kualitas kompetensi seperti
fleksibelitas; kompetensi motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi
berprestasi, motivasi kerja di bawah tekanan waktu; kolaborasi, dan
orientasi pelayanan kepada pelanggan. Dimensi fleksibelitas adalah
kemampuan untuk melihat perubahan sebagai suatu kesempatan yang
mengembirakan ketimbang sebagai ancaman. Aspek mencari informasi,
motivasi dan kemampuan belajar adalah kompetensi tentang antusiasme
untuk mencari kesempatan belajar tentang keahlian teknis dan
interpersonal.
Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk
mendorong inovasi; perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dan
produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tanyangan kompetensi.
Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi
fleksibelitas, motuvasi berprestasi, menahan stress dan komitmen
organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah
permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas.
Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam
38
kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain,
pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.
Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah
keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif
untuk mengatasi hambatan-hambatan di dalam organisasi agar dapat
mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.
Dalam kaitan dengan kualitas sumberdaya birokrasi yang
berkembang dalam organisasi publik dalam mendukung konsep good
governance , Tjokrowinoto (2001: 27) menyebutkan bahwa kompetensi
yang diperlukan bagi seorang birokrat mencakup . a.l :
1. Memiliki sensitivitas dan responsivitas terhadap peluang dan
tantangan baru yang timbul di dalam pasar ,
2. Mempunyai wawasan pengetahuan ( knowledge) , ketarampilan
(skill) dan sikap perilaku (attitude) yang relevan dengan
visi,misi dan budaya kerja organisasi .
3. Mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumberdaya
yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang
berproduksi rendah menuju kegiatan yang berproduksi tinggi,
4. Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi
instrumental birokrasi, tetapi harus mampu melakukan
terobosan ( break throuh ) melalui pemikiran yang kreatif dan
inovatif.
5. Dapat bekerja secara profesional dan komitmen pada prestasi,
loyalitas,dedikasi pada pekerjaan dan organisasi.
6. Memilki jiwa entrepreneurship yang tinggi dan kosnsisten
Kompetensi yang dimiliki oleh pegawai /karyawan ini tentu tidak
begitu saja muncul, tantu diperlukan perencanaan pengembangan SDM,
komitmen Pimpinan dan seluruh unit/divisi terkait ,kearah kemajuan dan
daya dukung instrumen lainnya, termasuk soal rewards dan punishment.
Upaya ke arah tersebut tentu menjadi sebuah keniscayaan,kendati dalam
39
penerapannya tentu disesuaikan dengan kemampuan, iklim organisasi dan
budaya kerja yang tengah dikembangkan.
6.Penutup.
Berlandaskan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat penulis
simpulkan sebagai berikut :
1. Pergeseran pandangan tentang SDM sebagai refleksi dari adanya
revitalisasi peran SDM dalam kegiatan organisasi yang memandang
manusia sebagai salah satu faktor keberhasilan organisasi dalam
merealisasikan misinya sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
demikian bagaimana upaya manajemen meningkatkan kualitas SDM
ke depan baik dalam perencanaan maupun dalam pengembangannya.
2. Kompetensi sangat diperlukan bagi organisasi yang adaptif terhadap
dinamika perubahan dalam masyarakat maupun pasar. Didalamnya
menyangkut perubahan paradigma , orietasi, nilai, perilaku ,struktur ,
tujuan yang berkinerja tinggi . Kompetensi bagi organisasi/ karyawan
menjadi hal yang krusial tetapi sekaligus sebuah keniscayaan , karena
berbagai tantangan dan keterbatasan.
3. Kompetensi yang dibutuhkan pada setiap level manajemen memiliki
penekanan yang spesifik, yang akan memberi kontribusi bagi kemajuan
organisasi. Tiga tingkatan pada level manajemen yakni level eksekutif,
manajer/pimpinan dan karyawan. Pada tingkat pimpinan /eksekutif
diperlukan beberapa kompetensi , yakni (1) strategic thingking; (2)
change leadership dan (3) relationship management. Pada tingkat
40
manajer, kompetensi seperti: fleksibilitas, change implementation,
interpersonal understanding and empowering , Pada tingkat karyawan
diperlukan kualitas kompetensi seperti fleksibelitas; kompetensi
motivasi dan kemampuan untuk belajar, motivasi berprestasi,
kolaborasi, dan orientasi pelayanan kepada pelanggan.
4. Dalam Organisasi publik kompetensi lebih di orietasikan pada aspek
entrepreneurship,sensitivitas dan responsivitas , mempunyai wawasan
pengetahuan ( knowledge) , ketrampilan (skill) dan sikap perilaku
(attitude) yang relevan dengan visi,misi dan budaya kerja organisasi .
5. Karakteristik kompetensi dan keterkaitan penerapannya dengan seleksi,
perencanaan suksesi, pengembangan, sistem penghargaan dan
manajemen kinerja sangat membantu keberhasilan organisasi agar
tetap surveve dan berkembang.
41
DAFTAR PUSTAKA
Gilley. W.J and May Cunich, Ann, 2000, Beyond the Learning
Organization: Creating a Culture Growth and Development Through
State of the Art Human Resource Practice. Perseus Book, USA.
Janszen, Felix, 2000, The Age of inovation. Pearson Education Limited,
Great Britain.
Mitrani, A, Daziel, M. And Fitt, D. ,1992, Competency Based Human
Resource Mangement: Valua-Driven Strategies for Recruitmen,
Development and Reward; Kogan Page Limited: London
Spencer, M. Lyle and Spencer, M. Signe ,1993, Competence at Work
Modelas for Superrior Performance, John Wily & Son, Inc, New
York, USA.
Tangkilisan, Hessel Nogi.S, 2005, Manajemen Publik, Jakarta, Gramedia
Widiasara Indonesia.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi dalam
Polemik,Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
42
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
43
KATA PENGANTAR
Makalah ini menyajikan uraian tentang bagaimana
membangun jiwa kewirausahaan dalam tubuh birokrasi yang nota
bene memiliki karakteristik yang spesifik. Dewasa ini
entrepreneurship menjadi sebuah kebutuhan bagi para personel,
karena hampir semua jenis organisasi besar berhubungan dengan
pengelolaan resources (sumber-sumberdaya) dari mulai input
menjadi output organisasi yang dengan menerapkan prinsip-prinsip
birokrasi modern .
Perkembangan birokrasi di Indonesia dalam menjalankan
misinya, kini masih sangat mekanistik dan cenderung lebih
mengorientasikan pada produktivitas yang bersifat materialistik
sehingga menimbulkan dehumanisasi.
Model organisasi humanistis sebagai model alternatif, lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang dilihat
dari segi kemanfaatannya, kompetensinya, profesionalitas dan
komitmennya pada kemajuan organisasi daripada sebagai mesin
produksi dalam pencapaian tujuan organisasi semata. Dengan
demikian nilai-nilai humanis haruslah menjadi nilai yang inherent
dalam pengembangan organisasi birokrasi ke depan.
Dalam penyusunan makalah ini , kendatipun penulis telah
berupaya secara maksimal, tentu masih jauh dari sempurna. Kritik
dan saran yang bersifat membangun akan sangat bermamfaat .
Semoga bermamfaat.
Bandung, Agustus 2007
Penulis
44
! " # $ % &
' (
) *
45
MEMBANGUN ENTREPRENEURSHIP
MENUJU BIROKRASI HUMANISTIK
1. Pendahuluan.
Salah satu kualitas sumberdaya birokrasi yang dituntut
dalam good governance adalah kualitas entreprenerial yang dapat
menjembatani antara negara (state) dengan civil society dan pasar .
Karena dalam pengaturan pemerintahan yang baik memungkinkan
layanan publik yang efisien, berkinerja organisasi ynagn tinggi
dengan menggunakan sumberdaya secara optimal sesuai dengan
nilai-nilai humanistik.
Intrepreneurship adalah kemampuan yang kuat untuk
berkarya dengan semangat kemandirian termasuk keberanian untuk
mengambil resiko usaha dan meminimalisasi resiko tersebut menjadi
keuntungan. Pada saat sekarang, entrepreneurship menjadi
kebutuhan bagi para personel, karena hampir semua jenis organisasi
besar berhubungan dengan pengelolaan input menjadi output
organisasi yang diselenggarakan dengana menggunakan prinsipprinsip
organisasi, efektivitas dan produktivitas.
Entrepreneurship terjemahan dari istilah Prancis yang
kemudian diterima dalam bahasa Inggris maupun Indonesia, yaitu
entrepreneur, yang mengandung arti sebagai a person in effective
control of commercial undertaking. Istilah entrepreneur, menurut
46
Burch (1986) , dimaksudkan sebagai seseorang yang tidak hanya
menjalankan atau memimpin suatu perusahaan dengan baik,
melainkan seseorang yang berani mengambil inisiatif guna
mengembanagkan dan memajukan usahanya dengan menggunakan
atau bahkan menciptakan lapangan-lapangan kerja baru. Dalam
rangka tindakannya itu, ia sudah harus memperhitungkan resiko
dengan cerma. Beberapa asas entrepreneurship, menurut Burch,
antara lain dikemukakan sebagai kemampuan berpikir dan bertindak
kreatif dan inovatif, bekerja secara teliti, tekun, dana produktif.
Jiwa-jiwa inilah yang dapat mengantarkan individuke dalam
pengambilan peran dalam berkarya dan mengendalikan sumbersumber
yang dimiliki (resources) ke dalam proses produktif.
Dalam konteks kelahirannya, jiwa entrepreneurship ini lebih
banyak dibutuhkan kalangan industriawan dan bisnisman, atau
bahkan untuk usaha mandiri perseorangan, dan tidak untuk
organisasi dan pegawai publik, seperti pegawai pemerintah. Namun
pada perkembangan sekarang ini, sektor pemerintahan seharunya
juga mengambil peran aktif dalam pengelolaan bidang-bidang bisnis
baik secara langsung maupun melalui kerja sama mereka dengan
para pengusaha. Bahkan adalah keniscayaan bagi negara (pegawai),
dalam negara yang sumberdaya alamnya melimpah dan luas bidang
sektornya untuk mengoptimalisasikan secara efisien untuk sebesarbesarnya
kemakmuran masyarakat.
47
Sebagaimana dikatakan Peter Drucker (1999) dalam The sage
of Management Theory, “The most entreprenurial, innovative
people be have like the worst time surving bureaucrat of power
hungry politicion six month after they have taken over the
management of public service institution. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa semua orang mungkin menjadi seorang
entrepeneur jika organisasinya menyelenggarakan sistem
manajemen entrepreneurship. Sebaliknya hampir semua
entrepreneur dapat berubah menjadi seorang birokrat organisasinya
menyelenggarakankebiasaan birokratik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jiwa
entrepreneurship amat dipengaruhi model organisasinya.
Sebelumnya , peran organisasi publik dan pegawai pemerintah lebih
diasumsikan untuk melayani masyarakat (public service), dengan
sedikit meninggalkan orientasi input. Namun sekarang pemerintah
daerah disyaratkan untuk memikirkan input-input dalam rangka
memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) dengan
mengoptimalisasikan semua sumberdaya alam, lingkungan,
teknologi dan sumberdaya manusia yanag ada.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa organisasi
pemerintahan yang akan datang membutuhkan nilai
entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya. Dalam kaitan
tersebut, adalah niscaya dibutuhkan jiwa entrepreneurship yang
positif sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
48
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, termasuk
di dalamnya mencari input-input yang sah dalam rangka
memperkuat organisasi daerahnya. Beberapa kebijakan pemerintah
yang diajukan pada dekade ini berupa otonomi daerah, eselonisasi
bupati, deregulasi investasi di daerah, pemangkasan pngutan non-
Perda dan kebijakan stream-linning aparatur di tingkat pusat
menunjukkan pentingnya pengembangan kelembagaan struktur
birokrasi yang ada.
2. Tantangan Birokrasi Indonesia
Perkembangan manajemen pemerintahan di Indonesia dan
juga para aparatur negara masih belum menampakkan pergeseran ke
arah kondisi tantangan luar (erxternal challenges) berupa
perkembangan sistem komunikasi, teknologi dan pendekatanpendekatan
baru dalam pemerintahan. Hal ini lebih terasa pada level
pemerintahan menengah ke bawah di mana persepsi tentang
aparatur birokrasi adalah warga yang status tinggi dan harus
memperoleh penghargaan yang sewajarnya dari masyarakat yang
dipimpinnya masih melekat kuar.
Tidak dapat dipungkiri sebagian besar jumlah pegawai kita
terutama di tingkat menengah ke bawah adalah mereka yang
memiliki pengalaman dan masa pengabdian yang lama daripada
mereka yang memiliki pendidikan yang memadai dalam rangka
mengisi dan mengembangkan metode pendekatan baru dalam
49
pembangunan. Oleh sebab itu, ditengarai bahwa pegawai kita yang
jumlahnya besar itu kurang bisa amenyesuaikan diri dengan
perkembangan di sekitarnya.
Dwight Waldo, ahli administrasi dan manajemen memberi
gambaran tentang pentingnya manajemen modern yang dipakai
sebagai sistem penyanagga dari semakin meningkatnya tuntutan
akan pelayanan publik (public services) pada negara-negara yang
sedang berkembang yang akan datang. Waldo mengingatkan, bahwa
dalam perkembangan sekarang, para pengelola negara mesti
mempunyai dan mengembangkan visi-visi baru pelayanan kepada
masyarakat—visi aparatur modern—yang mendukung meluas dan
kompleksnya tuntutan internal dan eksternal organisasi publik
maupun bisnis. Dwight Waldo (1980, 70) menulis, willy-nilly;
administration is every one concern, if we wish to survive, we have
batter be intellegent about it.
Dalam tahap sekarang, perubahan budaya-budaya sosial, tidak
saja terjadi pada masyarakat bisnis, juga pada masyarakat publik
(birokrasi). Di samping itu gaya penampilan (performance) dari
aparatur birokrasi modern telah sampai pada tuntutan sebagai
aparatur modern yang siap mendukung semakin kompleksnya
masyarakat ‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga hal/
Pertama, their doing, yaitu cara kerja mereka; Kedua, kapasitas
yang menyangkut skil and attitude; dan Ketika, wawasan
50
pemerintahan yang luas yang menyangkut pendekatan (approahes)
baru dalam merumuskan dan memecahkan masalah.
Pada saat berbagai item pembangunan dipacu dengan cepat,
laju komunikasi dan transportasi yang tak terkirakan (the
unprecedented speed of communiation and transportation),
meningkatnya tensi-tensi politik dalam negeri serta kompleksitas
masyarakat, maka para aparatur negara dalam birokrasi dihadapkan
tantangan baru dalam era birokrasi modern. Yang dimaksudkan
dengan birokrasi modern ialah birokrasi di mana nuansa kerja dan
orientasinya berdasarkan kaidah-kaidah organisasi modern yang tak
saja mekanistis (sesuai prosedur) melainkan yang organis—adaptis
(saxena, Bennis), 1969), yaitu organisasi birokrasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas aparat, mempunyai
hubungan yang lebih longgar dan terbuka.
Demikian pula ahli birokrasi dan komunikasi, Adam Ibrahim
Indrawijaya mengutip tulisan Wendell French menyebutkan
“Organization development refers to cope with changes in it’s
external environment…..”. Dalam kaitan tersebut dibutuhkan orangorang
yang mendukung organisasi yang berubah menuju modern
tersebut .
Dalam rangka untuk mendukung keanadalan organisasi yang
modern dibutuhkan 3 hal: (1) Personel yang mempunyai dalam
jumlah yang cukup; (2) Sarana dan sistem yang mendukung
51
(enabling system); dan (3) Komitmen baru dan tradisi birokrasi yang
berwawasan kerakyatan. Sebagaimana dikatakan Douglas Yetes
(1982) saat membahas tentang birokrasi dan demokrasi untuk
pemerintah AS, menyangsikan ketemunya dua nuansa keluwesan
dana kepastian dalam birokrasi (Sintesa No. 10 th. 2 1994).
Secara teoritis untuk memacu (racing) kemajuan yang
demikian pesat, birokrasi seharusnya dapat mengimbangi
perkembangan praktik-praktik yang menjadi tanggung jawabnya.
Persyaratan pokok agar bisa mengimbangi perkembangan
masyarakat adalah penekanan pada aparat birokrasi untuk dapat
mengatasi atau memperbaiki proses dan struktur birokrasi yang
secara aslinya (an sich) kaku rigid. Apabila kelemahan proses yang
rigid tersebut tidak diimbangi oleh nuansa prkarsa aparat yang lebih
bebas (self qrowth) tentu akan terjadi lack antara teori dan praktek
birokrasi semestinya.
Dalam kaitannya dengan perana sistem administrasi negara
ini, ada beberapa hambatan pada sistem yang perlu dihilangkan agar
pembangunan kualitas manusia dapat terlaksana dengan baik.
Hambatan paling utama adalah semakin lestarinya rutinisasi tugastugas
pembangunan serta penekanan yang terlalu berlebihan pada
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada pejabat atasan dan
penilaiana prestasi kerja petugas pelaksana atas dasar keberhasilan
dalam mencapai target.
52
Secara garis besar hambatan-hambatan pada sistem
administrasi pembangunan bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni:
hambatan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986: 49).
Hambatan proses mencakup baik aspek prosedur dan struktur.
Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan
pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat
hirarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk
memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan
arus komunikasi yang lancar, yang amat diperlukan dalam
penyelenggaraan program pembangunan menjadi terhambat, dan
dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di
Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih
parah, prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi
dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan
pribadi maupun kelompok.
Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan dalam
pengelolaan program pembangunan juga telah menimbulkan etos
kerja yang memaksa para aparat untuk mempertahankan status quo.
Sifat yang menonjol adalah semangat untuk mempertahankan
keadaan dan kurang mkementingkan kemajuan yang identik dengan
perubahan yang terus menerus. Orientasi status quo ini tumbuh
sangat subur dalam suatu sistem administrasi yang kmenggunakan
prinsip kemampuan pencapaian target atau delapan sukses dan
akuntabilitas kepada tingkat pemerintahan yang lebih tinggi sebagai
53
dasar penilaian prestasi kerja pejabat bawahan. Untuk merubah
orientasi ini diperlukan tak sekedar modifikasi dalam prosedur
pertanggungjawaban kepada pejabat atasan dan pengurangan kontrol
pemerintah pusat terhadap sumberdaya dan pelayanan di daerah.
Dalam kaitan ini wewenanag yang lebih bear perlu diberikan kepada
lembaga perwakilan rakyat di daerah untuk mengawasi pelaksanaan
pembangunan.
Kelemahan-kelemahan proses maupun orientasi yang terdapat
pada sistem administrasi ini, menyebabkan semakin kerasnya
tuntutan akan adanya upaya intervensi baik berupa debirokratisasi,
deregulasi, privatisasi maupun peningkatan kapasitas birokrasi
pemerintah agar organisasi ini mampu mengelola pembangunan
kualitas manusia. Bagaimana struktur organisasi yang mampu untuk
merangsang partisipasi yang merupakan syarat mutlak bagi
pembangunan kualitas manusia? Dalam melaksanakan tugas-tugas
pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat
birokrasi pemerintah yang stabil-mekanisnistis tak mungkin
dihilangkan keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan
diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif
(Saxena, ibid; dan Bernnis; 1969), yaitu organisasi yang lebih
terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta mampu
melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organi-adaptif ini
mempunyai mpola hubungan yang lebih longgar dan terbuka
terhadap pengaruh dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan
54
menjadi lebih besar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk
keterlibatan dari bawah (bottom-up) maupun dari atas (top-down).
Selain bentuk organisasi yang organis-adaptif, perlu juga
diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain,
suatu peningkatan sentralisasi yang memadai adalah syarat yang
diperlukan demi keberhasilan pembangunan kualitas manusia.
Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara national-building dan
pembangunan. Dalam pembinaan nation-building sentralisasi
kekuasaan memang diperlukan. Dalam tahap pembangunan ini,
sentralisasi yang berlebihan harus segera ditinggalkan untuk diganti
dengan desentralisasi, yakni penyerahan fungsi, fungsi perencanaan,
pengelolaan dan pengendalian pembangunan secara bertahap kepada
daerah dan masyarakat.
Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah sendiri
sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungan.
Karena dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini
diperlukan suatu prasyarat mutlak, yakni kemungkinan setiap
aparatur meningkatkan kapasitasnya. Peningkatan kemampuan
aparatur ini akan memungkinkan mereka untuk membantu
menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam
pembangunan.
3. Menuju Birokrasi Humanis
55
Pemahaman mengenai model birokrasi di era selanjutnya
menjadi sangat penting sejalan dengan pergeseran pusat perhatian
terhadap masalah-masalah di sekitar peningkatan kualitas kehidupan
politik menyertai sukses-sukses pembangunan ekonomi telah
dicapai. Bahwa sosok birokrasi sekarang ini masih menampilkan
karakteristik patrimonial adalah realitas benang sejarah yang perlu
dicermati secara hati-hati. Model birokrasi tradisional dan kolonial
yang paternalistik cenderung mengalami esistensi sampai sekarang,
dan kadang-kadang mengambil bentuk ekspresi yang baru (neotradisional).
Hal ini menjadi persoalan, di mana tuntutan kualitas
kehidupan politik menghendaki adanya desentralisasi dan partisipasi
arus bawah yang lebih luas. Di samping itu, pengembangan untuk
memodernisasi birokrasi menuntut adanya peningkatan kualitas
administrasi dan manajemen. Namun prinsip-prinsip seperti
pendelegasian wewenang, pengembangan profesionalisme, dan
pengembangan sumbersya aparat, terhambat oleh kecenderungan
praktek-praktek patrimonial yang masih menonjol, seperti tercermin
dalam sistem rekruitmen pada jajaran birokrasi.
Kehadiran birokrasi di tengah-tengah masyarakat politik
merupakan conditio sine qua non. Yang menjadi persoalan adalah
sentralisasi dan konsentrasi peran birokrasi dalam berbagai sektor
kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi demikian,
birokrasi menjadi tidak fungsional lagi untuk melayani kepentingan
masyarakat. Birokrasi sering memperlihatkan dirinya sebagai tuan
56
atau bos yang berwewenang mengatur, mengendalikan, dana
mengontrol politik rakyat.
Padahal jika dilihat dalam konteks hubungan kekuasan,
birokrasi pada dasarnya merupakan mata rantai yang
menghubungkan pemerintah dengan rakyatnya. Birokrasi pada
dasarnya merupakan alat pemerintah yang bekerja untuk
kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dalam posisi demikian,
maka tugas birokrasi adalah merealisasikan setiap kebijakan
pemerintah dalam pencapaian kepentingan masyarakat. Sebagai alat
pemerintah, jelas birokrasi tidak mungkin netral dari pengaruh
pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa birokrasi tidak
memiliki kemandirian. Justru karena tugasnya sebagai alat
pemerintah yang bekerja untuk kepentingan masyarakat inilah, maka
diperlukan kemandirian birokrasi. Di sinilah letak seninya aparat
birokrasi itu. Seperti dicitrakan dalam konsep “Hegelian
Bureaucracy”, birokrasi seharusnya menempatkan dirinya sebagai
mediating agent, jembatan antara kepentingan masyarakat dengan
kepentingan pemerintah.
Kemandirian birokrasi bisa dijelaskan dengan adanya
netralitas pengaruh pemerintah, meski ia adalah alat bagi
pemerintah. Tolok ukurnya ialah sejauh mana birokrasi bisa
berpihak pada kepentingan masyarakat dan melalayni masyarakat.
Dengan demikian, dalam ketidaknetralannya tersebut, birokrasi
tetap memiliki kemandirian fungsional, yaitu melayani kepentingan
57
masyarakat secara keseluruhan. Ia menempatkan dirinya lebih
sebagai abdi masyarakat daripada abdi negara, atau setidaknya ada
keseimbangan antara keduanya.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, bangun ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan adalah, bahwa
birokrasi haruslah apolitis, dalam pengertian bahwa tugasnya
melayani masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selalku pemberi tugas. Dalam
pengertian ini, kehadiran birokrasi seharusnya tidak mencitrakan
diri sebagai new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada. Lebih-lebih jika kemudian menobatkan diri secara
meyakinkan sebagai gurita politik yang mendominasi seluruh
perikehidupan politik.
Sementara itu, untruk mengikis pengaruh minor neotradisionalisme
birokrasi, maka hal yang penting dalam birokrasi
adalah suatu transformasi budaya birokrasi yang mewarisi semangat
kerajaan dan kolonial menuju budaya birokrasi modern yang organi
adaptif yang dikehendaki adalah birokrasi yang terbuka terhadapa
gagasan inovatif, peka terhadap perubahan-perubahan
lingkungannya, penekanan pada peningkatan produktivitas,
profesionalisme, pelayanan dan peningkatan kualitas sumberdaya
aparatnya.Model birokrasi demikian seperti dutulis Saxena akan
kenyal terhadap gonangan dana ketidakpastian yang melanda
lingkungannya. Berbeda dengan model Weber yang terkesan
58
mekanistis dalam model organis-adaptif ini pola hubungan antar
jenjang hierarki relatif lebih longgar tidak terkungkung pada
prosedur-prosedur administratif yang formalistis, sementara itu
unsur-unsur dalam sistem birokrasi mempunyai peluang untuk
berhubungan dengan pihak luar. Tujuan dan nilai-nilai akan
diserasikan sehingga birokrasi menjadi sebuah institusi yang terus
menerus mencari hal-hal baru, menyesauikan diri dengan
perkembangan, dan selalu belajar dari pengalaman masa lalu.
Karakteristik baru ditujukan ke arah kemampuan memecahkan
masalah-masalah secara efektif dan daya inovatif. Nilai-nilai sentral
yang ditanamkan adalah: efektif, efisien, etos profesional, sifat-sifat
adaptif, responsif serta keberanian untuk mengambil resiko.
Partisipasi dalam proses perumkusan tujuana melebar dan
keterlibatan aparat birokrasi berlangsung dari bawah ke atas
(bottom up) maupun sebaliknya (topdown).
Dengan demikian, model organis-adaptif ini merupakan
model alternatif terhadap upaya transformasi nilai-nilai neotradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi
dengan mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model modernisasi
legal-rasional ala Weberian yang terkesan mekanistis. Dalam
model kemanistis ini, nilai seorang lebih dilihat dari segi
kemanfaatannya, sehingga nilai-nilai manusia seringkali tidak
ditempatkan secara proporsional. Hakekat manusia sering
59
mengalami degradasi menjadi sekedar pemaksimum manfaat (utility
maximizer) atau menjadi mesin pencapaian tujuan belaka. Manusia
kehilangan otonomi dalam menentukan pilihannya untuk
beraktualisasi, dan pada gilirannya mengalami proses dehumanisasi.
Proses dehumanisasijelas tidak sesuai dengan ide pengembangan
kualitas sumberdaya manusia dan demokratisasi. Karenanya nilainilai
humanis haruslah menjadi nilai yang inherent dalam model
birokrasi organis adaptif.
Para penganjur humanis organisasi seperti McGregor,
Golembiewski, Argyris, Morgan, Bryan and White, soedjatmoko,
Korten dan lainnya, dengan satu dan lain formasi telah
menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentral konstruksi
pemikiran mereka. Unsur-unsur paling inti dari nilai human ini
dapat dirumuskan dalam tiga nilai inti, ialah: kesejahteraan hidup,
harga diri, dana kebebasan.
Dimensi humanistis tidak dapat diwujudkan jika ketiga nilai
human itu selalu ditawar dan ditundukkan pada nilai-nilai lainnya
atas nama modernisasi atau rasionalitas. Kebebasan dan harga diri
merupakan landasan untuk menciptakan kondisi kelestarian
pertumbuhan potensi manusia. Tidak ada sumber harga diri yang
begitu asasinya bagi perkembangan manusia, seperti rasa mandiri
dan rasa percaya diri, tidak saja untuk mencukupi kebutuhan diri
sendiri tetapi juga untuk menyumbang dan melayani orang lain dan
masyarakat. Akhirnya, secara ringkas dapat disimpulkan, bahwa
60
model birokrasi yang harus dibangun untuk menjawab persoalan di
era berikut adalah yang mempunyai karakteritik organis adaptif,
apolitis, netral, berorientasi pada pelayanan, mempunyai sifat-sifat
seperti dicitrakan dalam konsep hegelian bureaucracy.
4. Penutup.
Dari apa yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, ada
beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan:
1. Organisasi pemerintahan yang akan datang membutuhkan
nilai entrepreneurship ke dalam sistem manajemennya
sesuai dengan aturan-aturan kelembagaan dalam
melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat,
termasuk di dalamnya mencari input-input yang sah dalam
rangka memperkuat organisasi daerahnya.
2. Perubahan sosial budaya, tidak saja terjadi pada masyarakat
bisnis, juga pada masyarakat publik (birokrasi). Di samping
itu gaya penampilan (performance) dari aparatur birokrasi
modern telah sampai pada tuntutan sebagai aparatur modern
yang siap mendukung semakin kompleksnya masyarakat
‘yang diperintah’ . Visi baru itu menyangkut tiga ha utama
,meliputi cara kerja aparat ; kapasitas yang menyangkut
skil and attitude; dan wawasan pemerintahan yang luas yang
menyangkut pendekatan (approahes) baru dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan publik
61
3. Dalam hubungannya dengan sistem politik, model ideal
birokrasi dalam konteks hubungan kekuasaan seyogyanya
birokrasi haruslah apolitis. Ini berarti bahwa tugas melayani
masyarakat secara keseluruhan harus dibebaskan dari
pengaruh interest tertentu pemerintah selaku regulator,
sehingga kehadiran birokrasi tidak mencitrakan diri sebagai
new political power (kekuatan politik baru) dalam peta
politik yang ada.
4. Model organis-adaptif merupakan model alternatif
terhadap upaya transformasi nilai-nilai neo-tradisionalisme
birokrasi menuju ide-ide modernisasi birokrasi dengan
mengacu pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia.
Model organis adaptif ini sekaligus mendobrak model
modernisasi legal-rasional ala Weberian yang terkesan
mekanistis. Model organisasi humanistis lebih
mengedapankan nilai kualitas dan eksisten seorang yang
dilihat dari segi kemanfaatannya, kompetensinya,
profesionalitas dan komitmennya pada kemajuan organisasi
daripada sebagai mesin produksi dalam pencapaian tujuan
organisasi semata. Dengan demikian nilai-nilai humanis
haruslah menjadi nilai yang inherent dalam pengembangan
organisasi birokrasi ke depan.
62
DAFTAR PUSTAKA
Burch, G. John, 1986, Entrepreneurship, John Wiley and Sons.
Inc.
Drucker , Peter ,1999 , The sage of Management Theory, London:
Heinemann.
Indrawijaya, Adam Ibrahim,1989, Perubahan dan Pengembangan
Organisasi,Bandung, Sinar Baru.
Kumorotomo, Wahyudi, 2004, Etika Admisitrasi Negara, Jakarta,
Radja Grapindo Persada.
Osborne,David and Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government :
How the Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public
Sector, USA : A Plume Book.
Tjokrowinoto, Moelyarto, 2001, Birokrasi dalam Polemik,
Yogyakarta,Pustaka Pelajar.
Waldo, Dwight, 1980, The Interprise of Public Administration,
California Chandler & Sharp Published Inc.
======
63
Makalah
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008
64
!
" #
#
$
#
% #
#
#
&
!
'
#
# #
#
"#
#
#
!
#
#
"
(
! # !)
$
*
+,,-
65
( . %!%
KATA PENGANTAR ................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................ ii
1 Pendahuluan ............................................................. 1
2. Pengertian Pelayanan Publik dan Tipe Budaya
Organisasi ............................................................... 2
3. Budaya Kinerja dalam organisasi Publik ................... 6
4. Kelemahan Budaya kinerja Pelayanan Publik............ 8
5. Upaya dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. 14
6. Penutup.................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 17
66
/
#
(
!
" #
#
0
#
#
#
#
!
#
#
'
67
(
#
1
(
# #
% #
+
+
, ' +
-
$
#
%1 1
2 3445677-8
6
9 #
' #
2
8
'
:
! # ## 2344,6+58 "
9
1
1
"
#
'
#
#
; :
68
#
1
"
#
2
#
8
! # #
#
#
/
! /
6
9
#
'
: 2 / / 0 <=;+,,=8
$
#
1
$
#
'
# #
$
#
!
# 2
>#
/ ?
344<6 5<,'5<+8
#
6
69
$
#
#
#
>
#
(
# #
(
(
# #
'
(
#
# '#
( #
#
(
#
'#
% #
70
#
#
0
'#
% #
@
'
#
6
?
?
/
#
"
/
/ #
"
#1
'
$
>
# #
(
#
#
#
"
$
#
2%1 1
?# A
!
B > # 34456 7<,8
! + # % -
,
71
%1 1
?# A
!
B > # 234456 7<,8
"
$
#
#
#
# !
# 2 >#
/
?
344<8
# '
#
#
#
0 # 2344=6 378
6
#
#
#
#
" #
#
#
"
"
#
0
2
#
#
3,
8
#
72
(
#
6
#
#
#
# '# #
3,
&
/
# # 6
+C; ;/ ;7;+,,+ +C
+,,+
# $
!
# # 6 35,;/ ;<;+,,+ 35 *
+,,+
$
!
/
%
'
2
/ # # +C
+,,+86
#
#
)
%
#"
#
1
"
(
# #
73
#
#
(
"
(
?#
! /#
1
#
D
%
# #
% + #
+
,
(
E 2
% #
8
#
#
#
6
$
#
"
"
# # 1
/
9
:
#
;
@
;
!
#
74
;
# #
# #
"
9 : 2
8
2
#
8
@
#
9 :
# 2
8
# @
#
#
"
#
#
" # ;
#
#
% #
#
'
75
$
" #
/
= # #
# #
; #
#
"
#
/#
# ;
;
;
#
#
*
#
9 :
! "
# #"
#
#
/
!)
$
#
A
#
76
#
#
2 !) 8
#
D
6 #
=,
-,
&&
#
" "
"#
1
;
9 :
#"
#
6
#
77
#
#
#
#
# #
#
"
#
'
# #
#'
#
# % # #
#
#
/# / F# 234456 35,8 " # '
" #
2
8
#
. #
2 8
#
#
" #
# #
#
#
78
0
#
#
;
9
: /
#
;
"
2
8
#
#
9
9
(
# #
(
# #
$
#
1
#
1
79
. )' + %
+
,
&
;
#
"
6
3 /
"#
#
+
#
"
= /
7
#
#
"
C !
'
#
# #
80
(
#
(
'
$
'
6
3
#
#
'
#
#
$
#
"
"
+
0
#
#
#
#
81
= $
#
"
"
# # 1
0
/ # # +C
+,,+
82
( . &!
>#
B / ?
344< 2! #
# 8 ! >>@
# ## > 344, ! "
#
/
6 ? G
#
%1 1
?# A
!
B > # 3445
$
2! #
# 8 !
#6
%
0 # ( 1
B 344= % &
" ' #
H# 6
$##
# B )
!
+,,< /
6 /# #
>
A F > !
/
H#
/
# <=
+,,= #
*
/
# # 6
+C; ;/ ;7;+,,+ +C
+,,+
# $
*
!
# # 6 35,;/ ;<;+,,+ 35 *
+,,+
$
*
83
MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI
DALAM MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
84
! " #
"
$ % & " '
"
'
( "
% '
"
)
% $ )
$ '
* + $ $ , %
)
$
'
"
% '
( ) '
# -../
85
( . %!%
IIIIIIIIIIIIII
( . %!% IIIIIIIIIIIIIIIIIIII
3
IIIIIIIIIIIIIII III 3
+
1
#1 F
0
IIIIIIIIIIIIIIII =
= (& & )
% #
6
# -
7
IIIIIIIIIIIIIIIIII 33
( . &! IIIIIIIIIIIIIII 3=
86
" / ) $ - 0 "
" /)1)
#
"#
#
# #
'
#
# 2 #
8 0 #
# '
# #
'
"#
#
'
#
"
'
1 '
#
$
J
#
#
1
#
#
#
#
#
"
'
1
#
#
#
#1
2 8
1
#1
% #1
#
87
9!
*
"#
#
#
#
2!
34-=8 0
#
"
"
#1
#
#
0
#
#
)
1
"
#
#
#
# #
#
"
#
#
?
#
#
# 2
$ #"" 344= 0 #
344+ /#
*# 34448 &
#
#
#
"#
#
88
% % 2
2 % 3 %
-
,
%
*$ !
3-,,'
#
#
#
'
# #
#
C,K
#
% #
3C K
"
"
"
# # # '
#
2 8
"
)
# #
#
1
#
1
*
#
#
2
#1
"
8
"
"
1
#
89
#
1
2 )
+,,<6 3C,8
#
" "
'"
# # '
#
#
$
#
'
'
#
1
#
? 2+,,,8
6 9+
,
*
"
"#
#
'
#
#
# $&/(
% "
'
#
' '
$&/ $&/(
'
"
$ $&/ "
1
@
1
90
" "
'"
# # '
.
#
# '
2+,,,8
"
L
F # #
2L ! - )8 #
#
1
"'
"
#
L )
0 #
2344+8
#
L
)
6
3
6
L2 )8
+
6
=
#
" 6
7
#
6
#
#
C
#
6
<
#
6
#
5
6
-
" 6
#
4
3,
#
6 #
'
" "
"
" "
'
"
91
'
"
2L
#
F8
# #
!
#
1
"
L 1
F
# # '
2
8
L )
#
'
#
"
! L
F
#
" # # #
#
# 2 # #
1 8
!
'
#
#
#
1
#
'
"
#
"
#
#
?
92
# >
#
#
/
2
8
(
'
#
#
"
#
? ( /
"
" #
# ' #
$
0
'
#
"
'
'
'
(
L )
'
'
L
1
#1 F
#
# L ## #1 F
L
/ F
9( # : /
L
F
93
L F
#
# L ## #1 F
# !
"
'"
!
'
4 ,
, '
L& )
'
1
#1
"
1
# ' #
'
L )
#
#
'
#
' #
2
& '& 8
#
!
$ (
2344+8
(& & )
'
'
"#
#
"
' "
" #
$
L
94
F #
&&
# #
# # 2
'
1 ' 8
"# #1 "#
L& )
. -
/
*
#
#
(
#
0
## #1
"
# (& & )
#
#
1 # /
# ' # #
6
# ' #
#
#
95
'
#
/
'
"#
2
"#
8
#
'"# !
'
"
"#
'
"#
L ## #1 F ! #
#
1 "
'
"
#
'
# #
"
$
## #1
% #
J
!
# 2+,,78 ## #1
2 8 2
1 8
1
#
#
#
#
#
#
"
96
# #
##
#
# #
# ># #
#
2
8
1
#
# # #
# #
#
## #1
% #
'
2 8
(
##
#1
#'
#
#
% #
#
'
#
%'
$
6
3 #
(#
#
97
;
#
# #
+ 0
#
#
#
#
"
#
#
#
#
"
= (
#
" "
'"
#
# '
7
#
#
"
"
#1
#
#
'
L
F
# #
"
#
#1
C ## #1
% #
2 8 2
1 8
1
#
98
#
#
"#
#
#
#
#
"
'
# #
#
# #
#
( "
*# +,,3
>
*
@
!
## #"
! #
/ &
!)
? * +,,, +
#
?# #
# +,,7 0 & & 1 2 3
0 & 2 / !
9 #1
6 $
% #
H#
)# $ 344+ & 0 )#
$ )
#
)
. " +,,< & &
! 4 ! !
1 ! % !
2/ !
$ .% & %$ ) ( ( %8 /
( )
'$
&
1
99
STRATEGI PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA DALAM
ERA KOMPETISI
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2006
100
!(
( &
(
' # 0 1 (
0( 1 ! %
$ & ' (
( %
'
(
)
(
(
0 1
$
)) ) $
'
0 % 2 1
) 0 " 1 )
)
' 3 ( "
%
'
" " (
( '
% '
# -..4
'
101
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................. i
DAFTAR ISI .............................................................. ii
1. PENDAHULUAN ................................................ 1
2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA... 4
3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA
BERMULTIDIMENSI ............................................ 8
4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA
MANUSIA .............................................................. 11
5. PENUTUP .............................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .................................................. 14
STRATEGI PENGEMBANGAN
102
SUMBER DAYA MANUSIA DALAM ERA KOMPETISI
1. PENDAHULUAN
Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) merupakan
salah satu faktor determinan yang banyak mendapat perhatian dari
banyak kalangan terutama di kalangan organisasi bisnis maupun
publik. Bagi kalangan perusahaan (organisasi bisnis) Sumber Daya
Manusia (SDM) umumnya sebagai “sumber daya pemacu
produktivitas” dalam memenangkan persaingan global.
Seperti diketahui globalisasi bukan lagi merupakan isue ,tapi
sebuah realita yang harus dipandang sebagai sebuah keniscayaan
yang disadari atau tidak pasti akan mempengaruhi terhadap
tantangan yang dihadapi organisasi manapun. Tantangan yang
dihadapi adalah dengan tingkat ketidakpastian lingkungan
organisasi semakin tinggi, masalah kualitas SDM menjadi suatu hal
yang sangat dibutuhkan. Dalam konsep pembangunan SDM,
pembangunan Indonesia ke depan diarahkan kepada pembangunan
manusia seutuhnya. Hal ini berarti bahwa, kualitas SDM ini dapat
diukur dari seberapa jauh SDM yang ada dapat berdaya manfaat
bagi lingkungan organisasi baik secara internal maupun eksternal
yang bersifat simbiose mutualistik .
Mengingat pentingnya peran pengembangan SDM dalam
organisasi (perusahaan) agar tetap dapat survive dalam iklim
103
persaingan bebas tanpa, maka “peran manajemen SDM tidak lagi
hanya tanggungjawab para pegawai atau karyawan ,tapi merupakan
tanggungjawab pimpinan/para manajer” (Riva’i, 2004:5)
Dalam konsep perspektif makro organisasi, organisasi
dipandang sebagai sub sistem dari lingkungannya. Menurut konsep
ini kemampuan daya tahan organisasi ditentukan oleh seberapa jauh
organisasi dapat mengantisipasi dan mengadaptasikan dirinya
terhadap lingkungan luarnya (eksternal).
Di era global yang semakin terbuka ini, Indonesia akan
menghadapi lingkungan yang semakin tajam dan selalu berubah.
Karakteristik lingkungan yang serba tidak pasti ini bagi Indonesia
merupakan “ancaman” dan sekaligus “peluang”. Hal ini menuntut
kepekaan terhadap perubahan-perubahan eksternal tersebut.
Djiwandono (1993) secara spesifik menyebutkan bahwa daya
kepekaan ini terutama untuk menghadapi perubahan-perubahan yang
terjadi di negara-negara yang banyak mengadakan hubungan dagang
dan keuangan serta permodalan dengan Indonesia, maupun negaranegara
yang karena posisinya memang berpengaruh besar terhadap
hubungan ekonomi-moneter dan perdagangan dunia, seperti
Amerika Serikat, Jepang dan kawasan ASEAN.
Kondisi kritis yang dihadapi bangsa Indonesia yang melanda
tahun 80-an dapat menjadi pelajaran yang cukup berarti, seperti
turunnya harga komoditi primer, khususnya harga Migas dan resesi
dunia tampak sekali melandasi “kerentanan” sumber daya ASEAN
104
termasuk Indonesia (Pangestu, 1992). Krisis ekonomi ini meskipun
dalam banyak hal telah “menghancurkan” kegiatan usaha dalam
negeri tetapi tampaknya telah membawa hikmah bagi kebijaksanaan
pemerintah. Sebagian besar negara-negara ASEAN mengambil
berbagai langkah perbaikan ekonomi dengan mendorong
diversifikasi ekspor komoditi primer ke barang-barang manufaktur,
meningkatkan efisiensi dengan memasukkan kekuatan-kekuatan
bersaing serta lebih membuka perekonomian negara tersebut.
Umumnya dapat diidentifikasi ada banyak faktor yang ikut
mempengaruhi keberhasilan sasaran sebuah organisasi, seperti
faktor struktur, teknologi, dan lingkungan. Namun pada hakikatnya
kekuatan daya tahan organisasi tertumpu pada SDM nya. SDM lah
yang membentuk struktur dan memanfaatkan teknologi. Ada
persyaratan penting untuk memastikan keberhasilan organisasi ini,
yaitu pertama, setiap organisasi hendaknya mampu membina dan
mempertahankan SDM yang mantap dan terampil, kedua, organisasi
yang dapat menikmati prestasi dari SDM-nya, dan ketiga, organisasi
yang dapat menjamin kepuasan dan kesejahteraan anggotanya.
Secara sederhana SDM dalam organisasi/perusahaan dapat
dipilih ke dalam tiga tingkatan, tingkatan pertama mewakili
pimpinan puncak, tingkatan kedua mewakili pimpinan menengah,
dan tingkatan ketiga mewakili pekerja. Dalam sebuah organisasi
ketiga tingkatan ini mempunyai fungsi dan tanggung jawab berbeda.
Pekerja sebagai SDM yang mewakili tingkatan ketiga merupakan
105
komponen sistem yang berfungsi melaksanakan kebijaksanaan yang
diputuskan oleh tingkat di atasnya. Meningkatkan kualitas SDM
dalam organisasi tentunya akan mencakup keseluruhan tingkatan ini.
Dalam pengembangan SDM ada hal penting yang juga perlu
mendapat perhatian yakni apakah dengan SDM yang berkualitas akan
dengan serta merta akan meningkatkan kesejahteraan anggota
organisasi khususnya pada karyawan staf maupun para manajer . Sebab
peningkatan kualitas SDM tidak banyak berarti tanpa ada upaya untuk
meningktakan kesejahteraan tanpa ada upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Karena dengan SDM yang unggullah suatu
organisasi/ perusahaan dapat meningkatkan produktifitas dan
kinerjanya.
2. KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA .
Suatu studi yang dilakukan oleh Jagernson (dalam Susilo,
1995: 73) tentang sumbangan pendidikan terhadap pertumbuhan
ekonomi Amerika Serikat dari tahun 1848-1973 menemukan bahwa
produktivitas tenaga kerja menduduki tempat pertama dibandingkan
dengan modal dan teknologi dalam sumbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Dalam analisis lebih lanjut
ditemukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja adalah pendidikan. Berbagai hasil penelitian baik oleh
Bank Dunia maupun Inkels, adalah memberikan bukti tentang nilai
lamanya pendidikan terhadap peningkatan produktivitas tenaga
106
kerja.Kajian lebih lanjut dalam konteks pendidikan di Indonesia
bisa jadi tidak selamanya selaras dengan peranan pendidikan di
negara-negara maju.
Kendati pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan
SDM ,namun banyak pihak yang memandang ,bahwa produk
pendidikan di Indonesia tidak begitu “match” dengan kebutuhan
pasar kerja . Kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki seringkali
tidak mencerminkan tingkat kemampuan yang memadai untuk bisa
bersaing di pasar global.
Menyadari pentingnya lembaga pendidikan sebagai alat
“transformasi” SDM yang utama, maka pada masa sekarang isu
yang sering muncul adalah bagaimana dunia pendidikan mampu
menjawab tantangan dan sekaligus mengisi tekno struktur dunia
kerja baik di sektor publik maupun bisnis.
Berkaitan dengan hal tersebut ,maka perlu adanya
penyesuaian-penyesuaian dalam bidang pendidikan untuk
mengantisipasi perkembangan Iptek.Penyesuaian ini dapat
menyangkut perubahan struktural, perubahan isi, perubahan peran
pendidik , kegiatan-kegiatan pendidikan baru, dan perubahan dalam
pengelolaan sistem pendidikan.
Ada banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi
perkembangan pendidikan ini. Faktor-faktor tersebut antara lain,
demografi, ekonomi, dan hubungan internasional
(Amijaya,1991).Dari sisi internal, berarti acuan yang perlu dilihat
107
berkaitan dengan mutu pendidikan itu sendiri. Sampai sekarang
belum ada kesepakatan yang baku terhadap pengertian “mutu”.
Bahasan yang sering dipakai untuk melihat indikator ini adalah
mengenai korelasi kurikulum dengan dunia kerja. Soedijarto (dalam
Susilo,1995:74) mencoba mempertimbangkannya dengan melihat
hal-hal yang berkait dengan (1) tolok ukur indikator mutu
pendidikan dan lembaga penanggung jawab, (2) kurikulum sebagai
tolok ukur kerangka acuan dan motivasi pendidikan, dan (3) kualitas
proses belajar dan sistem evaluasi sebagai determinan mutu
pendidikan, serta (4) implikasi bagi perencanaan dan pengembangan
kurikulum yang selaras.
Secara teknis untuk menunjang keberhasilan, pendidikan di
atas pada hakikatnya terdapat tiga fungsi sosial kependidikan yang
mencakup antara lain: (1) fungsi untuk menyiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang “Berjiwa entrepreneur”, (2) fungsi untuk
membekali peserta didik yang tidak dapat melanjutkan
pendidikannya dengan kemampuan dan keterampilan fungsional,
dan (3) fungsi untuk membekali peserta didik untuk dapat
melanjutkan pelajarannya.Ketiga fungsi sosial kependidikan ini
menunjuk kepada pentingnya para perencana kurikulum untuk selalu
melihat kecenderungan perkembangan masyarakat, negara dan dunia
kerja.
Gambar 1 Taksonomi keterkaitannya
108
Sumber: Levin, Henry M. 1976 The Limits of Educational Reform,
New York: David McKay, Co., Inc. Dalam Soedjatmoko et.
Al. Ibid hal 149.
Dengan demikian pendidikan tidak hanya dipandang sebagai
sarana untuk menambah pengetahuan, tetapi juga meningkatkan
ketrampilan tenaga kerja, dan pada akhirnya meningkatkan
produktivitas kerja. Produktivitas kerja disamping dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan
penghasilan dan kesejahteraan masyarakat.
3. EKSISTENSI KUALITAS MANUSIA BERMULTIDIMENSI
Kualitas dari organisasi seperti visi dan misi, strukturnya,
sasarannya, outputnya, tergantung dari kualitas manusianya.
Manusia sebagai sumber dari sifat, sikap, dan perilaku organisasi.
Tanpa manusia, organisasi tidak pernah bersikap dan berperilaku.
Manusia adalah roh dari organisasi. Secara fitrah manusia adalah
makhluk yang paling unggul di atas segala makhluk.
Struktur ekonomi (dunia kerja)
dengan persyaratan
Kualifikasi Tenaga
Kerja dan Iptek
PBM (Proses Belajar
Mengajar) pada suatu
lembaga pendidikan
Sistem Nilai
Sosbudpolhankamagama
Kemampuan dan
karakteristik
lulusan
Masyarakat/
Keluarga
109
Keunggulan manusia selain memiliki potensi koginiti (rasio) yang
akan melahirkan daya berpikir,daya kritis dan analitis , juga afektif
(rasa) yang akan melahirkan budi pekerti, moral dan psikomotorik
( performance) yang tercermin dari segi ketrampilan atau skill
tertentu.
Dari sisi lain dikatakan manusia adalah makhluk sosial,
makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dengan nilai-nilai
norma, kembali pertanyaan kita: Sudah benarkah kenyataannya? Di
sinilah titik masalahnya jika benar manusia adalah makhluk sosial,
makhluk yang berbudaya dan makhluk yang hidup dalam nilai-nilai
norma berarti akan terjalinlah satu tali kasih antara sesama makhluk
dan tali kasih antara makhluk dalam arti khusus adalah manusia
dengan Pencipta maupun tali kasih antara manusia dengan alam
sekitarnya yaitu flora dan fauna, sebab alampun termasuk jenis
makhluk yang diciptakan oleh Pencipta untuk diatur dan dikelola
manusia sebagai sarana kelangsungan hidupnya.
Begitu juga di dalam sistem manajemen dalam sebuah
organisasi. Manajer sebagai penguasa organisasi adalah sebagai
pengatur, pembina dari anggota organisasi, oleh karenanya ia
sebagai pusat kesetimbangan dari organisasi. Oleh karena itu
manajer harus bisa memelihara, membina, dan mendidik sumber
daya manusia ke arah perubahan yang lebih baik. Bila manajer
dalam melakukan aktivitasnya hanya mementingkan nafsu dirinya
110
tanpa peduli dengan anggota organisasi struktur di bawahnya yang
terjadi adalah gejolak, konflik, dan keresahan.
Jadi jelaslah fokusnya bila kita menginginkan organisasi yang
harmonis tanpa gejolak yang berarti , manajerlah pertama-tama yang
dituntut terlebih dahulu kesadarannya. Bila kita berbicara tentang
kesadaran maka kesadaran tidak dapat dilakukan dengan logika atau
akal semata melainkan dengan sebuah rasa. Sebab munculnya
gejolak dan kegoncangan dalam organisasi hanya dapat dirasakan
barulah jalan keluarnya dengan pikiran (logika).
Keterkaitan kesadaran adalah budi pekerti ataupun akhlak
luhur dari manajer. Dan inilah panggilan jiwa dan tanggungjawab
moral bagaimana setiap manager berusaha agar mampu melakukan
anitisipasi dalam mengatasi adanya ketidakpuasaan dari pihak
tertentu agar semua unsur dalam perusahaan merasa memiliki guna
memacu kinerjanya.
Secara normatif Manajemen dari sebuah organisasi
menghendaki penataan terhadap potensi manusia yang cukup
setimbang sempurna di antara anggota organisasi, struktur, dan
lingkungan. Dengan demikian jangkauan manajemen disusun atas
kepentingan bersama, yang saling mencintai sesama anggota
organisasi, langkah-langkah bergerak aktif, berproses menerobos,
dan berusaha mengatasi masalah-masalah organisasi yang mampu
memberikan pemecahan tepat guna, yaitu manajemen yang sikap
dan perilakunya tidak mengundang gugatan pihak kaum lemah. Atau
111
dengan kata lain manajemen yang selalu senantiasa memperhatikan
nasib anggota organisasi sampai ke tingkat bawah.
Yang terhimpun dalam organisasi adalah manusia-manusia
yang beraneka ragam pendirian, keyakinan atau pendapat. Tugas
manajer adalah mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut satu
kesatuan pandang untuk menjangkau masalah-masalah organisasi
yang mampu memecahkan masalah secara tepat guna. Sistem
penghimpunan potensi ini diibaratkan jari-jari tangan yang berbeda
panjang pendeknya tetapi melekat dalam satu kesatuan pada pangkal
telapak tangan, yang di antara jari-jari tersebut saling kerjasama
bahu membahu dan tidak pernah ada penindasan di antara yang lain.
4. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA.
P engembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dalam
organisasi pada dasarnya suatu bentuk usaha untuk meningkatkan
daya tahan dan daya saing organisasi terhadap ancaman lingkungan
eksternal dan suatu usaha untuk meningkatkan daya innovative
untuk menciptakan peluang. Dengan demikian PSDM dalam
organisasi merupakan bentuk usaha pengembangan yang bersifat
integral, baik yang menyangkut SDM sebagai individu dan sebagai
sistem, maupun organisasi sebagai wadah SDM untuk memenuhi
kebutuhannya. Mondy & Noe ( 1995) menyebutkan bahwa:
”pengembangan sumberdaya manusia adalah sebagai upaya
manajemen yang terencana dan dilakukan secara berkesinambungan
112
untuk meningkatkan kempetensi pekerja dan unjuk kerja organisasi
melalui program pelatihan, pendidikan dan pengembangan.”
Usaha PSDM yang integral ini, umumnya ada dasar yang
direkomendasikan sebagai PSDM (Jons, 1981 dalam Sarwono,
1993). (1) Pelatihan bertujuan mengembangkan individu dalam
bentuk peningkatan keterampilan, pengetahuan, dan sikap, (2)
Pendidikan, bertujuan meningkatkan kemampuan kerjanya dalam
arti luas, sifat pengembangan ini umumnya bersifat formal dan
sering berkait dengan karier, (3) Program Pembinaan bertujuan
mengatur dan membina manusia sebagai sub sistem organisasi
melalui program-program perencanaan dan penilaian seperti
manpower planning, performance appraisal, job analysis, job
classification, dan sebagainya, (4) Recruitment, bertujuan
mendapatkan SDM sesuai dengan kualifikasi kebutuhan organisasi
dan sebagai salah satu alat bagi organisasi dalam pembaharuan dan
pengembangan, (5) Perubahan sistem, bertujuan untuk
menyesuaikan sistem dan prosedur organisasi, sebagai jawaban
untuk mengantisipasi ancaman dan peluang faktor eksternal.
Perubahan ini akan dipakai sebagai alat bagi SDM dalam
meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerjanya, (6)
Pengembangan organisasi, bertujuan untuk menjembatani
perubahan-perubahan dan pengembangan baik dari sisi internal
maupun eksternal.
113
Pengembangan SDM tidaklah dapat dilaksanakan secara
sembarangan, mengingat pentingnya peran manusia dalam
menunjang efektivitas organisasi dan mengingat masalah yang dapat
timbul sehubungan dengan SDM itu. Menurut Sarwono (1993)
pengelolaan SDM akan semakin rumit bila organisasi itu merupakan
perusahaan yang memiliki aset besar, yang produktivitasnya tergantung
pada efektivitas kerja para karyawannya. Ada hubungan timbal-balik
yang berkait satu sama lain, antara pengembangan organisasi sebagai
sistem dan pengembangan manusia sebagai sumber daya. Kualitas
organisasi ditentukan oleh SDM-nya, dan PSDM-nya ditentukan oleh
tingkat pertumbuhan dan perubahan organisasinya.
3. Penutup
Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia, mempunyai
posisi yang sangat dibutuhkan dalam upaya menjembatani
perkembangan dunia yang semakin transparan dan global.
Untuk itu perlu ada strategi untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusianya, yang mengarah pada pembangunan
sumber daya manusia yang seutuhnya baik pembangunan dalam
bidang jasmani maupun rohani.
2. Hal itu dilakukan melalui proses pendidikan,pelatihan dan
pembinaan serta menciptakan kondisi yang dibangun oleh
setiap manajer dalam suatu organisasi baik bisnis maupun
organisasi publik secara terstruktur dan profesional.
114
3. Pendekatan mutu modal manusia (human capital quality )
menekankan fngsi manusia (karyawan) sebagai faktor produksi
yang amat penting selain modal finansial, teknologi , material.
Lemahnya kemampuan mutu SDM akan membawa implikasi
pada proses produksi , daya kreasi dan keberlangsungan suatu
organisasi dalam menghadapi era kompeteisi dan tantangan
masa global.
115
DAFTAR PUSTAKA
Mondy ,R.W & Noe III,RM,1995,Human Resource Management,
Massahusetts, Allyn & Bacon
Pangestu, Mari, 1993, Perekonomian Asia Timur, Jakarta, Prisma
No.4 th. XXII.
Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk
Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo
Persada.
Sarwono, Salito, 1993, Sumberdaya Manusia kunci Sukses
Organisasi, Jakata ,Lembaga Manajemen Univeristas
Indoensia.
Soedjatmoko, 1991, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan
Nasional Menjelang Abad XXI, Jakarta Gramedia.
Susilo , Heru 1995, Mencari Starategi Pengembangan Sumberdaya
manusia dalam Organisasi ,Malang ,FIA Unibraw dan IKIP
Malang.
Usmara, A (ed) , 2002, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya
Manusia, Yogyakarta, Amara books.
===
116
PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
DALAM PENGEMBANGAN
SUMBERDAYA MANUSIA
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERISTAS PADJADJARAN
2007
117
KATA PENGANTAR
Tema yang diangkat dalam makalah ini adalah tentang
“Peranan Pendidikan dan Pelatihan dalam pengembangan
Sumberdaya Manusia’. Pendidikan dan pelatihan sebagai salah satu
instrumen yang dapat meningkatkan pengembangan SDM dirasa
amat penting keberadaannya, mengingat masih banyak rendahnya
mutu SDM kita dibandingkan dengan negara –negara lain. Di
tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai jenis potensi
untuk program yang mengandung potensi untuk menimbulkan
perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah seberapa kuat
stimulan yang bersumber dari peraturan dan program pendidikan
dan pelatihan mampu berperan sebagai “pemicu” dalam perubahan
organisasi atau pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kebijakan tentang prioritas pembangunan Indonesia
mengorientasikan pada : “Pembangunan sumber daya manusia agar
makin meningkat kualitasnya sehingga dapat mendukung
pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan
pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai
peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan
berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu
pengetahuan dan tekonologi yang makin mantap”.
Dalam pembinaan personil selanjutnya, pimpinan perlu
mengembangkan strategi self management bagi personil yang telah
selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu
menyelesaikan pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya
bertindak melalui manipulasi peristiwa internal dan eksternal.
Demikian makalah yang penulis susun, semoga dapat
melengkapi bahan kajian yang telah disusun oleh para penulis
lainnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang
telah membantu penyelesaian makalah ini.
Bandung, Mei 2007
Penulis.
118
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................ ii
1. PENDAHULUAN ............................................... 1
2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA ............................... 3
3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN
MASA DEPAN ..................................................... 9
4. STRATEGI PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN SDM ..................................... 11
5. KESIMPULAN .................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................. 21
119
PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DALAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
1. PENDAHULUAN
Pengaruh perkembangann sains dan teknologi dalam berbagai
kehidupan semakin meningkat, terutama karena desakan tuntutan
masyarakat baik di level lokal,nasonal maupun global. Untuk
menyesuaikan dan mengantisipasi pengaruh tersebut diperlukan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembangunan nasional
Indonesia saat inipun memerlukan dukungan sumber daya manusia
yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Personil
yang telah ada sebagian besar masih belum mampu menyelesaikan
pekerjaan pada jenjangnya masing-masing. Oleh sebab itu sasaran
umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua untuk menciptakan
kualitas manusia dan kualitas masyarakat merupakan keputusan
strategis yang seyogayanya diimplementasikan dalam berbagai
sektor Pemerintahan.
Pengelolaan sumber daya manusia tidak hanya terpusat pada
kegiatan seleksi, penempatan, pengupahan, pelatihan, transfer,
promosi serta berbagai tindakan lainnya, yang fokusnya adalah pada
kepentingan organisasi kerja. Tugas utama dari pengelolaan sumber
120
daya seringkali hanya mengusahakan agar personil dapat bekerja
secara efektif. Perhatian yang terlampau terpusat pada kepentingan
organisasi kerja cenderung disertai pengbaian hak-hak mereka untuk
diperlakukan secara manusiawi. Strategi pembangunan yang
manusiawi, bukan saja memperhitungkan peningkatan kualitas
sumber daya manusia, dikenal dengan istilah strategi pengembangan
sumber daya manusia atau human resources development. Tapi
dalam artian yang luas pengembangan sumber daya manusia
terutama meliputi pendidikan dan pelatihan, peningkatan kesehatan
manusiawi, yang menyegarkan dalam organisasi, dan pertemuan
ilmiah seperti seminar, simposium perlu untuk ditingkatkan.
Ciri yang konkrit dari program pendidikan dan pelatihan
dalam peningkatan mutu unjuk kerja personil selalu berkembang,
karena kebutuhan organisasi kerja dan masyarakat selalu
berubah.Kekuatan potensial yang dapat menimbulkan perubahan
adalah yang saling berkaitan. Namun kegagalan bisa terjadi
manakala saling tumbang tindih yang satu dengan yang lain, maka
mungkin saja program pendidikan dan pelatihasn merupakan salah
satu bentuk secara sengaja, tidak mampu menimbulkan perubahan
yang substansial dalam rangka suatu rekayasa.
Penelaahan seperti ini adalah tidak memadai apabila
analisisnya terbatas pada efisiensi dan efektivitas internal sebagai
sebuah program dengan sistem tertutup. Persoalan akan terungkap
lebih jelas, jika dianalisis pula faktor eksternal, terutama faktor
121
organisasi kerja dalam mendayagunakan personil yang telah melalui
proses pendidikan dan pelatihan.
Di tengah-tengah berbagai sumber kekuatan atau berbagai
jenis potensi untuk program yang mengandung potensi untuk
menimbulkan perubahan organisasi, maka isu kritisnya adalah
seberapa kuat impuls yang bersumber dari peraturan dan program
pendidikan dan pelatihan yang mampu berperan sebagai “pemicu”
dalam perubahan organisasi atau pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
2. ANALISIS SWOT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER
DAYA MANUSIA .
Dalam pengembangan SDM banyak faktor yang
mempengaruhi terhadap keberhasilan maupun kegagalan dalam
meningkatkan kinerja organisasi. Berbagai analisis yang digunakan
dimaksudkan untuk melakukan telaah terhadap berbagai situasi atau
keadaan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal.
Salah satu instrumen penting mengantisiapsi situasi dan kondisi
perlu menggunakan analisis SWOT seperti yang ditegaskan oleh
Hunger dan Wheelen, “The factor are most importance to the
corporation’s future are refered to as strategic factors and
summarized with the acronym S.W.O.T, standing for Strength,
122
Weaknesses, Oppotunities, and Threats (Hunger dan Wheelen,
1993:12).
Analisis SWOT mengembangkan strength (kekuatan),
weaknesses (kelemahan), oppotunities (kesempatan), dan threats
(ancaman). Pendekatan ini berusaha mengembangkan kekuatankekuatan
dan kelemahan-kelemahan internal organisasi (Looking
In), dengan memperhatikan kesempatan-kesempatan dan ancamanancaman
yang ada dari lingkungan eksternal (Looking Out). Dalam
makalah ini dibicarakan khusus yang berkenaan dengan Sumber
Daya Manusia di Lingkungan Pemerintahan. Komponen tersebut
akan dibahas berikut ini satu per satu.
1. Kekuatan ( Strength )
Faktor yang menjadi kekuatan dalam pengembangan dan
pembinaan SDM adalah setiap kebijakan yang diputuskan
pemerintah baik dalam bentuk Program Pembanguan Jangka
Menengah Nasional , maupun UU dan Peraturan Pemerintah yang
dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sebagai
pedoman bagi pada pelaksana di lapangan .
Prioritas pembangunan yang berkaiktan dengan SDM adalah
bahwa: “Pembangunan sumber daya manusia agar makin meningkat
kualitasnya sehingga dapat mendukung pembangunan ekonomi
melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang
makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan
123
pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang
pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan
tekonologi yang makin mantap”.
Di Indonesia telah diadakan berbagai pendidikan dan
pelatihan dari berbagai bidang atau profesi dengan maksud
meningkatkan ketrampilan, pengetahuan dan profesionalisme
pegawai agar diperoleh kinerja yang optimal.
Mutu unjuk kerja personil setelah bertugas kembali menunjukkan
kemampuan menyelesaikan tugas dengan rasa percaya diri yang
cukup tinggi. Dengan demikian kita telah memiliki kekuatankekuatan
berupa peraturan pendukung, sejumlah personil yang telah
dilatih, dan ketrampilan kompetitif yang baik.
2. Kelemahan ( weaknesses)
Dalam pengembangan dan pembinaan Aparatur Negara masih
ditemui sistem manajemen yang belum efisien dan efektif. Di antara
kelemahan atau kendala yang dihadapi (U. Husna, 1995) adalah:
a) Pengkajian mutu unjuk kerja personil di lingkungan
Pemerintah Kabupaten/kota yang baru sampai pada taraf
melakukan investarisasi pendidikan kedinasan yang telah
diikuti personil dan memberikan rekomendasi untuk
mengikuti seleksi pendidikan dan pelatihan berikutnya.
b) Mutu unjuk kerja personil yang telah mengikuti pendidikan
dan pelatihan sebagian masih rendah karena masih terdapat
keraguan dalam menyelesaikan tugas. Mereka memerlukan
penambahan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
jabatannya. Perilaku personil setelah mengikuti pendidikan
dan pelatihan tidak seluruhnya dapat memberikan kontribusi
untuk pengembangan organisasi.
124
c) Persiapan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan tidak
melibatkan seluruh penatar atau instruktur.
d) Asumsi panitia tentang kemampuan penatar dalam memahami
silabus berakibat proses belajar mengajar tidak seluruhnya
menarik perhatian peserta dalam mencapai tujuan.
e) Penyediaan fasilitas dalam memberikan pelayanan kepada
learners terlebih-lebih pada saat peralatan terbatas belum
terlaksana dengan baik.
f) Substansi Kurikulum belum menyentuh seluruh kebutuhan
organisasi dan pertumbuhan kepribadian peserta.
g) Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses
belajar mengajar dalam persepsi peserta belum dapat
membangkitkan keakraban emosional dan memberikan
kepercayaan intelektual. walupun demikian prosesnya telah
diupyakan disesuaikan dengan keadaan lapangan.
h) KKPRK tidak seluruhnya dapat dijadikan pedoman untuk
memonitor tugas setelah mereka kembali, karena belum tentu
menduduki posisi seperti yang direncanakan KKPRK.
i) Pelaporan peserta setelah mengikuti pendidiikan dan pelatihan
belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk mementau
kegiatan mereka.
j) Pertimbangan dalam Penempatan Personil baru dilakukan bila
ada formasi.
k) Desiminasi alumni yang tidak proporsional menyulitkan
penempatan personil sesuai dengan kebutuhan organisasi.
l) Pembinaan personil di lingkungan Pemerintah Daerah
mengalami benturan peraturan.Pembinaan Personil seringkali
hanya ditujukan kepada personil yang menunjukkan
keinginan untuk tumbuh dan berkembang.
Adapun dari sisi manajemen pembelajaran , dapat dilihat dari
kelemahan , al.:
a) Masih melemahnya koordinasi dalam penyusunan kebijakan,
perencanaan dan pelaksanaan, dan pengendalian sehingga
mengakibatkan kurang adanya konsistensi dan keterpaduan yang
menyulitkan pencapaian tingkat daya guna dan produktivitas
yang optimal.
b) Kendala kelembagaan adalah belum dapat berfungsinya secara
efektif dan efisien beberapa satuan organisasi dalam aparatur
125
pemerintah; belum tertatanya pembagian tugas dan wewenang
antar instansi vertikal di daerah dengan dinas daerah sehingga
pelaksanaan urusan pembangunan di daerah masih ada yang
tumpang tindih serta kurang mendorong pelaksanaan otonomi
daerah yang bertitik berat pada tingkat II.
c) Masih melemahnya kualitas pegawai dan administrasi
kepegawaian negeri seperti antara lain kecilnya persentase
tenaga sarjana dan jumlah peserta pendidikan dan pelatihan
dalam formasi kepegawaian. Demikian pula, program dan
penyelenggaraan diklat yang belum memadai dan terencana
baik, serta belum sepenuhnya dikaitkan secara taat azas dengan
kebijaksanaan pengembangan karier.
d) Dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan, perilaku aparatur belum sepenuhnya
menunjukkan semangat melayani, mengayomi dan bersikap
terbuka.
3. Kesempatan ( opportunities )
Perkembagan dunia semakin terbuka yang memerlukan
kepekaan bagaimana memamfaatkan berbagai peluang yang ada.
Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa peluang yang
terbuka tidak memiliki fungsi apa-apa tanpa dapat
memanfaatkannya secara pro aktif. Kesempatan-kesempatan yang
ada dapat dipetik dari ekspansi global adalah bagaimana kita mampu
126
mengakses berbagai informasi dunia yang dapat membantu
mengembangkan SDM kita.
Berbagai kegiatan yang berorientasi pada pengembangan
SDM, baik dalam bentuk pendidikan,pelatihan, seminar ,workshop
baik yang diselenggrakan lembaga pemerintah maupun non
pemerintah memberi ruang gerak bagi setiap aparat maupun manajer
untuk terus dapat meningkatkanb kalitas` sumber daya manusia.
Kemampuan SDM kita dalam penguasaan Iptek memberikan
kesempatan untuk merebut pasar dunia. Bahkan lulusan SDM kita
dari luar negeri dan dalam negeri memberikan sponsor pendidikan
dalam peningkatan mutu SDM.
4. Ancaman ( threats )
Ancaman yang utama dari luar adalah perkembangan Iptek,
berupa arus teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan
waktu. Ketika memasuki pasar bebas, maka perlu antisipasi dampak
negatif dari ekspansi tersebut. Hal ini akan terasa ketika terjadinya
persaingan yang semakin tajam menghendaki produk maupun
layanan harus berorientasi pasar .
Pengaruh global bukan hanya berakibat tertinggalnya kita
dalam teknologi tetapi akan mempengaruhi budaya bangsa. Adanya
budaya kerja yang menghambat dapat mengakibatkan kurangnya
kepercayaan para investor dan penyandang dana (donatur) terhadap
pemerintah .
127
3. KUALIFIKASI SDM YANG DIPERLUKAN MASA DEPAN
Tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan datang ditandai
dengan dominasi teknologi komunikasi, sebagian besar pekerjaan
terletak pada sektor jasa dan informasi. Informasi merupakan
kekuatan dan kekuasaan pada zaman pasca modern. Dunia sedang
bergulat dalam masa transisi menuju ekonomi jasa.
Teknologi komunikasi menghilangkan batas ruang dan waktu.
Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia mempengaruhi reaksi kita.
Kita ikut terharu oleh mayat-mayat yang tertimpa bencana di
belahan bumi yang lain. Jaringan telekomunikasi telepon, telek,
faksimili, radio, televisi, komunikasi (gabungan komputer dan
telekomunikasi), international network (internet) secara
eksponensial memperbanyak frekuensi kontak kita.
Pertukaran informasi di antara penduduk dunia berlangsung
dengan cepat dalam jumlah yang banyak. Manusia harus bereaksi
dengan cepat, padahal alternatif yang tersedia sangat beragam. Karena
luasnya perubahan yang terjadi seluruh aspek kehidupan kita
terpengaruh keluarga, pekerjaan, pendidikan, rekreasi, bahkan
kehidupan beragam.
Manusia dikatakan sehat secara psikologis bila dapat
memberikan reaksi yang tepat pada lingkungannya, bila ia “well
adjusted”. Kemampuan beradaptasi memberikan kesan bahwa ia
mampu memahami dan mengendalikan lingkungan. Ia memiliki
128
ketrampilan dan memperlihatkan unjuk kerja yang optimal. Mutu
unjuk kerja yang diharapkan adalah tercapainya tingkat kematangan
dalam menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada personil.
Hersey dan Blanchard (1980:162) mengemukakan variasi
kematangan seseorang ditinjau dari tanggung jawab sebagai berikut:
(1) individuals who are neither willing nor able to take
responsibility.
(2) individuals who are willing but not able to take
responsebility
(3) individuals who are able but not willing to take
responsibility, and
(4) individuals who are able to take responsibility.
Jadi tingkat kematangan seseorang yang memperlihatkan
mutu unjuk kerja yang tinggi adalah mereka yang memiliki
keinginan bertanggung jawab dan dapat bertanggung jawab.
Kemudian ditegaskannya dua faktor kematangan yaitu, (1) “job
maturity-ability and technical knowledge to do the task, and (2)
psychological maturityfeling of self confidence and self respect
about one self as and individual” (Hersey dan Blanchard,
1980:163).
Jadi orang yang matang atau memperhatikan mutu unjuk
kerja yang tinggi tidak hanya memiliki kemampuan dan
pengetahuan untuk mengerjakan tugas, tapi juga memiliki rasa
kepercayaan pada diri sendiri dan merasa baik dari apa yang
dilakukannya. Mampu mengadakan segala perubahan karena salah
satu ciri kehidupan adalah perubahan. Mereka yang tidak mengikuti
129
perubahan zaman akan tinggal menjadi manusia yang konservatif
dan menghalangi kemajuan. Personil yang memiliki mutu unjuk
kerja tinggi akan lebih peka (sensitif) terhadap nilai-nilai yang
sifatnya rohani atau spiritual, pertumbuhan kepribadian tidak
menyimpang dengan norma.
4. STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SDM
Untuk pembinaan serta pengembangan sumber daya manusia
diperlukan suatu strategi tertentu, sehingga hasil yang diharapkan
bisa tercapai. Henry Mintzberg yang menjelaskan bahwa, A strategy
is the pattern or plan that integrates an organization’s gloals,
policies, and action sequences into a cohesive whole. (Henry
Mintzberg, 1982:5). Farky Gaffar menegaskan bahwa strategi
adalah mekanisme organisasi yang menjabarkan visi secara
operasional dan menterjemahkan kebijaksanaan dalam bentuk
tindakan nyata. Strategi adalah cara yang tepat untuk melaksanakan
kebijakan (1994:7).
Strategi yang dapat ditempuh dalam pembinaan
pengembangan SDM dalam manajemen dimulai dari pengkajian
kebutuhan (need assesment) untuk suatu program, persiapan dan
pelaksanaan pendidikan, evaluasi dan pembinaan untuk
meningkatkan effisiensi dan efektivitas implementasi pendidikan
dan pelatihan. Mengembangkan kerja sama dengan pihak pemakai
untuk mendukung pelaksanaan pendidikan dan pelatihan merupakan
130
strategi yang cukup penting. Kegiatan tersebut akan dibahas satu
persatu berikut ini.
1. Pengkajian Kebutuhan (Need Assesment)
Salah satu kegiatan dalam pengkajian ini adalah mengkaji
mutu unjuk kerja personil. Agar perencanaan pendidikan dan
pelatihan mencapai sasaran, maka organisasi pemakai perlu
mengkaji mutu unjuk kerja personil di lingkungannya secara
komprehensif. Daniel L. Stufflebeam dkk (1985:6-7)
mengemukakan beberapa definisi kebutuhan dalam mengkaji
kebutuhan adalah sebagai berikut:
Discrepancy view: A need is discrepancy between desired
performance and observed or predicted performance”.
Democratic view: A need is a charge desired by a mayority of
some referance group. Analytic View: A need is direction in
wich improvement can be predicted to accur, given
information about current status. Diagnostic view: A need is
something who absence or defiency proves harmfull.
Kebutuhan akan pendidikan dan pelatihan bukan hanya
dilakukan secara kuantitatif tapi perlu dilakukan secara
komprehensif yakni dengan mengkaji dan menginventarisasi mutu
unjuk kerja personil yang ada sekarang dengan yang seharusnya
untuk mampu menyelesaikan pekerjaan.
2. Persiapan dan Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan memerlukan persiapan.
Di antara persiapan itu adalah membuat kebijakan pertemuan
131
dengan penatar, membuat jadwal, mempersiapkan fasilitas proses
belajar mengajar.
Untuk membuat persiapan pendidikan dan pelatihan Diklat
perlu mengadakan pertemuan dengan seluruh penatar. Kita tidak
boleh berasumsi bahwa silabi sudah cukup memadai untuk pegangan
menyampaikan materi. Pertemuan dengan seluruh penatar pada
dasarnya untuk mencegah terlalu jauh menyimpang dari tujuan
yang telah ditetapkan. Koordinasi di antara adanya pertemuan
bersama semua gerak langkah terkoordinasi dengan baik. Dalam hal
seperti ini perlu sikap hati-hati dalam membuat suatu asumsi seperti
yang disarankan oleh Michael W. Apple (1995:153), “We should
cautions of technical solutions to political problems. We should
cautions about fine-sounding words that may not take account of
daily lives of the people who work in this institutions”.
Tantangan dalam pengembangan program dan pelaksanaan
kurikulum adalah faktor penatar, panitia, dan sistem organisasi.
Dalam kondisi seperti ini dituntut tanggungjawab pimpinan sebagai
perancang program. “In dedigning profesional development
programs for those responsible for instructions, instructional
leaders should address the technical skills needed to develop and
implement an outcome-based instructional system...” (Kathleen A.
Fitzpatrick, 1995:127).
Dari pembahasan di atas jelaslah bahwa kurikulum perlu
diupayakan untuk dihubungkan dengan tugas personil di lapangan
132
yang menyangkut berbagai ketrampilan. Keterhubungan itu memang
perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum. Substansi
Kurikulum perlu menyentuh seluruh kebutuhan organisasi dan
pertumbuhan kepribadian peserta. Jika dilihat dari materi
kurikulum, agar peserta mengalami perubahan yang mendasar
sebagai aparat pemerintah, maka kurikulum seyogyanya secara
substansi memuat tentang: tecnical skill, conceptual skill, human
skill, political skill, dan personal growth.
Ketrampilan teknis (technical skill) yaitu kemampuan untuk
menggunakan alat-alat, prosedur dan teknik dari suatu bidang
kegiatan tertentu. Ketrampilan manusiawi (human skill) yaitu
kemampuan untuk bekerja dengan orang lain, memahami dan
merancang serta mendorong orang lain. Orang lain itu termasuk
bawahan.
Ketrampilan konseptual (conceptual skill) adalah kemampuan
mengkoordinasi dan mengintegrasikan seluruh kepentingan dan
kegiatan organisasi sehingga organisasi dapat dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh.
Ketrampilan politis (Political skill) dimaksudkan adalah
ketrampilan yang mampu memperoleh kekuatan untuk mencapai
tujuan organisasi. Ketrampilan politis termasuk menentukan
hubungan yang benar dan mempengaruhi orang yang benar.
Ketrampilan politis termasuk memenangkan pengaruh dari orang
lain, merebut kekuatan ataupun mempertahankan kekuatan.
133
Ketrampilan ini memungkinkan seorang untuk terus
mengembangkan kariernya. “Recently, Pfeffer (1989) suggested that
a political focus may be an important, yet overlook. persfective in
understanding career success”. (Timothy A. Judge, 1994:44).
Pertumbuhan kepribadian (personal growth) diharapkan
tumbuh sikap yang positif terhadap keseluruhan tugas
pengabdiannya, dan kedewasaan bertindak. Pemahaman,
penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut
oleh seorang pemimpin. Penampilan untuk menjadikan dirinya
sebagai panutan dan teladan bagi stafnya.
Peserta sebagai input diasumsikan sudah memiliki (K)
Knowledge: Pengetahuan, (S) Skill: Ketrampilan, dan (A) Atitude:
Sikap. Setelah selesai mengikuti pendidikan diharapkan lebih
menekankan pada perubahan Atitude (Sikap), setelah itu Skill
(Ketrampilan), dan terakhir memiliki knowledge (pengetahuan).
Upaya untuk menguasai KSA menjadi ASK tidak hanya dalam
semboyan tapi diwujudkan dalam setiap penyampaian aspek
kurikulum, dengan terintegratif dalam setiap proses belajar
mengajar. Aspek tersebut memang tidak terlihat secara eksplisit
dalam kurikulum, aspek tersebut seakan-akan tersembunyi di dalam
setiap piranti, dan nyata hingga tidak perlu penyampaian secara
monolitik.
Performance instruktur mencakup aspek-aspek: a)
Kemampuan profesional, b) Kemampuan sosial, c) Kemampuan
134
personal. Ketiga standar umum ini sering dijabarkan sebagai
berikut: (Johnson, 1980). Kemampuan profesional seorang pelatih
atau instruktur meliputi: (1) Penguasaan materi pelajaran yang
terdiri dari bahan yang akan diajarkan, dan konsep dasar keilmuan
dari bahan yang diajarkan itu: (2) Penguasaan dan penghayatan atas
landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan; (3) Penguasaan
proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa.
Kemampuan sosial menyangkut kemampuan menyesuaikan
diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu
membawakan tugasnya sebagai instruktur. Kemampuan personal
(pribadi) mencakup: (1) Penampilan sikap yang positif terhadap
keseluruhan tugasnya sebagai seorang pelatih beserta unsurunsurnya:
(2) Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai yang
seyogyanya dianut oleh seorang instruktur: (3) Penampilan upaya
untuk menjadikan dirinya panutan dan teladan bagi peserta latihan.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa profesi
instruktur perlu mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.
Sehingga tidak semua orang mempunyai peluang untuk tampil
menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Metode yang dipergunakan dalam melaksanakan proses
belajar mengajar dalam persepsi peserta seyogyanya dapat
membangkitkan keakraban emosional dan memberikan kepercayaan
intelektual.
135
Evaluasi atau penilaian dilakukan pada dasarnya untuk
mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar yang telah
dilakukan, dalam upaya menyerap kurikulum yang telah ditetapkan.
Dengan evaluasi dapat diektahui bagian kurikulum yang dapat
dikembangkan terutama yang masih lemah. Evaluasi juga dapat
mengetahui faktor penyebab kelemahan kurikulum dan proses
belajar mengajar. Dengan demikian dapat diupayakan cara
pemecahannya.
3. Penempatan dan peningkatan Kinerja Pegawai.
Penempatan kembali personil setelah mengikuti pendidikan
merupakan sebagai salah satu tindakan manajemen. Penempatan ini
menunjukkan berbagai variasi. Ada di antara mereka yang
dipromosikan atau ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari
sebelum mengikuti pelatihan. Ada yang menempati posisi semula
yang sama, dan ada pula yang dialihtugaskan pada posisi lain
dengan eselon yang sama.
Salah satu tugas Bagian Personalia adalah mengatur
penempatan pegawai dan terus mengatur personil selama berada
dalam organisasi. Prinsip yang dikembangan the right man on the
right place , harus menjadi acuan bagaiaman menempatkan kembali
pegawai yan telah mengikuti diktlat tersebut .Tentu harapan
pegawai dapat ditempatkan sesuai dengan skill, ketrampilan dan
kemampuan kerjanya.
136
Dalam pembinaan personil pimpinan perlu mengembangkan
strategi self management bagi personil yang telah selesai mengikuti
pendidikan dan pelatihan, supaya mereka mampu menyelesaikan
pekerjaan sendiri, melalui tanggung jawabnya bertindak melalui
manipulasi peristiwa internal dan eksternal.
Mereka dapat mengubah dan mengembangkan perilakunya
sesuai dengan potensi yang telah dimilikinya. Bahkan diharapkan
mereka dapat komitmen dengan perilaku positif yang dicapainya.
Nahoney & Arnkoff, menegaskan bahwa “The self management
literature treats individuals as if they were isolated system, who
sole task are those of observing their own behaviors, setting up cues
and reimforcing and punishing themselves” (tsui, Ashford,
1974:96).
Perubahan lingkungan terjadi karena adanya penyederhanaan
dari hal-hal yang dipandang sangat kritis dalam organisasi.
Organisasi perlu menyesuaikan diri, termasuk perubahan di
lingkungan dan staf (Gutherie et-al, 1993:889). Pimpinan perlu
memotivasi pegawai setelah Pendidikan dan Pelatihan, termasuk
memperhatikan faktor yang sangat penting dalam peningkatan
kualitas manusia adalah kesehatan personil dalam organisasi.
Menjaga kesehatan personil dalam artian yang luas termasuk
kesehatan lingkungan, dan mental merupakan upaya pembinaan
sumber daya manusia.
137
Personil yang matang tanpa dukungan dan organisasi yang
mapan juga tidak akan mendatangkan produtkivitas yang tinggi.
Agar produktivitas organisasi semakin meningkat, maka penggunaan
(deployment) pegawai setelah pelatihan perlu dilakukan secara tepat.
5. KESIMPULAN
Pengembangan sumber daya manusia akan berjalan dengan
efektif bila organisasi penyelenggaraan mengelolanya secara
profesional. Salah satu upaya pengembangan SDM adalah
pendidikan dan pelatihan. Untuk melaksanakan pendidikan dan
pelatihan diperlukan suatu strategi. Strategi yang dapat ditempuh
tetap mengacu pada mutu, di mana produk akhir diukur dan
memenuhi standard tertentu. Standard bagi personil diukur dari
kemampuan melaksanakan tugas sesuai dengan eselon tertentu.
Mutu yang akan ditingkatkan adalah mutu unjuk kerja personil agar
mereka lebih produktif dalam menjalankan tugas yang menjadi
tanggungjawabnya sekarang atau untuk masa yang akan datang.
Upaya perbaikan mutu unjuk kerja yang tuntas perlu
dilakukan secara terus menerus, mulai dari mengkaji mutu unjuk
kerja, melaksanakan strategi pendidikan dan pelatihan,
menempatkan kembali, mengevaluasi dan membina mutu unjuk
kerja setelah selesai pendidikan dan pelatihan. Dalam mengkaji
mutu unjuk kerja personil dilakukan kegiatan identifikasi mutu
unjuk kerja personil dengan instrumen yang validitas dan
138
reliabilitasnya telah teruji, membuat kebijakan dan prioritas,
menentukan program yang ditempuh.
Lembaga pendidikan yang bertugas meningkatkan mutu unjuk
kerja personil seyogyanya mempertimbangkan hasil kajian mutu
unjuk kerja personil yang telah diperoleh, sebagai bahan pengayaan
kurikulum. Kurikulum yang dipakai adalah koheren yang secara
substantif mensikronisasikan kebutuhan individu dengan kebutuhan
organisasi sebagai tujuan yang akan dicapai. Kurikulum, proses
pendidikan dan pelatihan, dan evaluasi merupakan suatu sistem
yang harus direncanakan secara strategis, sehingga dalam
pelaksanaan tidak banyak mengalami benturan dan hambatan.
Instruktur dan peserta merupakan komponen yang sangat
menentukan.
===
139
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, U. Husna, 1995, Permasalahan Sumberdaya Aparatur :
Tinjauan dari Aspek Pendidikan dan Pelatihan, Pontianak,
LAN dan Pemda Kalbar.
Hersey ,Paul and Blanchard, Kennet.H, 1980, Management of
Organizational Behavior, Utilizing Human Resources,
New`Delhi , Prentice Hall of India Private Limited .
Hunger,J. David dan Wheelen, Thomas L, 1993, Strategic
Management, Addison Wesley Publishing Caompany,Inc.
Judge, Timothy A & Robert D Bretz ,1994, Political Influence
Behavior and Career Success, Journal of Management 20(1).
Mintzberg, Henry and Brian Quinn James, 1992,The Stategy
Process, Concepts and Contexts, New Jersey USA, Prentice
Hall Inc.
Nawawi, Hadari, 2001, Manajemen Sumberdaya Manusia,
Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
Nursanti, T.Desy, 2002, Strategi Teintegrasi Dalam Perencanaan
SDM , dalam Usmara, A (ed), Paradigma Baru Manajemen
Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Amara books.
Riva’i, Veithzal, 2004, Manajemen Sumberdaya Manusia untuk
Perusahaan : dari teori ke praktek, Jakarta ,RadjaGrapindo
Persada.
140
" 1 " -
-
Materi disampaikan dalam kegiatan Pelatihan
Administrasi Perkantoran Dinas Kesehatan Kota Cimahi
28 Juni 2007
- 4
$ + " 5 "
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
141
KATA PENGANTAR
/
/ # #
(
# >
/ # #
/ #
"
#
'
# #
# #
#
"#
# G M .
%
"
"
"#
#
#
#
!
#
$
(
E
$
*
+,,5
142
6 -
-
" 7 "8" 7 " ) )
) !
! ) 9
) )
8
) *
. ) 8 ) ) (
) *
==@@==
143
" 1 " -
-
3
6 -
-
( # #
2
'
8
#
#
# #
#
"#
# G
M .
%
"
"
"#
#
#
#
" # % : ;
#
9 < =>
# #
2
8
#
!
#
;% "#
8 !
#
# # #
1 % # % '
- !
#
2 8
-
2 8
6
G 9/:2" 5
" +5" 5" < 5" 5" 8
-
144
!
"#
# # # # ;
% "#
#
/
#
$
6
"
2 ' 8
# #
;
% #
/
"
"
"#
2
8
!
#
#
6
3 !
"#
'
$
+ /
9
: 2
8 /
6 !
145
!
!
!
= $
"
7 "
"
"#
C # #
"
2$
344+6 C8
#
3 #
&
"
9! :
+
" 7 "8" 7 " ) )
)
;
6
3 /
6
# ) # !
!
/ #
#
/ #
#
146
#
"#
"
+ /
!
!
!
& !
!
!
!
!
!
# !
!
!
$
= /
!
6 (
7 /
6 !
C /
6 !
!
2!
8 !
2 ( = 8
2 !
& !
8
< /
6 !
5 /
#
6 !
/
!
- /
6 !
%
0
"
"
'
#"
# 2
#
"
% 8
0
#
;
#
"
(
147
#
#"
#
2
8
6
3 /
5! 6
2 # #
# 8
+ >
2
#
#
#
2 #
. G
8
= !
2
8
7 /
2 #
8
8
C /
< $ #
2
"#
8
"
!
#
"
6
3
! 2
8 !
'
/
6
#
148
#
+
'
# #
/
'
'
=
!
#
#
(
#
'
(
'
!# #
'
7
! !
! ! #
C ! !
. !
/
#
'
'
#
J
(
#
'
149
'
( "
9
#
:
! )
!
!
#
# ' #
"
'"
'
&
'
# #
A
'
$
"#
@
'
9
:
(
"
'
/
#
150
) )
8
)
/
/ % # # 53;344=
E
6
!
# !
2 ' . 8
# # !
!
?
@
!
"
!
%
!
!
; N 2 8
%
6
151
$
'
!
!
; # !
# # 6
?
6
@ 6
H I IIIIII
I III IIIII
IIIIIIII
!
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIII IIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIII IIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIII IIIIIIIIIIIII IIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIII IIIII IIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
!
*
IIIIIII
IIIIIII
%
6
' ? '
!
.
(
6
152
?
# #
# #
# # #
" # # "
'
%
# #
6
/
/
/
$
'
? A
# #
6
# #
#
># # 6
# # 6 ,,5; !@'3;%M;+,,5 2
8
+,,5
%M
@!'3 #
,,5 # #
153
7
# #
># # 6
3 $
+5 / +,,5
+ 35
+,,5 2
8
0 %'
/
*
#
'
6
*
( "
># # ?
6
2
8
$
@ 9 : 9 # : 9
: 9
: 9
: @
#
@
6
@
$
"
@
"
"
154
># # 6
3 @ 6 * &
+ @ 6 &
%
# (
"
#
6
38 H 6
+8
=8 &
78
.
6
38
6
+8 /
9 H : 6
=8 /
78 /
C8 /
<8
' #
155
># # 6
H $
# 0
!
*
(
#
* * !
!
* 3,+5,
%
%,
!
"
#
2
# 8
6
( #
F
#
#
#
$
! "
/
0
># # 6 (
III
/ !
!
# # III
156
.
%
! "
'
II
' !
#
.
(
># # 6 '
!
' ! # #
$
$
%
'
!
6 #
# A
(
157
F
#
!
9
:
1
%
;
!
9
:
(
'
&
'
"
' 2 8 6 ##
# #
)
%M
!
'
2
8 6 # &
1
# $
$
#
'
2
8 6 H # &
1
# $
158
%,
'
(
'
1
# #
(
;
># #
6
38 # &
1
% $
2
# 8
+8
# $
0 : ;
#
#
# "
/
6 %@; ! 2 %
@
; !
8
. ) 8 ) )
$
"#
2
8
#
'
(
"#
159
.#
#
;"#
"#
"#
"#
/
O
"
2 344+6 C8
"#
% #
1
"#
.# '"#
6
3 .#
27
!
8
+ .#
2 4 !
8
= .#
2
!
6
7 .#
2
!
8
C .#
2
8
< .#
; "
2' 8
5 .# 2
8
(
# #
#
160
)
"
O
344< 4 0
*
#
$
# )
3443 4 *
$
#
*
+,,7 ! ! 7
H#
0""
#
+,,<
3 0 0 4
$
% )
? $
+,,,
8 .
!
1 * ?
/ # H ! 344= 1 # ! ! $
/
#"" B !
"# 0
1 # > 3443
1 ! 2 . P $
#8
* $
$ B /
+,,7
4
$
!
!
+,,3 0 9 # 1
! $
/ /
161
" 6 " 6
0 "
"
)
Makalah
- 4
$ + " 5 "
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2006
162
KATA PENGANTAR
Sesuai dengan arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan yang
tercantum dalam Peraturan Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu
:“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan
kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta
penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan
kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” .
Strategi kebijakan pembangunan seperti ini mengorientasikan pada
community development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan
masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan
desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang
ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud .
Pemberdayaan dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar” yakni dengan
mengoptimalkan peran komunitas dalam proses pembangunan melalui pola
mekanisme dan jaringan kerja dengan berbagai stake holder terkait, sehingga
setiap perubahan kebijakan (desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan
kedalam realitas program.
Dalam kesemptan yang berbahagia ini, penulis ingin menyampaikan
kepada Pimpinan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisip Unpad dan seluruh
staf yang telah memberi keleluasan bagi penulis untuk menyelesaikan makalah
ini dengan sebaik-baiknya. Kiranya apa yang disajikan bermamfaat bagi
khalayak pembaca.
Bandung, September 2006
Penulis
163
@@@@@@@@@@@@@@@@@
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
2 < !
!
, , #
%, + % ' %, (
.
'
) (
164
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN DESA
1. Pendahuluan .
Salah satu masalah krusial di negara berkembang adalah pembangunan
yang terlalu menekankan pada pertumbuhan (ekonomi). Strategi ini ternyata
telah banyak mendapat kritik, karena tidak mampu menuntaskan munculnya
masalah kemiskinan dan kesenjangan yang menahun (chronical poverty and
inequity) dan tidak memberikan banyak kontribusi pada peningkatan kualitas dan
kreasi masyarakat, khususnya masyarakat perdesaan dalam melaksanakan
pembangunan (Sumodiningrat, 1999: 4).
Hal ini terbukti dari fakta, kendati aplikasinya didalam program
dasawarsa pertama PBB sepanjang tahun 1950-an berhasil mengantarkan
banyak dunia ketiga mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5 % per
tahun, memasuki dasawarsa 1960-an, pendekatan ini dianggap gagal
mengangkat mayoritas penduduk di negara-negara tersebut dari masalah yang
paling mendasar, yakni kemiskinan. Mereka mengakui bahwa efek tetesan ke
bawah (trickle down effect) yakni terjadinya peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat akan merembes dari "pusat" ke "pinggiran"
(periphery), dari sektor modern ke sektor tradisional, dari perkotaan ke
perdesaan ternyata sering tidak terjadi, malah sebaliknya yang terjadi adalah
trickle up effect. (Arief, l998 : 5).
Oleh karena itu perlunya perubahan strategi pembangunan yang
mengorientasikan pada community development sehingga memberi peluang
terjadinya perubahan dalam tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal,
165
peningkatan partisipasi dan desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian
kembali sumber daya dalam memacu pembangunan .
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik
berdampak luas bukan hanya dalam tatanan politik , tapi juga sosial ekonomi dan
budaya masyarakat. Desentralisasi akan mempunyai makna bila pengelolaan
otonomi daerah bergerak kedesa, memberikan sentuhan pemberdayaan melalui
perbaikan pelayanan publik, membangkitkan prakarsa dan potensi lokal,
membangun basis sosial di tingkat lokal dan juga memperkuat partisipasi
masyarakat dalam urusan pemerintahan dan pembangunan. Upaya ke arah itu
yaitu tentu tidak bisa dilakukan oleh orang perorangan dalam masyarakat secara
parsial, tetapi harus dihimpun dalam suatu lembaga atau organisasi yang mampu
merespon perubahan tersebut.
Arah kebijakan Nasional pembangunan perdesaan sesuai Peraturan
Presiden No.7 tahun 2005 Bab 25 yaitu :“Meningkatkan keberdayaan
masyarakat perdesaan melalui peningkatan kualitasnya, baik sebagai insan
maupun sebagai sumberdaya pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan
modal sosial masyarakat perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat
posisi tawar” .
Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk
mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses
pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Hal ini
sejalan dengan dengan tantangan dalam pembangunan manusia di Indonesia
dalam era reformasi, yakni ada 2 perubahan besar mempengaruhi perilaku
166
pembangunan dan menuntut perubahan paradigma pembangunan yang lebih
sesuai, yakni :
Pertama, adanya perubahan dari era otokratis menjadi demokratis, maka
pemerintah dituntut untuk merubah dari yang sifatnya “provider” ke arah
“enabler” yaitu pemerintah yang memberdayakan masyarakat,
Kedua , adanya perubahan cara memerintah yang sebelumnya sentralisasi
menjadi desentralisasi. (Menko Kesra RI, 2006: 8) .
Sejalan dengan pemikiran tersebut, kebijakan desentralisasi sesungguhnya
merupakan salah satu instrumen untuk melaksanakan transformasi sosial di
berbagai tingkatan. Namun perubahan yang tengah berlangsung baik di tingkat
nasional hingga tingkat desa, belum didukung oleh langkah-langkah strategi dan
operasional secara komprehensif. Perubahan yang terjadi masih cenderung
bersifat dipermukaan saja, belum menyentuh pada perubahan perspektif, sikap
,perilaku dan peran yang signifikan dari lembaga-lembaga pemerintah maupun
masyarakat perdesaan.
2. Good Governance Tingkat Desa .
Dalam konsep good governance, kini peran pemerintah (desa) bukan satusatunya
lembaga yang berfungsi sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Karena setiap persoalan yang terjadi dalam
proses pemerintahan maupun pembangunan tidak bisa dipecahkan oleh
pemerintah semata. (Dwipayana, 2003: xv ). Pemerintah desa harus melakukan
kerjasama sinergis dengan Pemerintah supra desa (Pemda,Pemerintah Pusat)
maupun lembaga-lembaga selevel yakni Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat dan lembaga desa lainnya yang harus dipandang
sebagai mitra kerja dalam mempercepat proses pembangunan. Sebab inti
167
desentralisasi mendasarkan pada pemikiran bagaimana agar kekuasaan,
kewenangan, tanggungjawab dan alokasi sumber-sumberdaya harus dibagi dan
didayagunakan sampai ke level bawah (desa) .
Hubungan pemerintah desa dengan masyarakat desa dalam onteks good
governance seyogyanya tidak lagi bersifat vertikal (atasan bawahan) melainkan
harus lebih b ersifat horizontal (Suwaryo, 2005 : 14). Pemerintah harus secara
bertahap mengurangi intervensi yang berlebihan terhadap lembaga –lembaga
desa , sehingga terdapat ruang dan gerak desa untuk mengembangkan inisiatif
dan kreativitasnya secara lebih leluasa.
Lemahnya kemampuan lembaga di tingkat desa dalam mengadopsi nilainilai
baru dan perubahan pola-pola kebijakan , pada gilirannya mengakibatkan
terjadinya proses marginalisasi masyarakat desa yang berimplikasi terhadap
tingkat keberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan. Dengan demikian
perlu ada penguatan dan pengembangan lembaga desa agar bisa responsif
terhadap tuntutan masyarakat dan pembangunan agar tetap survive.
3. Perubahan orientasi kebijakan .
Bergulirnya reformasi telah membangkitkan semangat baru bagaimana
kehidupan pemerintah masyarakat ditata kembali menjadi kehidupan yang lebih
dinamis . Semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam UU No 22/99 dan
UU No. 32 tahun 2004 menunjukkan adanya pergeseran orientasi
penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen pemerintahan. Ini
berarti pada level suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem
pengelolaam pembangunan yang merubah fungsi dan peran birokrasi
168
pemerintah sebagai fasilitator, katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak
pada masyarakat. Sedangkan pada level infra struktur (masyarakat) memberi
ruang terhadap aktualisasi pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan
kapabilitas masyarakat dalam menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan
lokal dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Hans Antlov (2002: 367) mengungkapkan bahwa:
“ semangat UU No. 22 Tahun 1999 berbeda dengan yang dengan UU No.
5 tahun 1979 , dengan terang menyatakan (penjelasan umum) bahwa
dasar pengaturan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang baru
adalah amat memperhatikan aspek keragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.
Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di
tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem
pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan
yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat,
1999 : 191), yakni :
Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam
pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta
masyarakat.
Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari
perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran
serta masyarakat lokal
Dengan strategi pembangunan tersebut dipahami sebagai suatu proses
transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat.
Perubahan struktur yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara
terencana, yaitu yang menghasilkan harus menikmati, begitu pula sebaliknya yang
menikmati haruslah yang menghasilkan. Proses ini diarahkan agar setiap upaya
169
pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity
building). Oleh karenanya, proses transformasi harus digerakkan oleh masyarakat
sendiri dengan tetap memperhatikan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Strategi pembangunan ini memberi peluang terjadinya perubahan dalam
tatanan masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan
desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya yang
ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar keberdayaan
masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud .
4. Strategi Pemberdayaan dalam pembangunan.
Term “pemberdayaan” merupakan terjemahan dari kata
empowerment, disamping kerap pula disebut dengan istilah
“memberdayakan” (empower). Secara terminologi konsep
pemberdayaan memiliki pengertian yang cukup beragam, ada yang
menyebutkan bahwa pemberdayaan berarti memberi wewenang
,membangun power, kekuatan, kekuasaan atau daya (Cook dan
Macauly, 1996 : 24), (Osborne dan Gaebler, 1993 : 49). Ide utama
pemberdayaan bersentuhan dengan “konsep mengenai kekuasaan
(power), kekuasaan bukan hanya diartikan kekuasan politik dalam arti
sempit, kekuasaan senantisa hadir dalam konteks relasi sosial dan
organisasi”. (Suharto, 2005 : 57). Karenanya, konsep ini telah
mengalami perkembangan dan sudah diterima secara meluas, sehingga
tidak menutup kemungkinan istilah pemberdayaan memiliki pengertian
dan persepsi yang berbeda satu dengan yang lain.
170
Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok
lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam :
a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan
(freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan.
b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka
dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang
diperlukan.
c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang
mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58).
Dari penjelasan tadi, dapat dipahami bahwa pemberdayaan dapat
dikatakan sebagai suatu “tujuan dan proses “(Suharto, 2005 : 59). Sebagai suatu
tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin
dicapai oleh sebuah perubahan (sosial/organisasi), yaitu masyarakat yang berdaya
memiliki kekuasaan (kemampuan/otoritas) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat sosial, ekonomi, politik maupun psikologis. Pengertian
pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator
keberhasilan pemberdayaan sebagai suatu proses.
Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk
memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama,
pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan,
memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau
kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam
memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan
memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam
mengatasi masalah yang dihadapi.
171
Pada setiap upaya pemberdayaan baik yang dilakukan pemerintah, dunia
usaha maupun pihak yang peduli pada masyarakat, paling tidak harus memuat
lima hal pokok yakni : “Adanya stimulan, peningkatan kualitas SDM,
pembangunan prasarana dan pembangunan/pengembangan kelembagaan
pedesaan”. (Sumodingrat, 1996 : 5).
Pertama, memberdayakan melalui bantuan dalam bentuk dana sebagai stimulan
bagi pengembangan program/proyek pembangunan. Dalam upaya ini, diperlukan
masukan dana/stimulan dan bimbingan-bimbingan seperti penyusunan program,
teknologi untuk memampukan dan memandirikan masyarakat perdesaan. Contoh
upaya disini adalah program IDT, BBPPD, Kupedes, dan lain-lain .
Kedua, dalam jangka yang lebih panjang meningkatkan kualitas sumber daya
manusia perdesaan, agar memiliki dasar yang memadai untuk meningkatkan dan
memperkuat produktivitas dan daya saing. Upaya ini sekurang-kurangnya harus
meliputi tiga aspek, yaitu pendidikan, kesehatan dan gizi. Tiga aspek yang
disebutkan tadi merupakan paramater tentang tingkatan Indek Pembangunan
Manusia (Human Development Index)
Ketiga, pembangunan prasarana. Dalam pembangunan prasarana perdesaan,
keterlibatan masyarakat desa setempat harus diutamakan. Dengan
mempercayakan pembangunan prasarana sederhana itu kepada masyarakat desa,
akan diperoleh berbagai keuntungan, selain dimilikinya prasarana tadi,
masyarakat desa juga memperoleh nilai tambah dalam bentuk pengetahuan dan
pengalaman dalam membangun proyek-proyek ,sehingga mereka juga memiliki
sense of belonging. Bimbingan teknis yang diberikan oleh aparat teknis dapat
memberi penguatan terhadap kelembagaan desa.
172
Keempat, pembangunan kelembagaan perdesaan teramat penting melalui
pengembangan lembaga pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan desa agar
pembangunan perdesaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar pada pemerintah desa dan
masyarakat desa itu sendiri. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi,
menggali potensi, dan menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam
pembangunan.
Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pemberdayaan dapat pula
dipahami sebagai suatu proses dan juga output (hasil/keadaan) yang ingin dicapai.
Proses yang dimaksudkan disini menurut Sulistiyani (2004 : 83) adalah proses
belajar (learning process) dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan
berlangsung secara bertahap yaitu melalui : “1. Tahap penyadaran dan
pembentukan perilaku; 2. Tahap transformasi kemampuan; dan 3. Tahap
peningkatan kemampuan pengetahuan”.
1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. Pada tahap
ini pihak pemberdaya/aktor/pelaku pemberdayaan berusaha menciptakan
prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan
yang efektif. dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan merasa
membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kondisi.
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan,
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Masyarakat akan
menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan
173
yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan
tersebut.
3. Tahap peningkatan kemampuan pengetahuan, kecakapan-keterampilan
sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan
pada kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan
masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi, dan
melakukan inovasi-inovasi di dalam pembangunan. Dalam kondisi seperti ini
masyarakat seyogyanya didudukkan sudah terlibat aktif dalam pembangunan
sebagai pelaku atau pemeran utama, pemerintah lebih berperan sebagai
fisilitator. Namun dalam kemandirian tersebut, mereka masih perlu dilindungi
supaya dapat terpupuk dan terpelihara dengan baik, dan selanjutnya dapat
membentuk kedewasaan sikap masyarakat.
Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep
pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model pembangunan yang
telah diterapkan sebelumnya. Tentu dalam penerapannya diperlukan adaptasi dan
modifikasi, agar lebih match dengan situasi dan lingkungan yang ada.
Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3
strategi/ cara, yakni melalui : “Enabling, empowering & protection.”
(Kartasasmina, 1996 : 23).
Pertama, menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Setiap manusia dan masyarakat mempunyai
potensi dan daya yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan upaya
membangun daya dengan memotivasi dan membangkitkan kesadaran
potensi yang dimiliki serta mengembangkannya. Dengan demikian
174
pemberdayaan merupakan proses mengembangkan, memandirikan,
menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat
lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala
bidang dan sektor kehidupan.
Kedua, penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
Penguatan ini melalui langkah-langkah nyata menyangkut penyediaan berbagai
masukan serta membuka akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang
membuat masyarakat makin berdaya. Upaya dan arah yang amat pokok adalah
peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses ke sumber-sumber informasi
dan pelayanan. Empowering juga berarti kemampuan penguatan pranata sosial
ekonomi, pemantapan nilai-nilai budaya yang mampu mengintegrasikan
kelembagaan dan peranan masyarakat. Kualitas peningkatan partisipasi terutama
dalam proses pengambilan keputusan dan melakukan kolaborasi dengan
stakeholder terkait. Dari sisi tersebut hendak mencapai suatu kondisi dimana
masyarakat mempunyai kemampuan dan kemandirian melakukan voice, akses
dan kontrol terhadap lingkungan, komunitas, sumber daya dan relasi sosial
dengan negara/pemerintah.
Ketiga, pemberdayaan bermakna melindungi (protection) dan keberpihakan
terutama terhadap kelompok masyarakat miskin atau yang kurang berdaya,
bagaimanapun juga sebagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat bukan hanya terbatas dan langka, melainkan ada problem struktural
dalam bentuk ketimpangan, dominasi, hegemoni yang menimbulkan pembagian
sumber daya secara tidak merata. Hal ini dilakukan dengan melakukan
perlindungan dan pembelaan, agar mereka dapat hidup ditengah persaingan yang
175
semakin meluas. Pemberdayaan demikian dilakukan dengan mengikutsertakan
masyarakat sasaran, menggunakan keterlibatan kelompok dalam programprogram
pembangunan.
Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari
berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya
saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial,
politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain
menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik,
ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000
-.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power
(Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses
menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang
dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau
masyarakat. Tidak dapat dipungkiri timbulnya kesenjangan, ketidakadilan,
eksploitasi, kemiskinan terjadi akibat pemegang kekuasaan yang terlalu
mendominasi seluruh sumber-sumberdaya untuk kepentingan dan kelanggengan
para pemegang kekuasaan. Padahal rakyat dalam konteks demokrasi sebagai
pemilik kedaulatan. Oleh karena itu, dengan pemberdayaan, rakyat yang tidak
memiliki keberdayaan (kekuasaan) diberi power melalui empowerment. Paul
(1987) menyebutkan pemberdayaan berarti “Equitable sharing of power”
(pembagian kekuasaan yang adil), sehingga meningkatkan kesadaran politik dan
176
kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap
proses dan hasil pembangunan.
Pemberdayaan berarti akses setiap individu/kelompok terhadap proses
pembuatan keputusan, terhadap pusat-pusat kekuasaan yang dapat mempengaruhi
tingkat “bargaining” dan kehidupan masa depan, melalui berbagai strategi,
gerakan, maupun keterlibatan dalam proses kebijakan . Pemberdayaan Politik,
bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap pemerintah.
Melalui bargaining tersebut, yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan
haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan dan kepedulian, tanpa merugikan
orang lain.
Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap
sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan,
,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Menurut Mayo and Craig (1995
: 5), Functionalist sociologist seperti Parsons mengkonseptualisasikan “power”
dalam masyarakat sebagai sejumlah variabel (variable sum). Sesuai dengan
perspektif ini, total power dalam masyarakat bukan merupakan sesuatu yang jadi
(not fixed) melainkan sebagai variabel; power berada pada anggota masyarakat
secara keseluruhan, dan power dapat bertambah, seperti masyarakat mencapai
tujuan kolektifnya. Dalam logika seperti ini, pemberdayaan dari ketidakberdayaan
dapat dicapai dalam keteraturan dan dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada
tanpa dampak negatif yang signifikan terhadap power yang besar. Pemberdayaan
Sosial, bertujuan meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (human
invesment), penggunaan (human utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap
manusia.
177
Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak
negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan,
kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak
bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan
mereka melalui berbagai usaha produktif .
Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa potensi
individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa percaya
diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis
berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki, kebersamaan,
martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang
terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri
akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial
politiknya.
Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu
membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok
kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya
(changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih
menguntungkan dalam melakukan kegiatan.
6. Penutup.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapatlah disimpulkan sebagai berikut:
1. Strategi pembangunan ini yang mengorientasikan pada community
development memberi peluang terjadinya perubahan dalam tatanan
masyarakat berupa munculnya inisiatif lokal, peningkatan partisipasi dan
178
desentralisasi administrasi, terutama pengalokasian kembali sumber daya
yang ada melalui pengembangan institusi lokal/desa sebagai wahana agar
keberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan dapat terwujud .
2. Program-program pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan
masyarakat akan gagal manakala tidak diorientasikan pada pemihakan
yang nyata kepada kelompok penduduk miskin , menciptakan kegiatan
sosial ekonomi produktif yang lestari dalam wadah kelompok /lembaga
yang ada. Kemudian penguatan lembaga sosial ekonomi dan pembinaan
yang didasarkan pada azas pembelajaran .
3. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan
tindakan kearah kemandirian, dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar”
yakni dengan mengoptimalkan peran komunitas dalam proses
pembangunan melalui pola mekanisme dan jaringan kerja dengan
berbagai stake holder terkait, sehingga setiap perubahan kebijakan
(desentralisasi) dapat diterima dan diaktualisasikan kedalam realitas
program.
4. Pemberdayaan sebagai sebuah alternatif dalam perkembangan konsep
pembangunan untuk mencari solusi terhadap kegagalan model
pembangunan yang telah diterapkan sebelumnya. Dalam kerangka itu,
pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yakni
melalui : “Enabling, empowering & protection.” Tentu dalam
penerapannya diperlukan adaptasi dan modifikasi, agar lebih match
dengan situasi dan lingkungan yang ada.
179
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua, 1998, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, Jakarta : CIDES.
Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation :
Concepts and Measures for Project Design, Implementation and
Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University.
Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in
Participation and Development, London,Zed Book
Dwipayana, Ari AAGN dan Eko, Sutoro, 2003, Membangun Good Governance di
Desa, Yogyakarta : IRE.
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta
: APMD Press.
Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development,
Cambridge : Blacwell.
Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment :
Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice,
New York : The Edwin Mellen Press.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan
Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES.
Osborne, David & Gaebler ,1992, Reinventing Government, How The
Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, New York :
Addison Wesley Company.
Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
(CSIS).
Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama.
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan,
Yogyakarta : Gava Media.
Sumodiningrat, Gunawan ,1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Suwaryo, Utang, 2005, Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan dan Good
Governance di Tingkat Desa, dalam Governance, Bandung : Puslit
Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah LP Unpad.
180
Makalah dan Peraturan Perundangan
Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop
Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya
Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar
dan BKLP Ilmu Adm.se-Indonesia, Bandung.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra
Utama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional th. 2004- 2009, Jkt, Sinar
Grafika .
==@@==
181
POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA
M a k a l a h
Disusun Oleh :
H.Entang Adhy Muhtar,Drs.MS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2007
182
/
#
#
$
#
( #
"#
#
# #
#
1
A
*
#
#
"
$
/ G )
#
#
#
#
"
#
#
'
" #
#
# #
#
#
@
A
0 ?
0 $
#
"#
#
'
#
9 #
#
:
#
#
" #
#
0 "#
# # @
"
#
#
$
#
!
#
#
#
#
#
"
0
#
L # F
# #
" ! #
$
*
+,,5
183
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................. i
DAFTAR ISI .......................................................... ii
1. Pendahuluan .................................................. 1
2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi ................... 3
3. Konsep Politisasi Birokrasi ............................. 6
4. Dampak Politisasi Birokrasi ............................ 11
5. Penutup ............................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA .............................................. 19
184
POLITISASI BIROKRASI DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Berbicara tentang birokrasi sudah banyak dibahas oleh
banyak pihak baik oleh para praktisi maupun teoriti . Birokrasi
dalam keseharian kita selalu dimaknai sebagai institusi resmi
yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan
kepentingan masyarakat. Segala bentuk upaya pemerintah
dalam mengeluarkan produk kebijakannya, semata-mata
dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang
banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi
bahwa apa pun yang dilakukan oleh pemerintah adalah dalam
rangka melayani kepentingan warga masyarakat melalui
birokrasi tersebut.
Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayanan
bagi masyarakat luas, tentu merupakan pemaknaan yang
sifatnya idealis. Bahkan tak salah jika Max Weber memandang
birokrasi sebagai organisasi yang rasional, suatu mekanisme
sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu
bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri-ciri khas (Albrow,
1975). Tetapi, diakui atau tidak, pemaknaan yang ideal terhadap
185
fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi, tidaklah
sepenuhnya bisa menjelaskan orientasi birokrasi di Indonesia.
Perjalanan panjang kehidupan birokrasi di negeri ini, selalu saja
ditandai oleh dominannya aspek politis di bawah komandi
penguasa negara. Kasus birokrasi pada masa Orde Lama dan di
masa Orde Baru pada dasarnya merupakan cermin dari
kuatnya penguasa negara dalam mencengkeram tubuh
birokrasi. Di era Orde reformasi kendati perintah tidak sekuat
sebelumnya, namun tetap saja kekuasaan masih cukup dominan.
Kehidupan birokrasi yang ditumpangi, atau bahkan
didominasi muatan-muaan politis oleh penguasa negara, jelas
menjadikan tujuan birokrasi melenceng dari arah yang semula
dikehendaki. Performance birokrasi yang kental dengan aspekaspek
politis inilah, yang pada gilirannya melahirkan stigma
“politisasi birokrasi”. Akibat hal tersebut, orientasi pelayanan
pulik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah
orientasi yang sifatnya politis. Dalam kaiatan dengan pemilihan
kepala daerah misalnya, bahwa peran birokrasi masih cukup
mempengaruhi terhadap berbagai dukungan ,sehingga terkesan
186
adanya blok atau kelompok-kelompok pendukung calon A
maupun calon lainnya, kendati tidak selalu muncul kepermukaan.
2. Mencari Akar Politisasi Birokrasi
Dengan mengambil pelajaran berharga dari kekeliruan
pemerintahan Orde Lama yang menempatkan “politik sebagai
panglima”—namun terbukti gagal dalam membangun
perekonomian bangsa--,pemerintahan Orde Baru meyakini
bahwa hanya dengan menjadikan “ekonomi sebagai panglima”,
perekonomian bangsa dapat ditata kembali. Alasan logis inilah
yang pada akhirnya memaksa pemerintah Orde Baru untuk
secara berani menempatkan Paradigma Pertumbuhan (growth
paradigm) dalam melaksanakan pembangunan.
Dipilihnya paradigma pertumbuhan sebagai kerangka
acuan pembangunan, tentu bukan tanpa asumsi-asumsi yang
rasional. Setidak-tidaknya menurut Tjokrowinoto (2001, 114)
terdapat 3 asumsi yang mendasarinya.
Pertama, kondisi ekonomi bangsa yang porak-poranda dan
terbengkelai ketika Orde Lama berkuasa, menjadikan Orde
Baru merasa perlu memperbaiki kehidupan perekonomian.
Tujaunnya tentu saja agar ekonomi secara makro dapat
pulih kembali, sehingga gagasan pembangunan bisa
terealisasi.
187
Kedua, di saat stabilitas politik masih belum menentu.
Paradigma Pertumbuhan diharapkan bisa menjadi senjata
bagi dilaksanakannya konsep Trilogi Pembangunan
(stabiolitas, pertumbuhan, dan pemerataan).
Ketiga, pemerataan ekonomi adalah satu tujuan yang ingin
dicapai setelah terlebih dahulu mengusahakan terciptanya
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan kata
lain, cita-cita untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
diprioritaskan terlebih dahulu, baru kemudian merambah
ke upaya pemerataan ekonomi.
Namun dalam tatanan praktis, 3 asumsi rasional tersebut
telah mengakibatkan munculnya ukuran-ukuran pembangunan
yang sifatnya ekonomistik. Memilih strategi pertumbuhan seagai
fokus pembangunan, jelas bukanlah kebijakan yang keliru.
Paradigma Pertumbuhan yang tidak diperkirakan sebelumnya
adalah ketidaksiapan pemerintah sendiri untuk menjalankan
strategi pertumbuhan itu. Logikanya, strategi pertumbuhan
sangatlah membutuhkan modal yang besar untuk melaksanakan
pembangunan, sementara pada saat itu bangsa ini tengah
mengidap krisis ekonomi yang parah. Ini artinya, pemerintah
sangat membutuhkan modal bagi tereaalisasinya pembangunan,
dan untuk itu menjadikan birokrasi sebagai alat memanjakan
para pemilik modal adalah tawaran yang sulit dihindari.
Besarnya hasrat penguasa negara untuk menjalankan
strategi pertumbuhan, lagi-lagi telah menutup mata dan hatinya
188
bahwa kekuasaan itu pada hakekatnya haruslah bergulir teratur
sesuai dengan konstitusi yang berlaku. Keberhasilan
menjalankan strategi pertumbuhan yang menekankan
pembangunan ekonomi, semakin mengkondisikan pengusaha di
bawah rezim otoriter untuk terus menumpukkan kekuasaannya.
Dengan kata lain, pelanggengan kekuasaan adalah cita-cita
pemerintah Orde Baru yang terus digelorakan. Akibatnya, praktis
tidak ada lagi netralitas dari cara kerja birokrasi. Fakta inilah
yang semakin memperjelas sosok politisi birokrasi yang
sebenarnya.
Jika kita sermati usaha-usaha pemerintah Orde Baru
dalam melanggengkan kekuasaannya, maka disitulah
sebenarnya konsep politisasi birokrasi itu mulai tampak jelas.
Birokrasi yang semestinya bertindak rasional seperti yang
dijerlaskan Max Weber, oleh Orde baru dibelokkan menjadi
bertindak secara irrasional. Ada 3 bentuk irrasionalitas birokrasi
menurut Tjokrowinoto (2001: 117) yaitu Pertama, birokrasi
bekerja bukan untuk melayani kepentingan publik , tapi ditujukan
untuk melayani kepentingan para pengusaha dan pemilik modal.
Kedua, birokrasi yang orientasi utamanya adalah pelayanan,
189
namun dibelokkan menjadi pengontrol berlakunya kebijakankebijakan
netgara. Ketiga, birokrasi yang seharusnya netral di
hadapan masyarakat, tapi justru berpihak kepada partai politik
milik pemerintah.
3. Konsep Politisasi Birokrasi
Birokrasi yang pada awalnya diidealkan sebagai institusi
resmi yang tidak memihak, namun karena dimasuki oleh
kepentingan partai politik, menjadi harus memihak. Birokrasi tak
ubahnya sebuah kapal yang ke mana pun arah berlayarnya,
sangat tergantung kepada kehendak politis sang nakhoda. Oleh
karena itu, baik secara konseptual maupun operasional,
tampaknya sulit untuk mengatakan bahwa birokrasi di indonesia
memihak kepada kepentingan masyarakat banyak.
Berkaca dari pengalaman Orde Baru dalam mengelola
kehidupan birokrasinya, sebenarnya dapat diketahui bahwa
politisasi birokrasi di masa itu sangatlah kental dengan upaya
kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Konsep
Bureaucratic-Polity yang pertama kali dikemukakan oleh Fred
Riggs dalam melihat kehidupan birokrasi di Thailand, yang
190
kemudian digunakan pula oleh Harold Crouch(1980) , untuk
melihat kasus birokrasi di indonesia, telah membuktikan
kenyataan itu.
Menurut Harold Crouch, Bureaucratic-Polity di indonesia
mengandung 3 ciri utama. Pertama, Lembaga politik yang
dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik
lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok
kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak
mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrari. Ketiga,
massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif,
yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan
secara timbal balik menguatkan birokrasi.
Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan
penguasa negara yanag diwakilkan lewat institusi mengalami
penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat
dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan
birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkreraman
penguasa negara. Jadi, meskipun politisasi birokrasi bukanlah
semata-mata identik dengan upaya untuk mempolitiskan
birokrasi, ia juga sarat dngan usaha untuk menciptakan
191
masyarakat yang buta akan politik dan birokrasi itu sendiri.
Konsep Bureaucratic-:Polity sedikit banyaknya tentu
berhubungan dengan hal ini.
Ketidaktranparanan pengelolaan birokrasi kita, jelas
teramat rentan bagi tidak sampainya misi pelayanan yang
diemban oleh birokrasi. Apalagi untuk konteks indonesia, tingkat
pendidikan politik masyarakat yang maasih tergolong rendah,
bukan Cuma memungkinkan teradinya kooptrasi birokrasi atas
masyarakat, tapi yang lebih parah adalah tendensi penipuan
erbentuk produk kebijakan yang dikemas rapi dalam wujud “demi
pembangunan nasional”. Tapi bernuansa KKN. Peminggiran
posisi masyarakat dalam mainstream pelayanan publik ini, jelas
bukan sesuatu hal yang positif. Sebab, bagaimana pun juga
kekuatran kontrol birokrasi tidak hanya melibatkan anggotaanggotanya
sendiri, namun juga melibatkan masyarakat secara
luas dan para kliennya (orang-orang yang memerlukan jasa
birokrasi). Itu artinya, masyarakat haruslah diposisikan dalam
mainstream pelayanan publik yang berkomitmen kerakyatan.
Birokrasi secara realitas lebih merujuk kepada cita-cita
untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan
192
terhadap beraneka-ragam kebutuhan dan kepentingan
masyarakat, tanpa melihat simbol-simbol politik di belakangnya.
Sedangkan politik, meski dalam tataran ideal mengagungkan
realisasinya nilai-nilai demokrasi, ia tetap saja cenderung
berlaku otoriter yang justri melanggar prinsip-prinsip bekerjanya
birokrasi. Dalam bahasa lain yang lebih politis, birokrasi
dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian
di bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang
tentunya juga demokratis, sedangkan partai politik
dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk
mempengaruhi dan bahkan untuk merebut kekuasaan agar bisa
memerintah (to govern) , tentunya melalui cara-cara yang
demokratis pula”.
Politisasi birokrasi di indonesia, baik yang dilakukan
dengan cara memanfaatkan partai politik atau mempolitisasi
masyarakat, adalah bukti dari berlakunya konsep Bureaucratic-
Polity seperti yang pernah disampaikan oleh Harold Crouch di
atas. Seiring dengan perjalanan waktu, konsep Bereaucratic-
Polity mengalami pula perubahan – perubahan mendasar. Kalau
193
dulu para politisi lewat sponsor penguasa negara berusaha
mengontrol ketat birokrasi, kini keadaan itu telah berubah.
Jika reformasi politik di Indonesia dijadikan alasan
pembenar sebagai pertanda bagi dimulainya masa kejayaan
partai politik, maka langkah ambisius partai politik untuk
menempatkan kader – kadernya di lingkungan birokrasi
pemerintahan, tentu adalah dalam rangka mengontrol
penyalahgunaan birokrasi oleh penguasa negara lagi.
Menjelaskan fenomena politisasi birokrasi, selain dilihat
dari konsep Bereaucratic-Polity ( Jackson,1978) , juga dirasa
tepat dengan menggunakan konsep birokrasi patrimonialbreamtenstaat.
Menurut Manuel Kaisiepo, dalam konsep
birokrasi yang demikian ini, yang berlaku adalah proposisi
“kekuasaan (politik) menghasilkan kekayaan (uang). Tentu bukan
rahasia lagi, jika keterlibatan birokrasi dalam pertarungan politik
seperti yang selama ini terjadi, lebih dominan karena dipengaruhi
oleh faktor-faktor ekonomis. Artinya, birokrasi secara
institusional adalah lahan empuk bagi diraihnya sumber-sumber
keuangan yang memadai demi perjuangan politik sebuah
kekuasaan.
194
4. Dampak Politisasi Birokrasi
Dilihat dari kaca mata demokrasi, politisasi birokrasi
adalah kebijakan yang ounter-productive dengan semangat
demokrasi. Pengalaman sejarah di era Orde baru seperti yang
telah diungkapkan di awal tulisan ini, menunjukkan bahwa
kebijakan penguasa negara yang menjadikan birokrasi sebagai
alat politik, telah menyebabkan tidak berjalannya mekanisme
prosedural resmi di tubuh internal birokrasi. Crouch (1980)
menyebutkan bahwa bureaucratic polity memunculkan dominasi
kekuatan birokrasi dan melemahnya kekeuatan parpol,parlemen
dan kelompok-kelompok penekan/ kepentingan dalam
masyarakat.
Jika diamati secara seksama, kebijakan politisasi birokrasi
lebih banyak dampak negatifnya, ketimbang dampak positifnya.
Setidak-tidaknya terdapat 4 dampak negatif yang muncul
sehubungan dengan kebijakan politisasi birokrasi tersebut.
Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukkan
orang-orang partai politik yang sesuai dengan selera menteri
yang bersangkutan, jelas mengakibatkan tidak berfungsinya
mekanisme promisi jabatan pada jabatan karier yang ada dalam
195
struktur pemerintahan. Hal ini mengandung makna bahwa sangat
tidak tepat jika secara tiba-tiba Menteri pada sebuah
Departemen atau Kementerian justru mengangkat kader dari
partai politiknya untuk duduk pada jabatan karier tersebut.
Apalagi untuk posisi jabatan karier itu mempersyaratkan orang
yang bakal mendukungnya sebagai seorang Pegawai Negeri sipil
(PNS) yang benar-benar telah mengikuti pendidikan dan latihan
(diklat) pemerintahan berjenjang (mulai dari Diklat Adum sampai
Spati).
Kedua. Kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya
akan menciptakan rasa anti-pati atau perasaan tidak bisa
bekerja sama dengan orang-orang yang tidak berasal dari partai
politik yanhg sama. Kondisi ini sangat mungkin terjadi, terutama
jika alasan utama yang melandasi rukruitmen pada jabatan karier
itu adalah “rasa kecocokan” dan “bisa diajak kerja sama”. Faktor
alasan inilah yang pada gilirannya bisa menimbulkan sikap like
and dislike dalam sebuah organisasi pemerintahan. Akibat dari
kondisi ini tak lain adalah terabaikannya fungsi utama birokrasi
sebagai sarana untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam
konteks ini birokrasi tidak butuh orang-orang yang separtai
196
politik, tapi memerlukan orang-orang yang konsisten dalam
bekerja dan mengutamakan kepentingan bersama (bukan
kepentingan partai politik).
Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik
sebuah jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung
berarti tidak mengindahkan kiberjanya prinsip meritokrasi dalam
pelaksanaan tugas birokrasi sehari-hari. Prinsip untuk
menempatkan seseorang pada sebuah jabatan yang sesuai
dengan keahliannya, jelas mutlak diterapkan di lingkungan
pemerintahan. Dalam perspektif ini, memposisikan atau
mwerekrut orang-orang partai politik yang notabene lebih
menguasai intrik-intrik politik praktis ketimbang keahlian di
bidang tugas-tugas khusus pemerintahan, tentu merupakan
langkah yang tidak bijaksana. Birokrasi menysyaratkan
pelayanan maksimal, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas
kepada masyarakat. Birokrasi juga menghendaki prinsip
meritokrasi dijalankan secara baik dan benar. Hanya orang yang
benar-benar ahli (profesional) di bidangnya, yang dapat
menghidupkan birokrasi. Jika tidak, tentu birokrasi akan mati
atau setidaknya tidak efisien.
197
Keempat, trauma politik masa lalu harus benar-benar kita
jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa
mendatang. Penampilan birokrasi Indonesia di masa Orde Baru
yang “terlalu berkuasa”, mau tidak mau harus kita jauhi. Sebab
pada masa itu birokrasi tidak hanya berperan sebagai pelaksana
kebijakan publik, tetapi juga sebagai pembuat sekaligus
pengawas dari kebijakan itu sendiri. Dan karenanya orang-orang
birokrasi jugalah yang paling banyak menikmati hasilnya.
Bagaimanapun juga, sebagai sebuah bangsa kita tidak
bisa melaksanakan proses pemerintahan dan pembangunan
tanpa adanya birokrasi. Sebab dalam sebuah negara modern,
birokrasi merupakan piranti pokok yang dapat menunjang
terlaksananya roda pemerintahan dan pembangunan. Tetapi kita
tidak bisa pula mengingkari bahwa kebijakan politisasi birokrasi
atau penempatan orang-orang partai politik pada posisi-posisi
penting di pemerintahan, merupakan sebuah kebijakan yang
tidak sesuai dengan semangat birokrasi itu sendiri.
Gejala yang diperlihatkan oleh birokrasi Indonesia pasca
bergulirnya Era reformasi, di mana kecenderungan partai-partai
politik untuk menguasai Departemen atau kementerian dan
198
BUMN semakin kuat, adalah fakta baru yang semakin sulit untuk
kita hindari. Politisasi birokrasi yang dilakukan dengan cara
memaksa memasukkan orang-orang partai politik ke dalam
struktur Departemen atau Kementerian dan BUMN, berarti
membuka peluang bagi terciptanya pengkotakan birokrasi ketika
melayani masyarakat. Di samping itu, kebijakan politisasi
birokrasi cenderung menjadikan birokrasi sebagai sarana untuk
mencari manfaat-manfaat yang sifatnya ekonomis bagi
keuntungan partai politik.
Menghilangkan kebijakan politisasi birokrasi di tubuh
birokrasi kita, tampaknya merupakan agenda utama yang perlu
direalisasikan dalam upaya mereformasi tubuh birokrasi. Sesuai
dengan fungsi utamanya sebagai aktor pelayanan publik,
birokrasi hendaknya memulai langkah maju dengan
menghilangkan jejak politisasi birokrasi sejauh mungkin.
Ada 2 hal yang berkenaan dengan upaya penghilangan
jejak politisasi birokrasi itu (Tjokrowinoto,2001,131 ).
Pertama, birokrasi harus seteril dari orang-orang partai
politik, khususnya untuk posisi jabatan karier mulai dari eselon
teringgi sampai eselon terendah. Alasannya adalah jabatan199
jabatan karier ini merupakan jabatan strategis yang sangat
menentukan dalam mekanisme pengambilan keputusan internal
organisasi. Oleh karena prinsip kerja abirokrasi adalah
memaksimumkan efisiensi administratif, maka birokrasi yang
strerik dari kepentingan politis sebuah partai politik, diharapkan
mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kedua, birokrasi harus terus mengedepankan prinsip meritokrasi
dalam hal rekruitmen personilnya. Artinya, mengingat kebutuhan
masyarakat akan pelayanan semakin meningkat, maka
keharusan aparat birokrasi yang capabler (ahli) dibidangnya
serta memiliki kemampuan menterjemahkan keinginan
masyarakat adalah kebutuhan mendesak yang tak bisa ditawartawar
lagi.
Dengan prinsip meritokrasi pula, kebijakan politisasi
birokrasi diharapkan bisa dihapus sedini mungkin. Sebab,
dengan menjadikan birokrasi sebagai lahan empuk menarik
keuntungan bagi para politisi, maka citra birokrasi akan semakin
terpuruk di mata masyarakat.
200
5. Penutup .
1. Politisasi birokrasi bukanlah jawaban yang tepat dalam
memperbaiki kinerja birokrasi di Indonesia . Birokrasi yang
ditumpangi oleh kekuatan partai politik tidak hanya
menjadikan ia semakin politis dan bisa jadi dijauhi
masyarakat, tapi juga rentan terhadap pengabdian aspek
kualitas dari personil-personilnya. Dalam politik yang
berlaku adalah bagaimana kekuasaan itu bisa diperoleh dan
dipertahankan, sementara dalam birokrasi yang berlaku
adalah bagaimana dalam kondisi apa pun masyarakat bisa
terlayani segala kebutuhan dan kepentingannya.
2. Birokrasi yang berorientasi pada pelayanan publik tidak
pernah mengenal pilih-kasih dalam melaksanakan
kewajibannya. Sebagai organisasi yang rasional dan
mengedepankan efisiensi administratif, birokrasi perlu
dipelihara dan dipertahankan eksistensinya, terutama dalam
usaha mewujudkan demokrasi. Meskipun birokrasi dan
demokrasi adalah dua konsep yang paling bertentangan,
keduanya masih bisa disatukan dalam sebuah tatanan
201
masyarakat yang dekat dengan simbol-simbol pelayanan
publik.
3. Birokrasi yang netral dan tidak memihak pada kepentingan
politis partai politik, merupakan idaman masyarakat dalam
sebuah pemerintahan yang menganut sistem desentralisasi.
Ketika birokrasi bersentuhan dengan politik atau struktur
birokrasi dimasuki orang-orang partai politik, maka saat itu
juga tujuan birokrasi akan mulai melenceng dari arah
semula sebagai institusi resmi yang melayani urusan publik.
Hal itu perlu dihindari karena fungsi dan peranan demikian
akan menghancurkan eksistensi birokrasi itu sendiri dimata
publik dan menurunkan kredibilitas dalam pergaulan dunia
internasional .
202
DAFTAR PUSTKA
Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, (terjemahan) ,Yogyakarta,Tiara
Wacana
Crouch, Harold, 1980, The New Order : The Prospect for Political
Stability, Canberra, The Australian UniversityPress .
Santoso, Priyo Budi, 1995, Birokrasi Pemerintah Orde Baru,
Jakarta, PT Radja Grapindo Persada.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 2001, Birokrasi Dalam Polemik,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
203
Hasil Penelitian
PENGARUH KOMUNIKASI
TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN
DI KABUPATEN CIANJUR
LAPORAN PENELITIAN
2007
204
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian.
Pembangunan perdesaan sebagai bagian integral dari pembangunan
daerah dan nasional, dewasa ini mendapat sorotan yang amat tajam dari
berbagai kalangan. Persoalan ini selain menyangkut sebagian besar (75%)
masyarakat Indonesia berdiam di desa (BPS, 2001), juga karena banyak
persoalan pembangunan yang belum mampu dipecahkan di tingkat desa,
misalnya masalah pengangguran, ketimpangan, kemiskinan yang kurang lebih 60
% diam di desa. (BPS, 2001).
Isue utama dalam pembangunan perdesaan, adalah menyangkut masalah
pemberdayaan masyarakat (desa) yang senantiasa beriringan dengan masalah
perangkap lain seperti kemiskinan. Chamber (1988 : 113-114) menyatakan
bahwa ada keterkaitan antara ketidakberdayaan dan dimensi perangkap yang lain
seperti kemiskinan (poverty), kerentanan (vulnerability), keterasingan (isolation)
menjadi sumber ketidakberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan.
Sedangkan menurut pendapat Cabb (dalam Suharto, 2005 : 61), bahwa
“Ketidakberdayaan masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, pelatihan,
jaminan politik dan adanya ketegangan emosional“. Oleh karena itu, perlu ada
upaya pembangunan perdesaan yang dijiwai semangat otonomi yang ditujukan
guna menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi,
kemandirian dan kemampuan sangat relevan bagi pembangunan yang
205
berorientasi pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia. (Supriatna, 2000 :
19).
Konsepsi di atas secara eksplisit sejalan dengan arah kebijakan Nasional
pembangunan perdesaan pada Peraturan Presiden No.7 Th. 2005 Bab 25 yaitu :
“Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan
kualitasnya, baik sebagai insan maupun sebagai sumberdaya
pembangunan, serta penguatan kelembagaan dan modal sosial masyarakat
perdesaan berupa jaringan kerja sama untuk memperkuat posisi tawar” .
Pada bagian lain ditegaskan bahwa Program peningkatan keberdayaan
masyarakat perdesaan tersebut dilakukan melalui peningkatan kapasitas
pemerintahan di tingkat lokal dalam mengelola pembangunan perdesaan
sesuai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik., penguatan lembaga
dan organisasi berbasis masyarakat dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat dan peningkatan akses masyarakat pada pada informasi serta
sumber-sumber daya pembangunan. (Peraturan Presiden No.7 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, 2004-
2009).
Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat untuk
mampu dan berkembang secara mandiri sangat diperlukan dalam proses
pembangunan, baik di tingkat nasional maupun tingkat perdesaan. Salah satu
upaya ke arah itu adalah melalui pengembangan kelembagaan yang mampu
berfungsi dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya.
Berbagai program bantuan pemerintah yang mengalir ke desa belum
secara signifikan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat desa, memerangi
kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediakan lapangan kerja. Yang
terjadi adalah ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme masyarakat desa
terhadap bantuan pemerintah (Eko, 2004 : 290). Kegagalan program pemerintah
tersebut disebabkan oleh banyak hal, dari mulai strategi dan pendekatan yang
keliru sampai pada pengelolaan program yang salah urus.
206
Lemahnya keberdayaan masyarakat desa dalam melakukan perubahan
terkait dengan kurangnya masyarakat desa memperoleh akses informasi terhadap
sumber-sumber daya pembangunan sebagai konsekwensi adanya dinamika dan
perubahan kebijakan-kebijakan yang seharusnya mereka ketahui dan mereka
jalankan. Oleh sebab itu, tidak heran apabila timbul ketimpangan aktivitas dan
dinamika lembaga desa. Adanya salah persepsi yang berakibat pada munculnya
konflik-konflik sosial yang mengarah pada tindakan-tindakan kontra produktif
dan tidak mampunya masyarakat dalam mengadopsi nilai-nilai baru dalam
pembangunan.
Hal lain yang tidak bisa diabaikan dalam pengembangan lembaga, yakni
bahwa Kepala Desa harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan
mampu menyampaikan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang
kiranya dapat dipahami oleh masyarakatnya. Belum efektifnya komunikasi yang
dibangun berimplikasi pada tidak sedikit pesan-pesan pembangunan yang tidak
sampai pada khalayak.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan tersebut, dalam
penelitian ini penulis memfokuskan lokasi penelitian di wilayah Kabupaten
Cianjur yang merupakan wilayah hinterland (penyangga) Propinsi Jawa Barat dan
Propinsi DKI Jakarta. Pertimbangan lokasi penelitian ini karena posisi geografis
Kabupaten Cianjur sebagai pintu gerbang ibukota Propinsi Jawa Barat dan
sebagai urat nadi lalu lintas pergerakaan manusia, barang dan jasa dengan
ibukota negara. Letak geografis Cianjur yang menjadi daya tarik untuk memacu
mobilitas sumberdaya lokal, yang pada gilirannya membawa dampak terhadap
207
aktivitas kelembagaan desa dan pemberdayaan masyarakat dalam proses
pembangunan.
Bertolak dari latar belakang tadi penulis melakukan penelitian dengan
mengambil judul „ Pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyrakat
dalam Pembangunan Perdesaan di kabuopaten Cianjur“
1.2. Rumusan Masalah.
Bila dicermati dari fenomena di atas, maka dapat dikemukakan problem
statement yaitu bahwa "Upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
perdesaan melalui komunikasi . Tegasnya bahwa Pengembangan lembaga desa
yang diidentifikasikan melalui Komunikasi belum optimal memberdayakan
masyarakat dalam pembangunan perdesaan”.
Dengan memperhatikan latar belakang penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan komunikasi dalam Pembangunan Perdesaan di
Kabupaten Cianjur.
2. Bagaimana keadaan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Perdesaan di Kabupaten Cianjur.
3. Seberapa besar pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat
dalam pembangunan pedesaan di Kabupaten Cianjur.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian.
1.3.1. Maksud Penelitian :
Penelitian ini dilakukan dengan maksud menguji dan menganalisis
pengaruh komunikasi terhadap Pemberdayaan Masyarakat dalam pembangunan
208
perdesaan . Melakukan penelusuran berbagai teori yang berhubungan dengan
pengembangan lembaga desa dan pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan perdesaan , menguji dan menganalisis kemudian membuat
rekomendasi pragmatis berupa bahan informasi dalam penyusunan kebijakan
pemerintah daerah .
1.3.2 Tujuan Penelitian yaitu :
1. Memperoleh informasi mengenai pengaruh faktor komunikasi terhadap
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perdesaan.
2. Melakukan pengujian secara empiris terhadap teori-teori yang dipergunakan
dalam penelitian ini yang berkaitan dengan objek penelitian.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.Kegunaan Akademik .
Dari aspek teoritis , dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan
teor Administrasi Pembangunan khususnya teori-teori pemberdayaan.
2. Kegunaan Praktis .
a. Temuan-temuan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat
dijadikan bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam bentuk
rekomendasi dan rumusan-rumusan pemikiran yang aktual, pragmatis
bagi para pengambil keputusan (praktisi).
b.. Kemudian bagi para peneliti, dapat dijadikan sumber informasi guna
melakukan penelitian lebih lanjut dalam kajian serupa dari variabel lain
yang tidak diidentifikasikan, sehingga serta memberikan kontribusi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu Administrasi
Pembangunan.
209
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka.
2.1.1. Hasil Penelitian terdahulu.
Penelitian tentang topik yang dibahas, pernah dilakkan oleh
peneliti sebelumnya. Akadun (2002) yang mengupas tentang “Model
Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka Efektivitas
Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah Di Kabupaten Bandung”.
Penelitian tersebut mengambil objek aparat pemerintah dan penduduk
Kabupaten Bandung yang memperoleh pelayanan dari
Dinas/Badan/Instansi di Pemerintah Kabupaten Bandung, dengan
jumlah sampel sebanyak 116 orang.
Model keberdayaan yang diukur/diuji dengan mengelaborasi
pendapat dari Friedman, yaitu dari keberdayaan sosial, politik, dan
psikologis. Kesimpulannya, bahwa keberdayaan sosial menjadi faktor
utama yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintah,
sedangkan keberdayaan politik dan keberdayaan psikologis menjadi
faktor proaktif dan dinamisator bagi efektivitas penyelenggaraan
pemerintah. Dalam penelitiaan tersebut, nampaknya kurang banyak
dibahas mengenai masalah keberdayaan aparatur birokrasi dengan
lingkungan organisasi dan kemampuan sumber daya non manusia
maupun peran masyarakat dan dunia usaha dalam rangka efektivitas
penyelenggaraan pemerintah.
210
2.1.2. Pembangunan Masyarakat Perdesaan
Pembangunan masyarakat desa sebagai bagian dari
pembangunan sosial diarahkan pada aspek kelembagaan dan peran
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
perdesaan. Combs & Manzoor (1980 : 13) menjelaskan bahwa
penduduklah yang sering menjadi masalah utama negara-negara miskin
dan berkembang. Jumlah penduduk kedua kategori negara tersebut
sekitar 1,19 milyar orang, sedangkan pada Tahun 1990 meningkat
menjadi 2,62 milyar. Penduduk miskin, selain tersebar di perdesaan,
juga menjadi bagian dari masyarakat kota.
Seiring dengan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat di
tingkat nasional maupun global berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem
pemerintahan ,maka diperlukan suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan
yang bersifat terpadu yang pada dasarnya mempunyai tiga arah (Sumodingrat,
1999 : 191), yakni :
Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam
pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta
masyarakat.
Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari
perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran
serta masyarakat lokal
Dari pemikiran tersebut, nampak bahwa upaya pemberdayaan masyarakat
selain memerlukan instrumen melalui berbagai program (bantuan, dana), sarana
prasarana, peningkatan kualitas SDM. Sedangkan instrumen tadi tidak akan
berarti tanpa ada penguatan lembaga lokal baik pemerintahan desa maupun
211
lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih besar. Aparat desa harus mampu menampung aspirasi, menggali potensi, dan
menggerakkan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan.
Sejalan dengan berbagai strategi di atas, perubahan kebijakan pemerintah
yang mengedepankan semangat desentralisasi sebagaimana tersurat dalam
Undang-Undang No 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
secara filosofis, sosiologis dan administratif menunjukkan adanya pergeseran
orientasi penyelenggaraan administrasi pembangunan dan manajemen
pemerintahan dari sentralistik ke desentralisasi. Ini berarti pada level
suprastruktur, menghendaki adanya reformasi sistem pengelolaan pembangunan
yang merubah fungsi dan peran birokrasi pemerintah sebagai fasilitator,
katalisator melalui pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat. Sedangkan
pada level infra struktur (masyarakat) memberi ruang terhadap aktualisasi
pelaksanaan dan pengembangan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dalam
menjabarkan, menerapkan dan menata kelembagaan lokal dalam rangka
pemberdayaan masyarakat.
2.1.3 Komunikasi
Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat tadi melalui
pengembangan lembaga, banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilannya Dalam administrasi pembangunan beberapa faktor
fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu ditentukan oleh
“Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan pendidikan.”
Tjokroamidjojo, 1991 : 226).
212
Komunikasi merupakan faktor menentukan dalam keberhasilan dinamika
organisasi. Seperti dikatakan oleh Barnard dalam Steers (1980 : 162), bahwa :
“Dalam teori organisasi yang lengkap, komunikasi menduduki tempat yang
sentral. Karena struktur, luas, dan ruang lingkup organisasi hampir sepenuhnya
ditentukan oleh komunikasi. Sejalan pemikiran tersebut, Foy yang dikutip
Sumaryadi (2005 : 118) menyebutkan bahwa “Pemberdayaan membutuhkan
komunikasi yang baik (good communication), komunikasi adalah landasan yang
mendasari setiap perubahan organisasi “.
Berkaitan dengan hal tersebut, Keith Davis (1979 : 372) mengemukakan :
“Communication is defined as the process of passing information and
understanding from one person to another”. Sedangkan Rogers & Shoemaker
(1981 : 34) mengemukakan komunikasi :”Sebagai proses pemindahan pesan dari
suatu sumber dengan tujuan terjadinya perubahan perilaku si penerima”. Ini
berarti, bahwa komunikasi selain berfungsi menyampaikan informasi dan
pengetahuan dari seseorang kepada orang lain, sehingga terjadi tindakan
kerjasama, juga komunikasi membantu mendorong membentuk sikap dan
menanamkan kepercayaan dengan cara mengajak, meyakinkan dan
mempengaruhi perilaku komunikan.
Bertolak dari pernyataan di atas, meneggambarkan bahwa proses
pembangunan dalam suatu masyarakat (desa) tidak mungkin dapat terlaksana
dengan efektif, tanpa komunikasi terutama yang dilakukan oleh para
pemimpinnya. Sebagai faktor penentu dalam organisasi, pemimpin sebagai
sumber penyampaian pesan atau komunikator harus senantiasa berkomunikasi
dengan semua pihak, baik melalui hubungan yang formal maupun informal.
213
Sukses tidaknya pelaksanaan tugas pemimpin tergantungan kemampuan
bagaimana dia berkomunikasi (effective leadership means effective
communication) (Effendy, 1981 : 39). Oleh karena itu, betapa besar peranan
seorang pemimpin sebagai katalisator dan dinamisator pembangunan untuk ikut
terlibat didalam pemecahan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
Komunikasi sebagai proses komunikasi yaitu : ”Proses penyampaian
pikiran dan/atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan
lambang (symbol) sebagai media.” (Effendy, 1986 : 15). Dengan demikian, proses
komunikasi pimpinan adalah proses penyampaian pikiran/perasaan pimpinan
kepada pegawai dengan menggunakan lambang (symbol) yang berarti yang
diperlukan untuk membangun transaksi komunikasi yang diinginkan. Ada empat
elemen yang menentukan efektivitas proses komunikasi, yaitu : “Encoding,
Channel, Decoding, and Feedback”. (Smeltzer et al., 1991 : 7). Keterkaitan
antara keempat elemen tersebut, dapat digambarkan sebagai berikut :
GAMBAR 2.1
MODEL PROSES KOMUNIKASI PIMPINAN
Channel
Encode Decode
Feedback
Sumber : Smeltzer et al., (1991 : 12).
214
Pendapat lain menyebutkan bahwa proses komunikasi melibatkan
beberapa faktor yang saling terkait dan fungsional, yaitu : Source, message,
Channel, Receiver, dan Feedback. (Hawkins,1981 : 7; Sharma, 1982 : 4).
Kemudian Muhammad (1995 : 16) memberi gambaran model proses komunikasi
dua arah yang paling sering digunakan oleh pimpinan dalam suatu organisasi.
Namun meskipun semua unsur yang terdapat didalamnya terpenuhi, dalam
aktivitas komunikasi tidak dapat menjamin pesan akan mencapai sasarannya.
Banyak faktor yang mendukung juga menghambat (gangguan) yang turut
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam berkomunikasi.
GAMBAR 2.2 .
MODEL PROSES KOMUNIKASI 2 ARAH
Sumber : diadaptasi dari Arni Muhammad (1995 : 16).
a) Source
SOURCE MESSAGE CHANNEL RECEIVER
ENVIRONMENT
FRAME OF REFERENCE FRAME OF REFERENCE
ENCODING DECODING
NOISE NOISE
FEED BACK
215
Disebut juga sebagai komunikator, yakni bisa seseorang, kelompok,
lembaga yang ingin menyampaikan pesan kepada pihak lain. Pertama, tentu
seorang komunikator menyandi (encode) pesan dalam pikiran /perasaan yang
diformulasikan kedalam lambang (bahasa) yang dapat dimengerti oleh
komunikan. Smeltzer menyebutkan “Encoding is the process of coding any
symbol in to message that contains the meaning to be confeyed.” (Smeltzer et al.,
1991 : 7). Sementara itu, Gibson (1995 : 107) mengartikan encoding sebagai :
”Proses penyandian yang menerjemahkan gagasan komunikator menjadi
serangkaian tanda yang sistematis menjadi bahasa yang mengungkapkan tujuan
komunikator.” Setiap pimpinan melakukan komunikasi harus sesuai dengan
kebutuhan, situasi dan kondisi penerima. Sebab jika tidak, bukan tidak mustahil
pesan tidak akan sampai pada sasarannya.
Dalam proses encoding ini, pimpinan harus mampu memilih dan
menggunakan simbol terbaik yang dapat menyampaikan gagasan mereka, dapat
dimengerti oleh penerima, sehingga terjadi kesamaan makna antara pengirim dan
penerima. Maknanya, tidak melekat pada simbol yang digunakan, tetapi pada
sejauh mana penerima dan pengirim pesan memaknai sama terhadap simbol
tersebut. Seseorang meng-encode ketika ia menggunakan simbol untuk
menampilkan gagasannya. Simbol yang digunakan dapat berupa bahasa verbal
atau non verbal, isyarat, gambar, warna dan lain-lain, yang secara langsung
mampu menterjemahkan dan mengungkapkan gagasan seseorang tersebut sebagai
suatu pesan.
Sikap pemimpin yang berusaha menyamakan diri dengan bawahan akan
menimbulkan simpati. Bagi pemimpin yang mempunyai emphaty, maka tidak
216
akan membiarkan orang lain berada dalam kegelisahan, kekecewaan dan frustasi,
dan ini berarti dia mau terjun langsung terhadap persoalan yang mengganggu.
Oleh karena itu, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 13) menyarankan ,bahwa
komunikasi akan berhasil apabila “pesan yang disampaikan oleh komunikator
cocok dengan kerangka acuan (frame of reference),yakni paduan pengalaman dan
pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperolah
komunikan”. Demikian pentingnya bagi pemimpin organisasi untuk dapat
memahami frame of reference bawahannya tadi, mengetahui waktu, situasi dan
kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesannya, dapat memilih saluran
dan media yang cocok, serta menyediakan umpan balik untuk mengetahui efek
dari komunikan.
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, bahwa Kepala Desa sebagai
pemimpin harus tanggap terhadap pesan-pesan pembangunan dan mampu
menterjemahkan pesan-pesan itu kedalam bahasa atau lambang yang kiranya
dapat dipahami oleh masyarakatnya. Untuk menunjukkan kesamaan arti dari
pesan-pesan yang disampaikan, Schramm (dalam Effendy, 1998 : 124),
menyarankan agar pesan direncanakan isinya sedemikian rupa, sehingga
mengandung perubahan-perubahan psikologis dan sosiologis.
b). Message
Adalah informasi/pesan yang akan dikirimkan kepada sipenerima, pesan
bisa dalam bentuk verbal maupun non verbal. Pesan secara verbal bisa dalam
bentuk terknis maupun lisan, sadangkan pesan yang non verbal berupa
isyarat,gerakan tubuh, ekspresi muka dan nada suara. Pesan (message) yang
disampaikan terdiri atas isi (content) dan lambang (symbol). Pesan pembangunan
217
biasanya dalam bentuk : program, kebijakan- kebijakan, berbagai instruksi
/perintah dari aktor pembangunan terutama para pejabat atau para pengambil
keputusan. Tujuan komunikasi seperti telah disinggung sebelumnya selain untuk
menyamakan persepsi, tapi juga bagaimana mengubah sikap, pendapat atau opini
dan perilaku masyarakat.
c). Channel
Channel adalah media yang digunakan untuk menyampaikan
pesan. Selain itu, saluran merupakan mata rantai yang menghubungkan
komunikator dengan komunikan. Dalam lingkungan suatu organisasi,
saluran-saluran yang paling umum digunakan adalah audio visual.
Saluran yang digunakan oleh pimpinan sebagai komunikator sangat
tergantung kepada pesan dan pendekatan yang digunakan untuk
mengirim pesan. Ini sesuai dengan yang dikemukakan Smeltzer et al.
(1991 : 8) bahwa : ”A leader suol select the best channel to eliminate
communicational distorsio”.
Dalam upaya pemberdayaan masyararakat, kecocokan menggunaan media
amat menentukan terhadap keberhasilan komunikasi yang dijalankan. Media
komunikasi interpersonal kelihatannya masih merupakan komunikasi yang
cukup penting di pedesaan. Sebagaimana disebutkan Sukanto (1981 : 65) bahwa :
Sistem komunikasi interpersonal masih amat dibutuhkan, dimana tingkat
pendidikan dan minat masyarakatnya masih rendah terhadap media massa
modern”. Karena sifatnya yang interpersonal, maka komunikasi dipedesaan sangat
banyak tergantung kepada para pemimpin masyarakat dan para pemuka (opinion
leader).
218
d) Decoding dan Penerima
Agar proses komunikasi dapat berlangsung dengan baik, pesan
yang disampaikan harus di-encode (ditafsirkan) sesuai dengan
penerima. Jadi decoding adalah : ”Proses penafsiran lambang yang
mengandung pikiran dan perasaan komunikator dalam konteks
pengertian penerima”. (Effendy, 1989 : 18). Di samping itu : ”Proses
komunikasi akan berlangsung dengan baik bila terjadi adanya
kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan.”
(Effendy, 1989 : 17). Untuk itu, perlu dipertimbangkan bagaimana
perhatian selektif yang dilakukan penerima pesan. Komunikan dapat
memilih apa yang tidak mau ia dengar/lihat. Selain itu, faktor kerangka
acuan (frame of reference) dan faktor pengelaman penerima ketika
menafsirkan pesan juga turut menentukan adanya persamaan makna
pesan yang dikirimkan oleh komunikator.
e) Feedback
Pengertian umpan balik sebagaimana dikemukakan Effendy (1989 : 45)
yaitu : ”Proses sampainya tanggapan komunikan kepada komunikator, setelah
komunikan menilai suatu pesan yang ditujukan kepadanya.” Sedangkan, Smeltzer
et al. (1991 : 11) menyatakan bahwa feedback merupakan :”The most assential
factor to ensure that the message as received completely”.
Untuk mengetahui bagaimana sikap atau respon masyarakat melalui
lembaga desa yang ada terhadap program-program dan segala usulan, saran atau
gagasan yang disampaikan, dalam komunikasi ini dilihat melalui feed back
(umpan balik). Tersedianya umpan balik dalam komunikasi penting artinya untuk
219
menguji seberapa jauh pesan-pesan pembangunan yang disampaikan itu bisa
dimengerti, bagaimana hubungan yang terjadi melalui saluran komunikasi yang
tersedia dapat menimbulkan dampak positif terhadap perubahan tingkah laku
masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat.
Dari berbagai pemaparan tadi dapat dikatakan sebagai faktor penentu
dalam proses pembangunan maupun penggerakkan masyarakat, maka Kepala
Desa sebagai pemimpin harus senantiasa berkomunikasi dengan semua pihak,
baik kedalam (internal) maupun keluar (eksternal) organisasi secara formal
maupun informal. Suksesnya pelaksanaan tugas pemimpin, sebagian besar
ditentukan oleh kemahirannya menjalin komunikasi yang tepat dengan semua
pihak, secara horisontal maupun vertikal ke atas dan ke bawah.
Dalam kaitannya dengan pembedayaan, dapat diungkap seberapa
besar pemimpin atau Kepala Desa sebagai agen pembangunan,
katalisator, fasilitator mampu menyampaikan pesan, perintah dan
setiap informasi atau kebijakan secara jelas kepada masyarakat.
Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok dengan
situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar
tingkat keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan
pihak-pihak yang terlibat baik masyarakat maupun lembaga-lembaga
terkait sehingga dapat memperluas dukungan dan akses masyarakat
terhadap sumber-sumber daya pembangunan perdesaan. Untuk merubah
sikap, perilaku masyarakat diperlukan komunikasi organisasi yang
efektif, agar pesan-pesan atau program-program pembangunan yang
dapat diterapkan dan diterima lingkungannya.
220
2.1.4. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya”
yang berarti kekuatan atau kemampuan. Dengan demikian
pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya,
atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang
memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum
berdaya.(Sulistiyani, 2004 : 77). Pengertian “proses” menunjuk pada
serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara
sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah kondisi
masyarakat yang kurang atau belum berdaya, baik knowledge, attitude,
maupun practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikapperilaku
sadar dan kecakapan-ketrampilan yang baik.
Sejalan dengan pemahaman tersebut, konsep pemberdayaan merupakan
ide menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dirinya sendiri (Pranarka dan
Tjokrowinoto, 1996 : 56). Karena itu, proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan, yaitu :
Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan atau kemampuan
kepada mereka yang mengalami ketidakberdayaan. Proses ini dapat
dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna membangun
kemandirian melalui institusi. Upaya ini bisa dilakukan melalui pemberian
kuasa dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan berbagai kegiatan, program yang mereka butuhkan sesuai
kondisi dan kemampuan sumber-sumber yang ada.
Kedua, proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu atau
kelompok agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. Proses menstimulasi bisa
dilakukan melalui upaya pemberdayaan meliputi usaha menyadarkan,
mendukung, mengembangkan potensi diri dengan berbagai pelatihan
ketrampilan dan pengembangan , bantuan dalam penyusunan mekanisme
organisasi dan pendanaan serta bantuan teknis lainnya.
221
Menurut The Webster & Oxford English Dictionary,kata empowerment
mengandung dua arti. Pengertian pertama adalah to give power or authority to
(memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke
pihak lain). Kedua berarti to give ability to or enable (sebagai upaya memberi
kemampuan atau keberdayaan). Sementara itu, Dubois dan Miley (1986 : 12)
menyatakan bahwa Pemberdayaan (empowerment) :
“A process throught which people become strong enaugh to participate
within, share in the control of and influence events and institution of
fecting their lives (and that in part) empowerment neccesitates that people
gain particular skills, knowledge, and sufficient power to influence their
lives and the lives those they care about”.
Jadi pemberdayaan merupakan proses yang menyeluruh, suatu proses aktif
antara motivator, fasilitator dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan.
Dengan demikian dalam proses pemberdayaan, setiap individu, kelompok,
masyarakat dapat menjadi lebih mandiri dan mampu untuk berpartisipasi dalam
proses pembangunan.
Berdasarkan pemikiran tadi, maka inti pemberdayaan adalah
memandirikan masyarakat dan membangun kemampuan untuk
memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara sinambung
(Kartasasminta, 1997 : 7). Sedangkan Stewart (1994 : 47)
menyebutkan, inti pemberdayaan adalah membuat mampu (enabling).
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa hakekat pemberdayaan itu
tiada lain merupakan suatu upaya yang dilakukan individu, kelompok,
organisasi atau negara dalam kerangka peningkatan kekuatan,
pemberian keberdayaan atau otoritas, pelimpahan kekuasaan atau
222
wewenang terhadap suatu komunitas atau masyarakat tertentu yang
dipandang kurang memiliki keberdayaan. Hal ini berguna untuk
memperoleh akses terhadap berbagai bidang kehidupan baik sosial,
ekonomi, budaya, hukum, maupun politik agar dapat ikut terlibat
(berpartisipasi) dalam perumusan kebijakan politik maupun
pelaksanaan program pembangunan guna menata kehidupan yang lebih
demokratis.
Senada pemikiran tadi, pemberdayaan dapat dipahami dari
berbagai perspektif yang dapat dikembangkan satu dengan lainnya
saling terkait, pemberdayaan dapat dilihat dari perspektif sosial,
politik dan psikologis (Friedmenn, 1992 : 33). Pendapat lain
menyebutkan 4 perspektif pemberdayaan yakni pemberdayaan politik,
ekonomi, sosial budaya dan pemberdayaan lingkungan. (Ndraha, 2000
-.80-81). Dari beberapa pendapat tadi dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Pertama, dari perspektif politik. Konsep sentral pemberdayaan adalah power
(Hanna and Robinson, 1994 : xii). Pemberdayaan merupakan proses
menyangkut hubungan-hubungan kekuasaan politik, yakni kekuasaan yang
dimiliki pemerintah atau negara yang dikonfrontasikan dengan rakyat atau
masyarakat. Pemberdayaan Politik, bertujuan meningkatkan bargaining position yang diperintah terhadap Kedua dari perspektif sosial. Pemberdayaan berarti menyangkut akses terhadap
sumber-sumber informasi, partisipasi ,pengetahuan, ketrampilan,kecakapan,
,lembaga-lembaga sosial dan lembaga keuangan. Dalam logika seperti ini,
pemberdayaan dari ketidakberdayaan dapat dicapai dalam keteraturan dan
223
dinamisasi kehidupan masyarakat yang ada tanpa dampak negatif yang signifikan
terhadap power yang besar. Pemberdayaan Sosial, bertujuan meningkatkan
kemampuan sumberdaya manusia (human invesment), penggunaan (human
utilization) dan perlakuan seadil-adilnya terhadap manusia.
Ketiga, Pemberdayaan Ekonomi, dimaksudkan sebagai upaya untuk
meningkatkan kemampuan yang daya masyarakat dalam mengatasi dampak
negatif pertumbuhan, pembayar resiko salah urus, pemikul beban pembangunan,
kegagalan program. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa, lebih banyak
bertumpu pada kemampuan untuk meningkatkan daya beli atau pendapatan
mereka melalui berbagai usaha produktif .
Keempat, perspektif psikologis, yakni digambarkan rasa
potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan rasa
percaya diri (Pranarka dan Tjokrowinoto, 1996 : 61). Pemberdayaan
psikologis berarti berkembangnya motivasi, kreasi, rasa memiliki,
kebersamaan, martabat dan harga diri manusia, hasrat dan kebebasan
seseorang terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa
potensi diri akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan
kekuatan sosial politiknya.
Suatu masyarakat yang berdaya berarti masyarakat mampu
membangun dirinya sendiri (self development), menciptakan kelompok
kerja yang dinamis (groups dynamics), dan merubah perilakunya
(changing behavior) dengan meninggalkan kebiasaan yang lebih
menguntungkan dalam melakukan kegiatan.
224
2.2 Kerangka Pemikiran
Paralel dengan perubahan paradigma dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan & pembangunan desa dari pola sentralistik ke desentralisasi
berimplikasi pada perubahan kebijakan sistem pemerintahan ,maka diperlukan
suatu strategi atau arah kebijakan pembangunan yang bersifat terpadu. Strategi itu
pada dasarnya mempunyai tiga arah.
Pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam
pengelolaan pembangunan di daerah yang mengembangkan peran serta
masyarakat.
Ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari
perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran
serta masyarakat lokal. (Sumodiningrat, 1999 : 130)
Pemberdayaan menunjukan pada kemampuan orang khususnya kelompok
lemah, sehingga mereka memiliki kemampuan atau keberdayaan dalam :
a. Memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka memiliki kebebasan
(freedom), dalam arti bukan hanya kebebasan dalam mengeluarkan
pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kemiskinan.
b. Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka
dapat meningkatkan pendapatan dan memperoleh barang dan jasa yang
diperlukan.
c. Berpartisiapsi dalam proses pembangunan dan keputusan yang
mempengaruhi masa depannya. (Suharto, 2005 : 58).
Sebagai proses, pemberdayaan berarti serangkaian kegiatan untuk
memperkuat kekuasaan atau keberdayaan terutama kelompok lemah dalam
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari 2 aspek penting yaitu : Pertama,
pemberdayaan sebagai proses mengembangkan kemandirian, keswadayaan,
memperkuat posisi (bargaining position) terhadap setiap keputusan atau
kebijakan pemerintah. Kedua sebagai proses memfasilitasi masyarakat dalam
memperoleh akses terhadap sumber-sumberdaya,memberikan ruang gerak dan
225
memberi dorongan untuk tumbuh dan berkembangnya kreasi, partisipasi dalam
mengatasi masalah yang dihadapi.
Guna meningkatkan pemberdayaan masyarakat, banyak faktor
yang mempengaruhi keberhasilannya, Tjokroamidjojo menyebutkan
beberapa faktor fundamental dalam rangka pemberdayaan yaitu
ditentukan oleh “Kepemimpinan, komunikasi, koordinasi dan
pendidikan.” (Tjokroamidjojo, 1991 : 226).
Komunikasi memegang peranan penting untuk menyebarluaskan
berbagai program, kegiatan, kebijakan dan melakukan perubahan serta menjalin
hubungan dengan berbagai kelompok atau lembaga terkait. Tanpa komunikasi
tidak akan terjadi interaksi. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa organisasi dan
dinamikanya tidak berada dalam isolasi, ia sebantiasa berinteraksi kedalam
maupun keluar organisasi. Seperti dikatakan Tjokroamidjojo (1991 : 227), bahwa
: “Komunikasi juga dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai
dan sikap yang inheren dalam proses pembaharuan tanpa menimbulkan tekanan,
frustasi dan friksi.”
Menyadari pentingnya komunikasi oleh pimpinan dalam suatu
organisasi, Lindgren (dalam Effendy, 1981 : 39) menyatakan “Effective
leadership means effective communication”. Hakekat kepemimpinan
ialah apa yang si pemimpin komunikasikan dan bagaimana ia
mengkomunikasikannya. Karena itulah, maka dinyatakan bahwa
kepemimpinan yang efektif berarti komunikasi yang efektif. Ini berarti
pula bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus bisa
berkomunikasi secara efektif. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus
226
senantiasa meningkatkan kemampuan berkomunikasinya. Hal ini
tentunya bukan hanya ditujukan kedalam anggota organisasi yang
bersangkutan (intern), tetapi juga kepada lingkungan masyarakat
dimana organisasi itu berada (ekstern).
Dalam kaitannya ini dapat diungkap seberapa besar pemimpin atau
Kepala Desa sebagai agen pembangunan, katalisator, fasilitator mampu
menyampaikan pesan, perintah dan setiap informasi atau kebijakan secara jelas
kepada masyarakat. Bagaimana saluran-saluran (media) yang digunakanan cocok
dengan situasi kondisi dan latar belakang khalayak sasaran. Seberapa besar tingkat
keterbukaan dan intensitas komunikasi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang
terlibat, baik masyarakat maupun lembaga-lembaga terkait sehingga dapat
memperluas dukungan dan akses masyarakat terhadap sumber-sumber daya
pembangunan perdesaan. Untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat
diperlukan komunikasi organisasi yang efektif, agar pesan-pesan atau programprogram
pembangunan yang dapat diterapkan dan diterima lingkungannya.
Ukuran keberdayan dapat dilihat berbagai aspek yaitu
diantaranya dari perspektif politik, sosial maupun psikologis
(Friedmenn, 1992).
Pertama, dari perspektif politik, diukur melalui akses setiap
individu/kelompok terhadap sumber informasi, pendanaan,
keterlibatan dalam proses pembuatan keputusan, kesempatan untuk
memperoleh informasi secara merata, kejelasan wewenang untuk
melakukan pilihan keputusan/tindakan sesuai kebutuhan dan
kemampuan yang ada.(Hanna and Robinson, 1994 : xii; Paul, 1987).
227
Kedua dari perspektif sosial, diukur melalui : bagaimana masyarakat
mampu memiliki akses terhadap resources baik material, informasi,
maupun kekuasaan, melalui proses penguatan kelembagaan untuk
dapat berpartisipasi dalam setiap tahap proses pembangunan,
memperoleh faktor-faktor produktif dan menentukan pilihan masa
depannya sebagai bagian dari dinamika, tanpa menimbulkan hambatan
atau konflik yang berarti. Adanya peningkatan ketrampilan dan
pengetahuan untuk ikut mengelola proses pemerintahan/pembangunan.
Mayo and Craig (1995 : 5); (Kabeer dalam Pranarka dan Moeljarto,
1996 : 64).
Ketiga, dari perspektif psikologis, yang diukur melalui berkembangnya
rasa potensi individu (individual sense of potency). (Pranarka;
Moeljarto, 1996 : 61). Pemberdayaan psikologis berarti berkembangnya
motivasi, rasa percaya diri, rasa memiliki, berkembangnya kreasi,
kebersamaan, harga diri manusia, hasrat dan kebebasan seseorang
terhadap lingkungan yang mempengaruhi dirinya. Rasa potensi diri
akan memberi pengaruh positif untuk meningkatkan kekuatan sosial
politiknya, menciptakan kelompok kerja yang dinamis (groups
dynamics), dan merubah perilakunya (changing behavior) dengan
membiasakan perilaku yang positip yang lebih menguntungkan dalam
melakukan kegiatan.
2.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikiran yang telah diuraikan sebelumnya dapatlah
dirumuskakan hipotesis sebagai berikut :“ Pengaruh Komunikasi terhadap
228
tingkat Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan di Kabupaten
Cianjur ditentukan oleh derajat Kemampuan Komunikator, Pesan, Media,
Komunikan dan Umpan Balik.”
229
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Dengan memperhatikan pada tujuan penelitian, maka penelitian ini
bersifat deskriptif verifikatif. Penelitian deskriptif ditujukan untuk membuat
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat terhadap fakta-fakta, sifat-sifat
dengan interpretasi yang tepat (Whitney, 1960). Sifat verifikatif dalam penelitian
inipun selain memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena yang diteliti
serta menerangkan hubungan antar variabel juga melakukan pengujian hipotesis,
mendapatkan makna dan implikasi dari masalah yang dileliti. (Natsir, 1988 : 64).
Sesuai dengan fenomana sosial yang tercermin dalam tujuan penelitian
tadi, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode survey eksplanatori
(explanatory survey). Penggunaan metode ini dimaksudkan bukan hanya untuk
menerangkan konsep dan fakta, peristiwa dewasa ini (explanation), tetapi
bermaksud menganalisis dan menjelaskan pengaruh kausal antara variabelvariabel
melalui pengujian hipotesis”. (Singarimbun, 1989 : 5; Rusidi, 1996 : 15).
Dengan survey eksplanatori diharapkan dapat mengungkap secara cermat
pengaruh pengembangan lembaga desa terhadap pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan.
3.2. Variabel Penelitian dan Operasionalisasi Variabel.
3.2.1. Variabel Penelitian.
230
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni variabel bebas
(independent variable), yakni Komunikasi dengan variabel terikat (dependent
variable) yaitu Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan.
3.2.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian
Definisi operasional dari masing-masing variabel yaitu :
1. Komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan dengan melalui saluran komunikasi langsung (interpersonal)
maupun media komunikasi tertentu yang bertujuan untuk merubah
pengertian, kepercayaan, sikap dan tindakan penerimanya. Komunikasi
dalam penelitian ini diorientasikan pada komunikasi pimpinan dalam hal ini
lebih ditekankan bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh Kepala Desa
sebagai pemimpin di tingkat desa dalam rangka penyebaran informasi/pesanpesan,
pemberian pengertian yang dapat menimbulkan perubahan sikap-sikap,
kepercayaan dan memperoleh dukungan lingkungan masyarakat.
B. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan yaitu suatu
proses memberikan daya, kekuatan kepada masyarakat dalam mengurus
berbagai kegiatan, program yang dibutuhkan agar memiliki kemampuan dan
kemandirian. Pemberdayaan juga berarti proses menstimuli, mendorong dan
memotivasi masyarakat dengan berbagai bimbingan, pelatihan dan bantuan
agar memiliki keberdayaan baik secara sosial, ekonomi, politis maupun
psikologis. Jadi pemberdayaan diukur dari aspek proses dan produk yakni
bagaimana menstimuli, memberikan daya dan dari aspek hasilnya, yakni
dalam bentuk tingkat keberdayaan baik sosial, ekonomi, politik maupun
psikologis.
231
Untuk menggambarkan mengenai operasionalisasi variabel, maka
penulis sajikan dalam tabel berikut ini :
TABEL 3.1
OPERASIONALISASI VARIABEL BEBAS
No. VARIABEL DIMENSI INDIKATOR NO.
PERT.
Komunikasi
Komunikator
Pesan
Media
Komunikan
Umpan Balik
- Penyampaian pesan
- Daya tanggap pimpinan
- Daya empati
- Katalisator
- Kejelasan pesan
- Kesesuaian dengan sikon
- Mamfaat perubahan
- Saluran interpersonal
- Forum pertemuan
- Intensitas pertemuan
- Pemanfaatan jaringan
- pemamfatan media massa
- Daya respon
- Kemampuan berubah
- Jalinan hubungan
- Dukungan lingkungan
- Suasana dialogis
- Keterbukaan
- Tindak lanjut
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15,16
17
18
19
20
232
TABEL 3.2
OPERASIONALISASI VARIABEL TERIKAT
No.
VARIABEL
DIMENSI
INDIKATOR
NO.
PERT.
Pemberdayaan
Sosial
Politis
Ekonomis
Psikologis
- Akses terhadap informasi
- Kemudahan dalam pelayanan
- Keswadayaan
- Pemeliharaan gotong royong
- Kerjasama sinergis
- Kemampuan bargaining
- Pemamfaatan wewenang
- Peran aktif
- Pemihakan
- Pemanfaatan bantuan
- Realisasi bantuan.
- Kelancaran berusaha
- Kemampuan daya beli.
- Sikap terhadap perubahan
- Tanggung jawab.
- Kemandirian
- Keyakinan
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34,35
36
37
38
3. 3. Metode Penarikan Sampel
Kabupaten Cianjur yang memiliki 30 kecamatan terdiri dari 345 desa dan
6 kelurahan terbagi kedalam 3 wilayah, yakni Wilayah Utara sebanyak 15
kecamatan, Wilayah Tengah 7 kecamatan dan Wilayah Selatan 8 kecamatan.
Dapat dikatakan bahwa populasi penelitian adalah seluruh lembaga desa yang
berperan memberdayakan masyarakat desa di Kabupaten Cianjur. Dalam
233
penelitian ini lembaga desa yag dipilih sebagai mana telah diuraikan sebelumnya
yakni ditentukan 3 lembaga desa, yakni Pemeritah Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dengan pertimbangan ketiga
lembaga tersebut sama-sama ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan/kebijakan, menentukan arah pembangunan dan mengalami perubahan
fungsi, peran serta kedudukan Kepala Desa yang semula menjadi ex officio
sebagai ketua pada semua lembaga desa, kini terpisah dengan mengembangkan
pola hubungan yang lebih didasarkan pada semangat kemitraan.
Dari hasil prasurvey diperoleh rincian populasi sebagai berikut :
TABEL 3.3
WILAYAH PENELITIAN DAN JUMLAH POPULASI
No Wilayah Kecamatan Desa Populasi
1 Utara 15 183 549
2 Tengah 7 90 270
3 Selatan 8 78 234
Total 30 351 1053
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Untuk mendapatkan sampel yang representatif, maka pemilihan sampel
dilakukan secara “Proportionate Stratified Random Sampling”. Untuk
menentukan ukuran sampel digunakan rumus berikut :
n =
n0
1 + n0 – 1
N
z ½ a
2
n0 = 2 BE
234
(Harun Al Rasyid, 1996 : 40-48)
dengan catatan :
n0 > 0,05 N n =
n0
1 + n0 – 1
N
N = Besarnya populasi ( organisasi ).
n = Besarnya sampel
a = Resiko kekeliruan yang mungkin terjadi.
Dengan menggunakan rumus di atas dan mengambil :
¨ Persentasi (p) = 0,5
¨ Derajat Kepercayaan = 95%, a = 5%
¨ Bound of Error (BE) = 8%
Maka besarnya sampel :
Z ½ a
2
1, 96
2
n0 = 2 BE = 2 x 0,08 = 150,062
0,05 N = 0,05 x 1053 = 53.25
jadi : n0 > 0,05 N atau 150,062 > 53.25
maka rumus penentuan sampel yang dipakai :
235
n =
n0
= 150,062
1 + n0 – 1 1 + 150,062 – 1
N 1053
= 131,644 = 132 responden
Oleh karena jumlah lembaga desa yang menjadi sampel berjumlah
132, maka distribusi sampel per wilayah dihitung secara
proportionate dengan cara :
Rumus: 3.2
ni = Besarnya sampel wilayah penelitian
Ni = Jumlah organisasi perwilayah
N = Besarnya populasi
n = Total sampel
maka dengan menggunakan rumus di atas diperoleh alokasi sampel per
wilayah sebagai berikut :
Setelah diketahui besarnya sampel yang berjumlah 132, maka perlu
diketahui besarnya desa sampel dengan membagi 3, karena tiap desa diwakili
oleh 3 lembaga desa ,maka diperoleh 44 desa sampel. Dengan menggunakan
proporsional untuk masing masing wilayah, maka dapat diketahui dengan rumus
yang sama dihitung secara proportionate dengan cara :
Rumus: 3.3
ni = Besarnya desa sampel wilayah penelitian
ni =
Ni
X n
N
ni =
Ni
X n
N
236
Ni = Jumlah sampel perwilayah
N = Besarnya total sampel
n = Total desa sampel
Dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh alokasi sampel desa per
wilayah sebagai berikut :
TABEL 3.4
ALOKASI SAMPEL DESA PER WILAYAH PENELITIAN.
No Wilayah Desa Populasi Sampel Desa sampel
1 Utara 183 549 69 23
2 Tengah 90 270 34 11
3 Selatan 78 225 29 10
Total 351 1053 132 44
Sumber : Hasil penelitian, diolah, 2007.
Dari tabel tersebut dapat diuraikan, selain pemilihan sampel dilakukan secara
“Proportionate Random Sampling, juga dilakukan dengan sampling klaster dua
tahap atau Two-stage cluster sampling. (Rasyid, 1988 : 23; Nasir, 1988 : 332).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan, melalui studi kepustakaan data dikumpulkan dengan
cara mempelajari dan menelaah berbagai referensi, peraturan-peraturan
perundangan, kebijakan laporan-laporan dan dokumen-dokumenyang ada di
Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa serta lembaga desa lainnya yang
ada kaitannya dengan masalah yang akan diteliti.
237
b. Observasi, yaitu dengan jalan mengadakan pengamatan langsung di
lapangan dan mencatat mengenai masalah-masalah penting yang ada
hubungannya dengan penelitian ini. Dengan observasi diarahkan untuk
memperoleh gambaran empirik berupa data yang relevan berupa kondisi dan
situasi lapangan.
c. Wawancara, yaitu dilakukan dengan para pejabat yang berkompeten baik
tingkat kabupaten, kecamatan maupun dengan para tokoh masyarakat tingkat
desa, yang menjadi objek penelitian guna membantu memahami gejala
sosial yang timbul secara cermat dan kritis.
d. Kuesioner. Dalam penelitian ini digunakan sebagai instrumen pokok untuk
menjaring sejumlah data yang relevan. Dengan kuesioner dapat
mengungkapkan data yang menyangkut persepsi, sikap, berdasarkan nilai,
pengalaman dan keyakinan responden.
Untuk keperluan analisis secara kuantitatif, maka jawaban pilihan tersebut
dengan menggunakan skala 1 sd 5 dengan kriteria sebagai berikut :
Alternatif jawaban _______ positif
negatif
1. Sangat setuju /Selalu /Sangat baik diberi skor 5 1
2. Setuju / sering / baik diberi skor 4 2
3. Ragu-ragu / kadang-kadang/cukup diberi skor 3 3
4. Tidak setuju / hampir tidak pernah/ kurang diberi skor 2 4
5. Sangat tidak setuju / tidak pernah/ jelek diberi skor 1 5
Dalam penyusunan kuesioner, penulis menggunakan model skala Likert’s
dengan metode summated ratings. Menurut Vredenbregt (1996 : 108) skala
Likert’s tersebut merupakan skala ordinal. Oleh karena itu agar dapat dilakukan
238
pengujian hipotesis penelitian ini dengan path analysis (analisis jalur), maka data
yang diperoleh dengan skala Likert;s perlu dinaikkan menjadi skala interval
dengan menggunakan Method of Successive Interval (MSI).
3.5. Penskalaan
Setelah dilakukan analisis instrumen penelitian, selanjutnya jika instrumen
tersebut valid, reliabel dan konsisten, selanjutnya nilai jawaban responden diubah
skalanya menjadi skala pengukuran interval dengan menggunakan metode
Successive Interval yang caranya dilakukan menurut seperti berikut ini :
a) Perhatikan nilai jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner
b) Untuk setiap pertanyaan tersebut, lakukan perhitungan ada berapa responden
yang menjawab skor 1, 2, 3, 4, 5 = frekuensi ( f )
c) Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya = ( p )
d) Kemudian hitung proporsi kumulatifnya ( pk )
e) Dengan menggunakan tabel normal, dihitung nilai Z untuk setiap proporsi
kumulatif yang diperoleh
f) Tentukan nilai densitas normal ( fd ) yang sesuai dengan nilai Z
g) Tentukan nilai interval (scale value ) untuk setiap skor jawaban dengan rumus
sebagai berikut :
(Area below upper limit) - (Area below lower limit)
( Density at lower limit) - (Density at upper limit)
Scale Value =
h) Sesuaikan nilai skala ordinal ke interval, yaitu Skala Value (SV) yang nilainya
terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan jawaban
responden yang terkecil melalui transformasi berikut ini.
239
Transformed Scale Value : SV = SV + { SV min } + 1
3.6. Metode Analisis Data
Sesuai dengan hipotesis dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka analisis penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif.
Disamping itu, untuk lebih memahami fenomena yang diamati, maka dilengkapi
juga dengan analisis kualitatif yakni melalui metode deskriptif. Dalam analisis
data kualitatif yaitu didasarkan pada hasil distribusi skor data yang diperoleh
dengan skor data yang tertinggi yang dicapai. Dari perbandingan nilai tersebut,
sehingga dapat diungkap keadaan atau tingkat kemampuan variabel-variabel yang
diteliti.Adapun mengenai uji hipotesis yang digunakan dalam analisis kuantitatif
digunakan analisi korelasi dan analisis jalur.
b. Pengujian Koefisien Jalur
Sebelum mengambil kesimpulan mengenai hubungan kausal yang
telah digambarkan dalam diagram jalur, terlebih dahulu diuji keberartian
untuk setiap koefisien jalur yang telah dihitung. Untuk menguji koefisien jalur
tersebut dapat ditempuh melalui dua cara yaitu : secara keseluruhan (overall)
dan secara individual.
1. Pengujian Secara Keseluruhan
Hipotesis pada pengujian keseluruhan ini adalah :
Ho : pYx1 = pYx2 = pYY = …. = pYxk = 0
Tidak Terdapat hubungan yang signifikan antara Komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
H1 : Sekurang-kurangnya ada sebuah pYxi ¹ 0
Terdapat hubungan yang signifikan antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat.
Dengan statistik uji F pada Tabel ANOVA :
F =
n k R
k R
YX X X
YX X X
k
k
- -
-
1
1
1 2
1 2
2
2
240
Dengan derajat bebas v1 = k dan v2= n-k-1 tolak Ho jika F hitung lebih
besar dari Fa, v1,v2 atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS) dengan nilai
a, jika nilai sig < a maka Ho ditolak.
Hipotesis statistik yang akan diuji :
Ho : pYxi = 0 ,
Faktor Komunikasi tidak berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur
H1 : pYxi ¹ 0
Faktor Komunikasi berpengaruh nyata terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dalam pembangunan desa di Kabupaten Cianjur
Rumus pengujian :
1
(1 2 )
1 2 ... 5
- -
-
=
n k
R CR
p
t
YX X X ii
YX
i
i i= 1,2…6
Statistik uji di atas mengikuti distribusi t dengan derajat bebas n-k-1, tolak Ho jika
t hitung lebih besar dari t(1-a;- n-k-1). atau bandingkan nilai signifikansi (pada SPSS)
dengan nilai a, jika sig.< a maka Ho ditolak.
Sedangkan keberartian koefisien korelasi antar variabel X1 sampai dengan
X6 dengan hipotesis sebagai berikut :
Ho : rxixj = 0 i, j = 1,2,...,6
H1 : rxixj ¹ 0
Dengan statistik uji sebagai berikut :
t
r n k
r
=
- -
-
1
1 2
241
Kriteria uji :
Tolak H0 jika t hitung > t tabel = t(1-a/2 ; n-k-1) atau t hitung < -t (1-a/2 ; n-k-1)
Jika dari hasil pengujian koefisien korelasi antara variable X signifikan, hal itu
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang nyata antar faktorKomunikasi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1.1. Keadaan Geografis Kabupaten Cianjur
Kabupaten Cianjur secara geografis terletak berada di tengah Propinsi
Jawa Barat, yakni diantara 6. 21’ – 7. 25’ Lintang Selatan dan 106. 42’ – 107. 25’
Bujur Timur. Letak Kabupaten Cianjur sangat strategis yang berada pada jalur
regional dan sebagai urat nadi mobilitas penduduk, barang dan jasa antar 2
propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat. Posisi tersebut telah memberikan
peluang dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang memberi dampak
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat Cianjur. Dengan kearanekaragam
kegiatan telah berkembang sedemikian rupa, sehingga menunjukkan kontribusi
yang begitu besar dalam mendukung percepatan pembangunan diberbagai sektor
termasuk pembangunan perdesaan.
Luas wilayah Kabupaten Cianjur adalah 350.148 Ha yang secara
administratif berbatasan dengan :
- Sebelah Utara adalah Kabupaten Bogor dan Purwakarta;
242
- Sebelah Barat adalah Kabupaten Sukabumi;
- Sebelah Selatan adalah Samudera Indonesia; dan
- Sebelah Timur adalah Kabupaten Bandung dan Garut.
Secara geografis wilayah Kabupaten Cianjur terbagi dalam 3 bagian, yakni
: Cianjur Bagian Utara, Cianjur Bagian Tengah, dan Cianjur Bagian Selatan.
1. Cianjur Bagian Utara, merupakan dataran tinggi terletak di kaki Gunung Gede
yang sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan
sebagian lagi merupakan areal perkebunan dan persawahan, secara topografi
berada pada ketinggian sekitar 2.962 m di atas permukaan laut. Wilayahnya
juga meliputi daerah puncak dengan ketinggian sekitar 1.450 m, wilayah
perkotaan Cipanas (Kecamatan Pacet dan Sukaresmi) dengan ketinggian 1.110
m, serta Kota Cianjur dengan ketinggian sekitar 450 m di atas permukaan laut.
Sebagian daerah ini merupakan dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi
merupakan perkebunan dan persawahan. Di bagian barat berbatasan dengan
Kabupaten Bogor terdapat Gunung Salak, yang merupakan gunung api
termuda dan sebagian besar permukaannya ditutupi bahan vulkanik .
Cianjur Bagian Barat ini meliputi 15 Kecamatan, yakni Kecamatan
Cibeber, Bojong Picung, Ciranjang, Karang Tengah, Cianjur, Warung
Kondang, Cugenang, Pacet, Mande, Cikalong Kulon, Sukaluyu, Cilaku,
Sukaresmi, Gekbrong dan Cipanas.
2. Cianjur Bagian Tengah, merupakan perbukitan, tetapi juga terdapat dataran
rendah persawahan, perkebunan yang dikelilingi oleh bukit-bukit kecil yang
tersebar dengan keadaan struktur tanahnya yang labil, sehingga sering terjadi
tanah longsor. Terdapat 7 Kecamatan di wilayah tengah terdiri dari :
243
Kecamatan Tanggeung, Pagelaran, Kadupandak, Takokak, Sukanagara,
Campaka dan Campaka Mulya.
3. Cianjur Bagian Selatan, merupakan dataran rendah yang terdiri dari bukit-bukit
kecil diselingi pegunungan yang melebar ke Samudera Indonesia. Diantara
bukit-bukit dan pegunungan tersebut terdapat pula persawahan dan ladang
huma. Dataran terendah di selatan Cianjur mempunyai ketinggian sekitar 7 m
di atas permukaan laut. Seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah, Bagian
Selatanpun tanahnya labil dan sering terjadi longsor. Disini terdapat juga areal
persawahan dan perkebunan, tetapi tidak begitu luas. Kecamatan yang
termasuk wilayah ada 8 kecamatan yang terdiri dari : Kecamatan Agrabinta,
Leles, Sindang Barang, Cidaun, Naringgul, Cibinong, Cikadu dan Cijati.
Dari data lapangan diperoleh bahwa secara keseluruhan di Kabupaten
Cianjur terdapat 30 Kecamatan, 345 Desa dan 6 kelurahan. Ini berarti Kabupaten
Cianjur merupakan salah satu kabupaten yang amat luas, dengan luas
keseluruhan 35.148 ha.
Selanjutnya mengenai pengembangan pusat kegiatan dan pelayanan di
Kabupaten Cianjur didasarkan pada adanya lima pertimbangan, yakni : 1)
Mewujudkan Visi dan Misi Kabupaten Cianjur; 2) Menyelaraskan antara
perkembangan penduduk dan kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana pada
setiap wilayah; 3) Pemecahan pengembangan wilayah; 4) Mewujudkan aspirasi
masyarakat; serta 5) Mewujudkan rencana struktur tata ruang,
4.1.2 Visi , Misi, Arah Kebijakan Umum dan Program Pembangunan
Daerah
244
Kabupaten Cianjur.
Visi Kabupaten Cianjur adalah “Cianjur lebih cerdas, sehat, sejahtera dan
berakhlaqul karimah”. Sedangkan Misi Kabupaten Cianjur yaitu :
1. Meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu.
2. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3. Meningkatkan pembangunan ekonomi yang berbasis potensi lokal.
4. Meningkatkan pembinaan akhlaqul karimah dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Program percepatan pembangunan di Kabupaten Cianjur memakai pola
pembagian wilayah pembangunan partisipatif. Tahun 2006-2011 merupakan tahap
Lima Tahun mewujudkan Cianjur yang cerdas, sehat, sejahtera, dan berakhlaqulkarimah,
adalah tahap pertama pembangunan yang diamanatkan dalam RPJP
Daerah 2006-2026 yang merupakan dasar dari pembangunan ekonomi. Pada
intinya hal ini merupakan pola pembangunan komprehensif dan holistik seluruh
komponen masyarakat Kabupaten Cianjur. Pola pembangunan wilayah partisipatif
dalam pelaksanaannya terbagi dalam 5 (lima) tahun anggaran, dimana 30
Kecamatan di Kabupaten Cianjur dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pembangunan
fokus per tahun anggaran, sehingga secara bertahap dan sistematis dalam 5 tahun
anggaran akan terjadi proses pembangunan partisipatif, yaitu kondisi dimana
masyarakat selaku subjek pembangunan berperan serta aktif dalam upaya
peningkatan kualitas hidup (Indeks Pembangunan Manusia). Kondisi yang
diterapkan diharapkan mampu meningkatkan keberdayaan, kredibilitas dan
kreativitas, serta mampu menciptakan kemandirian masyarakat Kabupaten
Cianjur.
245
4.1.3. Program Penanggulangan Kemiskinan, Pemberdayaan
masyarakat dan Pembinaan oleh Pemerintah Daerah.
Berdasarkan perhitungan, batas garis kemiskinan (Pendapatan per kapita)
pada tahun 2004 di Kabupaten Cianjur sebesar Rp.121.902,00/kapita/bulan,
kemudian diperkirakan meningkat menjadi Rp.141.382,04/kapita/bulan pada
tahun 2011. Jumlah penduduk miskin (versi BLT) pada tahun 2004, sedangkan
pada tahun 2005 KK miskin sebanyak 161.552 KK atau 28,24%, sedangkan pada
tahun 2011 KK miskin diprediksikan tinggal 18,24% dari jumlah penduduk pada
tahun 2011.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 84 tahun 2000 tentang
Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang dijabarkan dengan Perda
Kabupaten Cianjur Nomor 22 tahun 2000 tentang Organisasi
Pemerintahan Daerah Kabupaten Cianjur dan Keputusan Bupati Cianjur
Nomor 28 tahun 2001, bahwa nomenklatur PMD adalah “Kantor
Pemberdayaan Masayarakat Desa” berkedudukan di tingkat Kabupaten
Cianjur, merupakan unsur penunjang pemerintah kabupaten dipimpin
oleh seorang kepala kantor yang berada dibawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati Cianjur melalui Sekretaris Daerah dan
mempunyai eselonering III/a.
Dalam menjalankan tugas pokoknya Kantor PMD mempunyai fungsi
yaitu:
(a) Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah kabupaten di bidang
pemberdayaan masyarakat desa.
(b) Penyiapan bahan perumusan kebijakan umum pemerintah kabupaten di
bidang pemberdayaan masyarakat desa.
(c) Perumusan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan masyarakat desa.
246
(d) Penyelenggaraan pelayanan umum serta pelaksanaan teknis pemberdayaan
masyarakat desa.
(e) Pembinaan teknis pemberdayaan aparatur dan hubungan aparatur
pemerintah.
(f) Penyelenggaraan tugas yang diberikan Bupati.
(g) Pembinaan terhadap kelompok jabatan fungsional.
Dalam menjalankan fungsinya tersebut Kantor PMD Kabupaten Cianjur
bekerja menganut prinsip partisipatif, pendekatan kelompok (group work) atau
lembaga kemayarakatan yang ada di desa , sesuai dengan budaya setempat dan
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dan
bukannya menciptakan ketergantungan (capacity building). PMD selaku Instansi
pemerintah daerah berperan selaku koordinator dan fasilitator setiap program dan
kegiatan pembangunan/pemberdayaan masyarakat di desa. Sedangkan
masyarakat berperan tidak lagi hanya sebagai obyek
pembangunan/pemberdayaan saja, tetapi adalah juga sebagai subyek atau pelaku
pembangunan/pemberdayaan dirinya sendiri melalui kegiatan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang ada di desa. Adapun Susunan Organisasi Kantor PMD
Kabupaten Cianjur terdiri :
(a) Kepala Kantor
(b) Subbagian Tata Usaha
(c) Seksi Pengembangan Desa
(d) Seksi Binal Lembaga Masyarakat Desa
(e) Seksi Bina Lembaga Masyarakat Desa
(f) Seksi Bina Perekonomian Desa
(g) Seksi Bina Sarana dan Prasarana Desa
(h) Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Keadaan personalia Kantor PMD Kabupaten Cianjur adalah 36 orang
terdiri dari :34 orang PNS dan 2 orang Tenaga Bantuan. Berdasarkan Tingkat
Pendidikan S2 sejumlah 2 orang, S1 = 9 orang, D3 = 1 orang dan SLTA = 24
orang. Dari seluruh pegawai yang telah mengikuti Diklat Struktural & Teknis
247
Fungsional Diklatpim Tk. II 1 orang, SPAMa 1 orang, ADUMLA = 6 orang,
ADUM = 10 orang, Kursus Manajemen Proyek 4 orang, Kursus Bendaharawan
4 orang, Substantif ke-PMD-an 7 orang dan Kursus Administrasi Kepegawaian 4
orang.
Namun seiring dengan banyaknya perubahan di berbagai sektor
pemerintahan maka program pemberdayaan masyarakat desa yang
ditangani/dikelola dan menjadi kewenangan Kantor PMD-pun mulai banyak
mengalami perubahan serta sedikit demi sedikit berpindah kewenangan ke instansi
lain dan berubah nomenklatur serta mekanisme pelaksanaannya. Akibatnya makna
dari program pemberdayaannyapun mulai hilang yaitu kurang memperhatikan
peningkatan partisipasi dan keswadayaan masyarakat yang menjadi ciri dari
pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
4.2. Karakteristik Responden.
Untuk menggambarkan mengenai keadaan responden, maka penulis
sajikan kara kteristik berdasarkan tingkat pendidikan, pekerjaan, usia dan dari
unsur terkait sebagaimana terlihat dalam tabel di berikut ini :
TABEL : 4.1
KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN PENDIDIKAN
LEMBAGA DESA
No.
PENDIDIKAN PEM.DESA B P D L P M
F
%
1.
2.
3.
4.
5.
SD
SLTP
SLTA
D3
S1
3
12
23
4
2
-
9
21
2
12
-
5
25
6
8
3
26
69
12
22
2,27
19,70
52,27
9,09
16,67
JUMLAH 44 44 44 132 100,00
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
248
Dari sejumlah sampel yang diteliti, ternyata pengurus lembaga desa
berpendidikan SD 3 orang ( 2,27 %), SLTP 26 orang (19,70 %), SLTA 69
orang (52,27 %), PT terdiri dari D- 3 12 orang dan S-1 22 orang (16,67 %).
Dengan komposisi tingkat pendidikan seperti ini, hal ini terkait dengan
kemampuan daya serap dan daya adaptasi para pengurus kelembagaan desa dalam
menjalankan tugas ,fungsi dan kewenangannnya dalam pemberdayaan masyarakat
dan pembangunan desa. Namun tingkat pendidikan akan banyak ditunjang oleh
pengalaman yang telah digeluti sebelumnya. Bagaimana mengenai keadaan usia
responden, hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini.
TABEL : 4.2.
KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN USIA
LEMBAGA DESA
No.
U S I A PEM.DESA B P D L P M
F
%
1.
2.
3.
4.
5.
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59
60 ke atas
6
10
15
10
3
4
8
26
5
1
8
12
14
8
2
18
30
55
23
6
13,64
22,72
41,67
17,43
4,54
JUMLAH 44 44 44 132 100,00
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Melihat tabel di atas sebagian besar responden yang berusia 40-49
(41,67 %), disusul yang berusia 30-39 (22,72 %), dan yang paling sedikit
yang berusia 60 ke-atas (4,54 %). Hal ini menunjukkan bahwa para pengurus
lembaga desa sebagian besar relatif yang sudah berusia dewasa. Terkait dengan
usia ini umumnya mereka berada pada masa produktif.
TABEL : 4.3
KEADAAN RESPONDEN BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN
249
LEMBAGA DESA
No.
Mata Pencaharian PEM.DESA B P D L P M
F
%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Petani/Buruh tani
Guru
Pamong Desa
Wiraswasta/Dagang
PNS non Guru
Pensiunan
16
-
22
6
-
-
7
19
-
9
8
1
5
18
-
11
7
3
28
37
22
26
15
4
21,21
28,03
16,67
19,70
11,36
3,03
JUMLAH 44 44 44 132 100,00
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Dari tabel di atas, mempelihatkan sebagian besar responden bermata
pencaharian sebagai guru dan petani , disusul petani dan yang lainnya. Kondisi
mata pencaharian di desa sampel menunjukkan juga kecenderungan bahwa
masyarakat desa di kabupaten Cianjur masih didominasi mereka yang bekerja
sebagai guru dan petani. Hal ini dikarenakan guru dianggap sebagai salah satu elit
desa yang umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan kepekaan sosial yang
relatif lebih baik. Sedangkan para petani dilibatkan ,hal ini sejalan dengan
banyaknya kegiatan pembangunan desa yang berorientasi pada sektor pertanian.
Jenis mata pencaharian ini tentu akan memiliki keterkaitan dengan pola hidup
dan pola kerja dalam membangun desa.
4.3. Analisis Deskriptif Variabel Penelitian.
Bab ini menyajikan hasil penelitian yang dituangkan dalam
dua analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis statistik kuantitatif.
Analisis deskriptif berusaha menyajikan gambaran menyeluruh sesuai
dengan objek penelitian dan teori yang dijadikan rujukan untuk diuji
250
melalui data empiris yang diperoleh atas dasar hasil penyebaran
kuesioner, wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
Pendeskripsian dan analisis variabel didasarkan pada akumulasi
berbagai indikator dan dimensi yang diukur, selanjutnya
diinterpretasikan berdasarkan analisis data primer maupun sekunder.
Pengukuran atas variabel-variabel penelitian ditentukan berdasarkan
penilaian sikap, persepsi atau pandangan responden terhadap setiap
item pertanyaan yang diajukan kemudian data diolah dalam bentuk
tabulasi. Selanjutnya jawban setiap indikator terakumulasi dalam
dimensi dan akulmulasi dimensi tersebut merupakan kategori sikap
responden terhadap suatu variabel.
4.3.1 Variabel Komunikasi
Faktor komunikasi memegang peranan penting dalam upaya
pemberdayaan masyarakat terutama dalam menciptakan iklim perubahan yang
kondusif. Oleh karena itu, Kepala Desa sebagai sumber penyampai pesan harus
benar-benar tanggap terhadap informasi dan setiap kebijakan pembangunan dan
mampu menterjemahkannya ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh
masyarakat sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi yang tepat, dapat
memilih saluran media yang cocok serta menyediakan umpan balik untuk
mengetahui respon masyarakat. Dengan demikian, diharapkan mampu
menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang positip, adanya persepsi
yang sama dan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan pihak atau lembaga
251
lain yang terkait. Untuk mengungkap hasil penelitian dari sub variabel
komunikasi, pada tabel berikut disajikan data tersebut.
TABEL 4.4
VARIABEL KOMUNIKASI
( n= 132 )
NO. Jawaban KODE Fi
A B C D E
Xi fi.xi fi.xi KATEGORI
DIMENSI
KEMAMPUAN KOMUNIKATOR
1 Penyampaian pesan P1 4 53 29 30 16 1 2 3 4 5 4 106 87 120 80 397 Cukup
2 Daya tanggap pimpinan P 2 4 52 62 13 1 1 2 3 4 5 4 104 186 52 5 351 Cukup
3 Daya empati P 3 31 58 37 5 1 5 4 3 2 1 155 232 111 10 1 509 Tinggi
4 Katalisator P 4 6 42 73 10 1 5 4 3 2 1 30 168 219 20 1 438 Cukup
JUMLAH 1695 Cukup
DIMENSI PESAN
5 Kejelasan pesan P 5 17 72 39 3 1 5 4 3 2 1 85 288 117 6 1 497 Tinggi
6 Kesesuaian dengan sikon P 6 11 50 65 5 1 5 4 3 2 1 55 200 195 10 1 461 Tinggi
7 Mamfaat perubahan P 7 11 67 46 7 1 1 2 3 4 5 11 134 138 28 5 316 Rendah
JUMLAH 1274 Cukup
DIMENSI MEDIA
8 Saluran interpersonal P 8 7 44 71 9 1 5 4 3 2 1 35 176 213 18 1 443 Cukup
9 Forum pertemuan P 9 17 77 35 2 1 5 4 3 2 1 85 308 105 4 1 503 Tinggi
10 Intensitas pertemuan P 10 11 70 48 2 1 5 4 3 2 1 55 280 144 4 1 484 Tinggi
11 Pemanfaatan jaringan P11 4 52 48 24 4 5 4 3 2 1 20 208 144 48 4 424 Cukup
12 Pemamfatan media massa P12 24 62 39 6 1 5 4 3 2 1 120 248 117 12 1 498 Tinggi
JUMLAH 2352 Tinggi
DIMENSI KOMUNIKAN
13 Daya respon P13 18 59 45 9 1 5 4 3 2 1 90 236 135 18 1 480 Tinggi
14 Kemampuan berubah P14 15 63 46 7 1 1 2 3 4 5 15 126 138 28 5 312 Rendah
15 Jalinan hubungan P15 9 44 66 12 1 1 2 3 4 5 9 88 198 48 5 348 Cukup
Jalinan hubungan P16 9 44 60 18 1 1 2 3 4 5 9 88 180 72 5 354 Cukup
JUMLAH 1494 Cukup
DIMENSI UMPAN BALIK
16 Dukungan lingkungan P17 8 77 39 5 3 5 4 3 2 1 40 308 117 10 3 478 Tinggi
17 Suasana dialogis P18 14 49 50 16 3 5 4 3 2 1 70 196 150 32 3 451 Tinggi
18 Keterbukaan P 19 14 69 38 8 3 5 4 3 2 1 70 276 114 16 3 479 Tinggi
19 Tindak lanjut P20 9 29 28 52 14 5 4 3 2 1 45 116 84 104 14 363 Cukup
JUMLAH 1771
TOTAL SKOR SUB VARIABEL
858
6 Cukup
Sumber : Hasil Penelitian, 2007.
SV – X6 D16 D17 D18 D19 D20
Nilai indeks minimum = 1 X 20 x 132 = 2.640
Nilai indeks maksimum = 5 X 20 x 132 = 13.200
Range = 13.200 - 2.640 = 10.560
Jenjang range = 10.560 : 5 = 2.112
252
SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI
2.640 4.752 6.864 8.976 11.088 13.200
8.586
8.586 X 100% = 65%
13.200
Sumber : Hasil olah data, 2007.
Mengkaji tabel di atas, memperoleh gambaran bahwa tanggapan
responden dari sub variabel komunikasi menunjukkan hasil yang bervariasi dari
hasil perolehan masing-masing dimensi, namun dari apa yang diungkapkan dari
tabel tadi merupakan gambaran satu kesatuan yang saling berkaitan secara
komulatif. Menurut hasil pengolahan data, didapat skor total sebesar 8586 yang
berarti berada pada kategori cukup baik. Dari data tersebut bermakna, bahwa
kemampuan berkomunikasi Kepala Desa berdasarkan unsur-unsur komunikasi
yang diuji dapat dikatakan cukup berhasil dengan segala variasinya .
Dimensi Komunikator.
Ditinjau dari dimensi komunikator (P.1-4) yang menyangkut dalam
penyampaian pesan, daya tanggap, kemampuan menyampaikan pesan secara jelas
terhadap pesan-pesan pembangunan, daya empati dan sebagai katalisator, dari
data yang diolah cukup mendapat tanggapan yang positif dengan total skor
1695 yang berarti cukup tinggi
Dari data tersebut menunjukkan, bahwa kemampuan komunikasi
pimpinan sudah cukup baik, hal ini menurut pernyataan sejumlah responden, yaitu
“Karena Kepala Desa berkepentingan dalam melancarkan roda pemerintah dan
pembangunan, terutama yang berhubungan dengan implementasi kebijakan yang
telah digariskan dari tingkat atasnya yang senantiasa melibatkan setiap unsur
dalam masyarakat”.
253
Dari uraian di atas, yang jelas bahwa kemampuan daya tanggap Kepala Desa
dalam menerima dan menyampaikan setiap informasi kepada masyarakat melalui
media tertentu senantiasa diupayakan dan masyarakat pada umumnya mengetahui
sebagian dari informasi pembangunan yang tengah terjadi. Tapi itu semua belum
menjamin dapat merubah sikap dan tindakan masyarakat ke arah positif, jika tidak
dibarengi dengan sikap empathy dari kepala desa untuk mengatasi persoalanpersoalan
yang timbul di masyarakat, terutama untuk turut merasakan dan terjun
mengatasi masalah yang dihadapi warga. Sebab dengan sikap empathy tersebut
menurut Onong U. Effendi (1981 : 129), “Akan menimbulkan simpati, karena ia
dapat memahami frame of reference masyarakat, mengetahui waktu, situasi dan
kondisi yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan dan dapat memilih saluran
media yang cocok serta mau mendengar keluhan dari masyarakatnya”.
Dimensi Pesan .
Dari hasil olah data menunjukkan ,bahwa dari sisi penyampaian pesan (P5-7)
hasil olah data menunjukkan kategori cukup. Dari hasil olah data di atas,
diperoleh gambaran bahwa masih banyak ditemui mengenai kesulitan yang
dihadapi Kepala Desa dalam penyampaian pesan, selain karena kondisi
masyarakat yang sangat beragam dari segi kepentingan, waktu dan lokasi yang
jauh, juga kesibukan mengurus tugas-tugas sebagai Kepala Desa dan tugas-tugas
lain diluar sebagai Kepala Desa untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Karena
disamping menjadi Kepala Desa, ada pekerjaan lain seperti sebagai pedagang,
pengusaha, PNS dan sebagainya.
Dengan demikian memang diakui, bahwa sebagian responden menyatakan
masih banyak informasi penting yang kurang banyak diketahui, misalnya
254
mengenai penanganan BLT, Raskin, Program-program bantuan dari pemerintah.
Hal ini bisa menimbulkan suasana kurang kondusif terutama pada peran
lembaga desa lain sebagai mitra kerja .Hal ini menurut sejumlah responden
disebabkan Kepala Desa biasanya hanya menyampaikan pesan-pesan tertentu
terbatas pada orang-orang tertentu saja. Adanya selektifitas dalam penyampaian
informasi seperti ini, menurut penuturan pengurus lembaga desa tidak bisa
dikatakan salah, karena tidak setiap informasi layak untuk dikonsumsi oleh
semua masyarakat, namun jika ada hal-hal yang justru seharusnya diketahui
kemudian tidak disebarkan, hal ini bisa menimbulkan prasangka dan hubungan
yang kurang harmonis.
Penggunaan Media
Terkait hal tadi, jika diamati hasil penelitian di lapangan, mengenai kemampuan
Kepala Desa dalam menggunakan media dalam berhubungan dengan masyarakat
terutama tokoh masyarakat/ulama yang ada di desa, .dari pernyataan (P.8-12 )
diperoleh skor 2352 yang berarti dapat dikategorikan nilai tinggi.
Data tersebut menunjukkan betapa Kepala Desa dalam merangkul
masyarakat desa, melalui media dalam bentuk forum pertemuan, saluran
interpersonal dan pemamfatan jaringan masih banyak menghadapi kesulitan.
Tendensi ini nampak dalam upaya mengajak masyarakat dan kelompok
masyarakat yang ada masih bersifat parsial belum terintegrasi, baik secara
fungsional maupun struktural. Contoh konkrit misalnya, dalam upaya
menggalakkan swadaya masyarakat, penggalakan kegiatan PKK, pendirian dan
pengelolaan BUMDES, penyelenggaran Imunisasi, Pembinaan generasi muda dan
255
sebagainya. Menurut penuturan dari para pengurus lembaga desa biasanya bila
terjadi kebuntuan informasi, karena belum optimalnya intensitas dalam
pemamfatan media yang digunakan karena kendala di lapangan.
Dari sisi komunikan, bagaimana efektivitas komunikasi dari sisi
komunikan, terutama yang berkaitan dengan daya respon, kemampuan berubah,
jalinan hubungan secara internal maupun eksternal. Dari perhitungan hasil olah
data jumlah skor yang diperoleh dari (P.13- 16 ), menunjukkan persentase yang
dinilai sedang.
Tinggi rendahnya pemahaman masyarakat akan pesan-pesan yang
disampaikan dapat dilihat dari daya respon, sikap kemampuan dan jalinan
hubungan yang dibina. Dari daya respon masyarakat tentu sangat tergantung
dari banyak faktor diantaranya, nilai mamfaat stimulan, pengakuan, pemahaman
dan kesadaran masyarakat terhadap informasi yang diterima. Pandangan yang
menyatakan bahwa masyarakat desa pasip, apatis tidak selamanya benar, justru
dewasa ini dengan adanya perubahan konstelasi politik pada level atas, memiliki
implikasi pada masyarakat tingkat desa. Menurut penuturan dari pejabat
kecamatan bahwa “Masyarakat desa kini sudah semakin kritis, bahkan mampu
mengekspresikan diri dalam bentuk unjuk rasa melalui cara-cara tertentu yang
dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan pihak penguasa, cara mereka lebih
merupakan bentuk latah (peniruan) cara-cara yang mereka lihat dari mass media,
walaupun kadang tidak jelas arahnya sasarannya”.
Dari ilustarsi tersebut, mengisyaratkan bahwa masyarakat desa melalui
lembaga yang ada sebenarnya mulai menyadari hak, kewajiban dan
tanggungjawab sebagai masyarakat untuk kemajuan di desanya. Dari hasil
256
penelitian lapangan menunjukkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap
perubahan peran, fungsi dan misi kelembagaan desa sebenarnya belum banyak
dihayati oleh aparat pada khususnya dan masyarakat pada umumnya sebagai
sebuah perubahan yang substansial. Adanya perubahan pada struktur organisasi,
prosedur teknis yang diberlakukan dalam era otonomi ini, belum berimplikasi
pada perubahan nilai dan orientasi lainnya. Adanya sikap apatisme dan pasip
terhadap program yang dibangun oleh lembaga desa biasanya disebabkan adanya
ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Kepala Desa yang dipandang tidak
sesuai dengan harapan serta adanya kelompok oposisi dari simpatisan Kepala
Desa yang kalah dalam pemilihan Kepala Desa sebelumnya.
Selanjutnya dalam konteks peranan Kepala Desa sebagai penghubung
(linker) dengan sumber-sumber yang diperlukan , yaitu menyangkut hubungan
dengan lembaga-lembaga desa lain secara horizontal dan dan pihak-pihak supra
desa secara vertikal dalam soal pembangunan desa,kendatipun hal ini dilakukan
tapi belum optimal. Sebenarnya membangun hubungan antar lembaga desa amat
penting mengingat dalam era desentralisasi, seorang Kepala Desa sebagai
pemimpin tidak lagi menjadi penguasa tunggal, tapi dalam setiap tindakan harus
mampu berkolaborasi dengan lembaga desa lainnya sebagai mitra dan lembaga
supra sebagai pembina.
Dari hasil olah data mengenai hubungan kerja dengan lembaga pembina
menunjukkan tingkat kategori sedang. Hal ini bermakna kendatipun upaya-upaya
untuk melakukan hubungan kerja itu ada, namun cenderung lebih merupakan
kegiatan rutin belum terstruktur yang mengarah pada upaya perubahan signifikan
terhadap keberdayaan masyarakat yang mampu secara kreatif dan mandiri.
257
Untuk mengungkap umpan balik, yakni bagaimana sikap masyarakat
terhadap berbagai pesan yang disampaikan, perlu diketahui umpan balik yang
dapat menimbulkan dampak dan perubahan tingkah laku serta dukungan
masyarakat. Dari hasil olah deskriptif diperoleh keterangan sebagian responden
memberi tanggapan yang positif.(P17-20 ).
Hal ini diperlihatkan dari jawaban responden dengan jumlah skor 1771
yang berarti cukup. Perolehan nilai ini perlu dikritisi dengan mengungkap
terlebih dulu tentang bagaimana suasana dialogis yang dibangun di tingkat
desa ketika terjadi stagnasi informasi yang berakibat pada lambatnya dalam
penanganan masalahan yang harus segera dipecahkan.
Data tersebut agak berbeda dari hasil wawancara dengan para pengurus
LPM, BPD yang menyebutkan : “Pada dasarnya masyarakat senantiasa
mendukungan terhadap upaya pembangunan untuk kemajuan desa, namun itu
semua sangat tergantung bagaimana pihak pemerintah dalam menciptakan
suasana dialogis, keterbukaan dan tindak lanjut dari apa yang telah diusulkan atau
disepakati bersama”. Suasana dialogis tercipta bila semua pihak memandang
adanya rasa saling percaya untuk membangun rasa kebersamaan.
Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya sikap dan
dukungan masyarakat terhadap pembangunan desa masih cukup tinggi, walaupun
dukungan tersebut karena adanya mobilisasi dari aparat untuk ikut terjun
membantu dalam pembangunan sarana dan prasana fisik. Dalam masyarakat
masih ada pandangan bahwa urusan pembangunan merupakan urusan pemerintah.
Persepsi semacam ini terpatri cukup lekat, akibat sentralisasi politik
258
pembangunan oleh pemerintah sebelumnya (Orde Baru) demikian dominan,
sehingga akses kehidupan lembaga desa menjadi amat terbatas.
Persoalan seperti itu tentu bukan merupakan tanggung jawab pada pundak
Kepala Desa semata, tapi menjadi tanggung jawab semua pihak yang
berkompeten terhadap “survivenya” lembaga desa dalam menjalankan fungsi dan
peranannya dalam pembangunan desa, terutama tim Pembina Lembaga Desa oleh
pemerintah supra desa.
4.3.2. Variabel Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan
Perdesaan.
Untuk menganalisis derajat pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan, dengan mengacu pada kerangka pemikiran sebelumnya, dalam
penelitian ini dilihat dari 4 dimensi, yakni dimensi pemberdayaan sosial, politik,
,ekonomi dan psikologis (Friedmann, 1992 : 33; Ndraha, 2000: 80-81).
Mendorong pemberdayaan masyarakat berarti memberi ruang bagi pengembangan
kreasi ,potensi dan inovasi masyarakat, memberi peluang masyarakat untuk
mengakses terhadap sumber-sumber dan pelayanan publik, memberi ruang bagi
partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Berdasarkan hasil olah data, diperoleh deskripsi sebagai berikut :
TABEL 4.5
VARIABEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(n= 132)
NO. JAWABAN KODE fi
A B C D E
xi fi.xi fi.xi KATE
GORI
DIMENSI
PEMBERDAYAAN SOSIAL
20 Akses terhadap informasi P21 8 54 68 1 1 1 2 3 4 5 8 108 204 4 5 329 Rendah
21 Kemudahan dalam pelayanan P22 14 74 41 2 1 5 4 3 2 1 70 296 123 4 1 494 Tinggi
22 Keswadayaan P23 20 60 40 8 4 5 4 3 2 1 100 240 120 16 4 480 Tinggi
23 Pemeliharaan gotong royong P24 15 56 58 2 1 1 2 3 4 5 15 112 174 8 5 314 Rendah
259
24 Kerjasama sinergis P25 11 29 70 20 2 5 4 3 2 1 55 116 210 40 2 423 Cukup
JUMLAH 2040 Cukup
DIMENSI
PEMBERDAYAAN POLITIK
25 Kemampuan bargaining P26 5 42 76 8 1 5 4 3 2 1 25 168 228 16 1 438 Cukup
26 Pemamfaatan wewenang P27 4 39 80 8 1 5 4 3 2 1 20 156 240 16 1 433 Cukup
27 Peran aktif P28 16 78 35 2 1 5 4 3 2 1 80 312 105 4 1 502 Tinggi
28 Pemihakan P29 16 65 46 4 1 1 2 3 4 5 16 130 138 16 5 305 Rendah
JUMLAH 1678 Cukup
DIMENSI
PEMBERDAYAAN EKONOMI
29 Pemanfaatan bantuan P30 1 40 52 35 4 1 2 3 4 5 1 80 156 140 20 397 Cukup
30 Realisasi bantuan. P31 30 78 22 0 2 5 4 3 2 1 150 312 66 0 2 530 Tinggi
31 Kelancaran berusaha P32 23 66 38 4 1 5 4 3 2 1 115 264 114 8 1 502 Tinggi
32 Kemampuan daya beli. P33 14 82 34 2 0 1 2 3 4 5 14 164 102 8 0 288 Rendah
JUMLAH 1717 Cukup
DIMENSI
PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS
33 Sikap terhadap perubahan P34 1 35 72 23 1 5 4 3 2 1 5 140 216 46 1 408 Cukup
Sikap terhadap perubahan P35 4 36 66 24 2 5 4 3 2 1 20 144 198 48 2 412 Cukup
34 Tanggung jawab. P36 8 81 26 9 8 5 4 3 2 1 40 324 78 18 8 468 Tinggi
35 Kemandirian P37 15 40 51 21 5 5 4 3 2 1 75 160 153 42 5 435 Cukup
37 Keyakinan P38 14 69 37 9 3 5 4 3 2 1 70 276 111 18 3 478 Tinggi
JUMLAH 2201 Cukup
TOTAL SKOR SUB VARIABEL 7636 Cukup
Sumber : Hasil penelitian, 2007.
SV – Y D21 D22 D23 D24
Nilai indeks minimum = 1 X 18 x 132 = 2.376
Nilai indeks maksimum = 5 X 18 x 132 = 11.880
Range = 11.880 - 2.376 = 9.504
Jenjang range = 9.504 : 5 = 1.901
SANGAT RENDAH RENDAH CUKUP TINGGI SANGAT TINGGI
2.376 4.277 6.178 8.078 9.979 11.880
7.636
7.636 X 100% = 64%
11.880
Sumber :Hasil olah data,2007
Mencermati hasil penelitian berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan
bahwa keberdayaan masyarakat dalam pembangunan yang dilihat dari 4 dimensi
menunjukkan tingkat kemampuan yang secara umum cukup memberi harapan,
dengan skor yang diperoleh sebesar 7636.
4.3.2.1. Pemberdayaan Sosial.
260
Dari dimensi keberdayaan sosial yang diperlihatkan dari (P.21-25)
mengisyatkan bahwa kemampuan masyarakat dalam melakukan berbagai
kegiatan terutama keterlibatan baik secara individu maupun kelompok dalam
proses pembangunan desa sudah cukup memadai. Hal ini bisa ditelusuri dari hasil
penelitian dari beberapa indikator yakni dari akses masyarakat terhadap
informasi, pelayanan, derajat keswadayaan, pemeliharaan nilai gotong royong
dan kerjasama sinergis, ternyata responden memberi tanggapan cukup baik,
dengan skor yang diperoleh 2040 yang berarti cukup.
Hal ini berarti bahwa secara sosiologis masyarakat desa memiliki
kemampuan untuk melakukan interaksi dan pertukaran informasi antar anggota
maupun komunitas organisasi baik secara horizontal maupun vertikal. Lembaga
desa sebagai pengejawantah dari wadah interaksi sosial tentu memberi sarana
bagaimana masyarakat desa dapat mengaktualisasikan diri dalam ranah kehidupan
sehingga terjadi simbiose mutualistik.
Hasil tabulasi data sebagaimana tersurat dalam tabel, menunjukkan bahwa
akses masyarakat terhadap informasi belum sepenuhnya kondusif. Padahal
seperti diketahui, bahwa informasi merupakan bagian penting yang tidak
terpisahkan dalam suatu sistem sosial yang terbuka. Akses informasi akan
bermamfaat manakala masyarakat membutuhkannya. Dari hasil wawancara ada
kesan bahwa “Untuk beberapa informasi penting kadang-kadang ada pihak
tertentu yang sengaja menyembunyikan apabila informasi itu dipandang dapat
memicu reaksi masyarakat, karena menyangkut hal-hal yang sensitif. Contohnya
tidak semua kalangan pengurus lembaga desa mengetahui bagaimana dana
bantuan itu diterima dan digulirkan oleh Kepala Desa. Dan bagi masyarakat desa
261
sendiri kadang-kadang tidak begitu mempedulikan apa yang dilakukan oleh
pemerintah desa, selama tidak merugikan dan mengusik ketenteraman dan
kepentingan mereka. Ini artinya dari aspek keberdayaan sosial kesadaran
masyarakat tentang pentingnya akses informasi terhadap sumber-sumber daya
dan pelayanan masih dirasakan belum begitu nampak menjadi kebutuhan.
Selanjutnya, mengenai keswadayaan masyarakat dalam pembangunan
desa, dari hasil tabulasi data , memperlihatkan bahwa keswadayaan masyarakat
tersebut terkait dengan jenis/sifat program yang akan dikerjakan. Dari hasil
pengamatan dan wawancara dengan responden diperoleh keterangan “Selama ini
dirasakan masih ada pandangan keliru dari masyarakat, seolah-olah urusan
pembangunan adalah urusan pemerintah. Jika ada bantuan atau pinjaman dari
pemerintah dianggap sebagai pemberian hadiah (charity) yang dalam
pengelolaanya kadang-kadang kurang terkontrol dengan baik”. Hal ini terungkap
dari program-program pembangunan, terutama pembangunan sarana fisik seperti
jalan, sarana pendidikan, sarana kesehatan biasanya mereka membantu sebatas
tenaga. Itupun bila mereka bekerja biasanya mengharapkan imbalan (materi)
walaupun tidak didasarkan pada perhitungan yang wajar.
Namun hasil tabulasi data mengenai keswadayaan ini menunjukkan
kategori tinggi dengan skor 494. Melalui penelusuran wawancara diperoleh
keterangan, bahwa relatif tinggirnya keswadayaan, umumnya lebih banyak pada
program-program pembangunan yang bernuansa keagamaan, derajat
keswadayaannya masih tergolong tinggi. Sedangkan untuk program-program
yang sifatnya proyek, masyarakat desa umumnya menuntut imbalan seperlunya.
262
Kemudian mengenai pemeliharaan nilai gotong royong, dapat dikatakan
masyarakat masih memandang sebagai sebuah keniscayaan dalam arti masih
dianggap penting. Gotong royong dipelihara sebagai bagian dari proses kehidupan
yang memberi mamfaat ketika sumber-sumber daya yang diperlukan semakin
langka. Namun , seiring adanya perubahan dan dinamika kehidupan terdapat
kecenderungan kesadaran gotong royong masyarakat desa dalam membangun
mulai pudar. Dari tabulasi data berada pada kisaran rendah ke sedang.
Kendati demikian, dari sisi kerjasama kelompok masih dikatakan cukup
kental, mengingat kerjasama kelompok biasanya terfokus pada suatu pekerjaan,
urusan tertentu serta adanya saling ketergantungan. Sebagai contoh ketika
didesa akan diadakan perbaikan prasarana jalan, jembatan, ibadah, lomba
kebersihan, perayaan biasanya masyarakat mengikuti dan aktif dalam kegiatan
tersebut. Hanya keterlibatan dalam persoalan yang memerlukan pemikiran,
perubahan sebagian besar masyarakat kurang merespon dengan baik . Oleh
karena itu, pendekatan terhadap upaya pemberdayaan sosial , harus melibatkan
tokoh masyarakat, lembaga dan kelompok-kelompok masyarakat melalui
pendekatan keagamaan atau religius. Melalui pendekatan religius, dipandang
pendekatan yang lebih “matc” karena kultur dan sikap masyarakat desa di
Cianjur yang religius dan paternalistik. Jadi bila tokoh masyarakat (Kiai,Ustadz)
mendukung terhadap suatu program/perubahan yang disampaikan pemerintah
melalui lembaga desa, maka masyarakat akan lebih mudah menerima pula
terhadap program /kebijakan tersebut.
4.3.2.2. Pemberdayaan politik
263
Pemberdayaan masyarakat desa dari dimensi politik, yakni bagaimana
para pengurus lembaga desa mampu dengan wewenang yang diberikan mampu
melakukan bargaining,memanfaatkan wewenang dan dukungan terhadap program
dan pemihakan pada masyarakat. Berdasarkan hasil tabulasi data (P.26-29 )
menunjukkan bahwa dimensi pemberdayaan politik masyarakat berada pada
kategori cukup dengan skor 1678.
Dengan melihat data di atas, bahwa kondisi keberdayaan politik
masyarakat dalam penyusunan dan implementasi program melalui lembaga desa
yang diwakili oleh para pemimpin lembaga belum sepenuhnya mampu
melakukan bargaining power dengan para pengambil keputusan (decision maker)
lembaga supra desa, memanfaatkan wewenang dan pemihakan dalam
menggoalkan kepentingan masyarakat.
Kemudian mengenai seberapa besar lembaga desa mampu memamfaatkan
wewenang yang ada, apakah sudah benar-benar dijalankan dengan optimal,
berdasarkan hasil olah data memperlihatkan, masyarakat umumnya memberi
tanggapan sangat variatif namun cenderung cukup positip. Bahwa Kepala Desa
belum sepenuhnya memamfaatkan wewenang sesuai dengan batas kemampuan
yang ada. Kepala Desa sesuai kewenangan yaitu memimpin, membina,
mengatur, mengkordinasikan dan memfasilitasi dalam manajemen pemerintahan
dan pembangunan (pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005).
Sedangkan bidang manajemen pemerintahan dan pembangunan berfungsi
merencanakan, menjalankan dan mempertanggungjawabkan kepada pihak-pihak
tertentu.
264
Berdasarkan jawaban responden, bahwa lembaga Trimitra desa belum
sepenuhnya dapat menjalankan fungsi secara optimal. Adanya perubahan peran
dan fungsi kelembagaan desa yang baru belum menunjukkan perubahan kinerja
dari lembaga desa terutama menyangkut keberdayaan politik. Hal ini sebagaimana
dikatakan oleh pejabat kecamatan :
“Perubahan UU tentang otonomi daerah yang berimbas ke desa dalam
perjalanannya belum dapat direspon seperti yang diharapkan, kewenangan
yang dimiliki lembaga desa, dalam prakteknya kini tidak jauh berbeda
dengan sebelumnya. Hanya kini masyarakat memiliki keberanian untuk
mengekspresikan sikapnya dalam bentuk unjuk rasa, namun kemampuan
untuk menyusun program-program yang betul-betul aspiratif serta “mach”
dengan kebijakan pemerintah masih perlu pembinaan lebih lanjut”.
Adapun dari segi keaktifan anggota lembaga desa dalam memperjuangkan
aspirasi dalam proses pembangunan dipandang positip dengan kategori tinggi .
Hal ini dapat dilihat dari semakin aktifnya para pengurus lembaga desa dalam
menjalankan fungsinya masing-masing dengan telah menghasilkan berbagai
kegiatan, program-program pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.
Meski diakui tidak semua program yang disepakati dapat terealisasi, mengingat
keterbatasan-keterbatasan SDM, dana yang tersedia. Oleh karenanya, dukungan
birokrasi sangat penting, tentu dengan fungsi dan peranan yang berbeda dengan
era sebelumnya. Peran pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan
tunggal dalam melakukan perubahan, tetapi lebih sebagai fasilitator, motivator
dalam pembangunan.
4.3.2.3. Pemberdayaan Ekonomi
Dari dimensi pemberdayaan ekonomi hasil olah data (P.30-33), memiliki
variasi nilai yang secara komulatif berada pada kategori cukup.
265
Data di atas memperlihatkan bahwa keberdayaan ekonomi masyarakat
desa di Kabupaten Cianjur melalui perolehan bantuan, memanfaatkan untuk
melakukan usaha agar daya beli meningkat belum menunjukkan kemampuan
seperi yang diharapkan. Dari segi kesempatan mendapat bantuan, baik secara
komulatif melalui desa maupun secara individu itu sangat bergantung dari jenis
program yang diluncurkan. Ada program bantuan yang bersifat pemerataan
artinya diberikan kepada seluruh desa, misalnya seperti program Dana Bantuan
Pembangunan Desa (PDBD). Namun ada juga program -program dari pemerintah
yang sifatnya selektif, seperti Program Pengembangan Kecamatan, Program IDT
dan sebagainya.
Sedangkan dari segi kelancaran usaha dan pemanfatan bantuan
, hal ini berkenaan dengan kondisi masyarakat desa pada umumnya
masih rendah kemampuan jiwa entrepreneur untuk mengusahakan
pemamfatan modal, sehingga tidak sedikit pinjaman tidak bisa
diusahakan bahkan dikembalikan karena usaha macet atau digunakan
untuk keperluan lain yang tidak sesuai dengan sasarannya. Selain
itu, pada umumnya usaha diperdesaan, seperti usaha dagang, usaha
tani, atau jasa pertukangan biasanya kalah bersaing dengan pengusaha
luar yang lebih kuat dan berpengalaman. Menurut penuturan tokoh
masyarakat yang duduk dalam seksi perekonomian LPM :
“Masyarakat desa pada umumnya memiliki sedikit ketrampilan
dan pengalaman dalam usaha dengan skala usaha yang terbatas,
usaha seperti ini sangat rentan terhadap persaingan mutu dan
harga, gangguan alam seperti puso, masa peceklik, dan
minimnya modal usaha, sehingga kendati dari sisi usaha
menuntut kerja keras, tapi tetap saja tidak menjamin
keberlangsungan usaha ke depan”.
266
Oleh karena itu, pentingnya kelembagaan desa yang membidangi
urusan ekonomi masyarakat yakni selain untuk melindungi dari
kemungkinan persaingan yang tidak sehat, juga agar usaha mereka
tetap survive dengan segala keterbatasannya.
Adapun menyangkut daya beli masyarakat di Kabupaten
Cianjur, menurut laporan publikasi Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) Kabupaten Cianjur tahun 2006 menyebutkan “Walaupun secara
kuantitas ada peningkatan pendapatan, akan tetapi daya beli riil yang
diakibatkan oleh inflasi nilai rupiah termasuk daya beli masyarakat,
ternyata belum bisa mendongkrak daya beli masyarakat secara
signifikan”. (Bappeda & BPS Kabupaten Cianjur, 2006 : 25).
Dari perkembangan 5 tahun terakhir terjadi penurunan tajam
setelah tahun 2001, tepatnya Indeks Daya Beli masyarakat tahun
2001 (57,56), tahun 2002 turun menjadi (52,63), tahun berikutnya ada
kenaikan tipis yakni tahun 2003 (53,09), tahun 2004 (53,17) dan tahun
2005 (53,86). Jika dibandingkan dengan Indeks Daya Beli kabupaten
lain di Jawa Barat, Kabupaten Cianjur masih berada di bawah Jawa
Barat, yakni tahun 2005 sudah mencapai (59,18).
4.3.2.4. Pemberdayaan Psikologis
Selanjutnya dari dimensi pemberdayaan psikologis, bahwa
pemberdayan masyarakat tidak hanya ditentukan oleh akses
masyarakat terhadap sumber-sumberdaya, modal (dana), tapi berkaitan
dengan pembentukan perilaku yang sadar akan potensi diri dan daya
267
yang dapat dikembangkan dengan memotivasi ke arah yang lebih baik.
Dari dimensi psikologis, pemberdayaan berarti juga bagaimana
mengukur sikap masyarakat terhadap perubahan, tanggungjawab
terhadap kemajuan lembaga dan program-program yang telah
direncanakan, kemandirian dan keyakinan untuk melakukan voice,
kontrol untuk kemajuan lingkungan dimana mereka berada.
Dari hasil olah data lapangan, hasil perhitungan data deskriptif
(P.34-38) menunjukkan nilai skor 2201, ini berarti masuk kategori
cukup.
Bila dilihat secara cermat tinggi rendahnya pemberdayaan
pskilogis ini variatif. Seperti bagaimana sikap masyarakat dalam
merespon perubahan , umumnya mereka masih relatif lambat. Hal ini
berdasarkan hasil kaji empiris, umumnya masyarakat lambat menerima
perubahan, dikarenakan selain mereka tidak memiliki cukup akses
terhadap informasi, terbatasnya relasi sosial dengan lingkungan supra
struktur, masih lekatnya nilai-nilai tradisional yang kurang kondusif
serta sikap depensif (menunggu) terhadap apa-apa yang belum jelas
dan terbukti mamfaatnya.
Pemberdayaan berarti juga adanya sense of belonging dari
warga masyarakat terhadap lembaga desa dan seluruh produk
kebijakannya. Rasa memiliki sesungguhnya bisa mengikat manakala
aspirasi mereka terakomodasi oleh lembaga-lembaga desa yang ada.
Dari hasil olah data sebagian masyarakat merasa bahwa terikat atau
tidaknya mereka pada kelembagaan desa yang ada amat tergantung
268
dari citra lembaga desa itu sendiri dimata masyarakat. Citra lembaga
desa tercermin seberapa besar lembaga mampu memberi manfaat,
menjadi alat penyalur dan memberi layanan pada masyarakat. Selama
keberadaan lembaga desa hanya mengurus dirinya dan membuat jarak
dengan masyarakat tentu akan berpengaruh pada dukungan pada setiap
program/kegiatan yang dibuat. Dari pengamatan di lapangan, tingginya
tanggapan masyarakat karena keberadaan lembaga desa kendati belum
mampu sepenuhnya memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan
dan pembangunan, namun secara umum masyarakat tetap memandang
bahwa bagaimanapun lembaga desa secara psikologis merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari tata kehidupan sosial dalam
memperjuangkan, mempertahankan nilai-nilai maupun menyalurkan
aspirasi masyarakat.
Berdasarkan olah data pada dan hasil wawancara dengan tokoh
masyarakat “Pada umumnya masyarakat senantiasa mendukung
terhadap program-kebijakan pembangunan yang dibuat pemerintah,
besar kecilnya dorongan mereka untuk mendukung dan berperan aktif
sangat tergantung sejauhmana pemimpin (Kepala Desa beserta
jajarannya) mau memperhatikan kebutuhan mereka”.
4.4 Pengujian Hipotesis Pengaruh Komunikasi terhadap
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Desa di
Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
269
Dalam uraian ini penulis akan melakukan pengujian secara statistik
dari variabel yang diidentifikasikan . Dari hasil perhitungan dengan
menggunakan SPSS 15, didapat koefisien korelasi variabel Komunikasi
terhadap variabel pemberdayaan masyarakat dengan hasil r = 0,3735,
ini berarti terdapat hubungan yang cukup kuat antara dimensi
komunikasi dengan pemberdayaan masyarakat. Karena nilai r
korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan yang linear positif, semakin
besar nilai dimensi komunikasi maka semakin besar pemberdayaan
masyarakat.
Berdasarkan pengujian dengan menggunakan path analysis
menunjukkan adanya pengaruh Komunikasi terhadap Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Y). , seperti ditunjukkan dari
hasil perhitungan ternyata diperoleh koefisien sebesar 0,3735,
koefisien determinasinya sebesar 0,2107. Hal ini berarti bahwa 0,2107
proporsi variabel pemberdayaan masyarakat diterangkan oleh variabel
komunikasi, hubungan ini signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Ini
berarti, semakin efektif proses komunikasi akan semakin tinggi pula
derajat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan.
Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Soesilo Zauhar (1984 : 64)
yang menyimpulkan adanya korelasi yang positif antara komunikasi dengan
pemberdayaan masyarakat desa. Inti dari hubungan ini jelas sebagaimana
dikonsepsikan dari tujuan pengembangan lembaga desa, yakni agar organisasi
beserta pembaharuannya dapat diterima dan didukung oleh lingkungan
masyarakatnya. Sedangkan penerimaan ataupun dukungan lingkungan tersebut
270
hanya mungkin terjadi jika adanya proses penyampaian pesan, gagasan atau
pembaharuan yang dihantarkan lembaga desa terhadap lingkungan
masyarakatnya.
Dengan demikian, adanya aliran informasi intra dan ekstra dalam
lembaga desa yang bukan hanya sebagai sasaran instruksi, pembinaan
semata dari pihak pemerintah supra desa, tetapi juga sebagai wahana
penyalur aspirasi dan partisipasi masyarakat (komunakan) secara
timbal balik. Tersedianya umpan balik seperti itu memungkinkan untuk
diketahuinya sikap atau respon dari pihak yang terlibat yang dapat
menimbulkan perubahan persepsi, sikap, tindakan ke arah yang lebih
baik.
271
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Setelah penyusun menguraikan analisis pembahasan dalam penelitian ini,
maka berikutnya akan dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Komunikasi yang dijalankan oleh pimpinan (kepala desa) dari beberaopa
dimensi yang diukur secara deskripstif menunjukkan hasil yang positif (
tinggi) . Ini menunjukkan bahwa faktor komunikasi pada umumnya telah
berjalan dengan baik, kendati pada beberapa diimensi masih relatif cukup.
2. Pemberdayaan masyarakat sebagai proses perubahan sikap, nilai, dan tindakan
kearah kemandirian dapat ditumbuhkan melalui “proses belajar”, memperoleh
kategori tinggi.
3. Berdasarkan penelitian faktor komunikasi dari sisi proses berdasarkan hasil uji
statistik melalui dimensi kemampuan komunikator, media, pesan, komunikan
dan feed back menunjukan pengaruh signifikan terhadap pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan. Sumbangan faktor komunikasi relatif cukup
berarti, hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pemberdayaan masyarakat
diperlukan interaksi dan hubungan kerja timbal balik yang efektif baik secara
internal maupun eksternal dengan berbagai pihak terkait, sehingga setiap
kebijakan dapat diterima, diaktualisasikan kedalam realitas program.
272
5.2 Saran
1. Hendaknya setiap produk-produk lembaga desa berupa usulan program, baik
yang bersifat fisik maupun non fisik benar-benar dipertimbangkan dalam
rapat-rapat koordinasi pembangunan di tingkat atasnya. Pemberian program
dengan model blue print (cetak biru) yang sudah diplot secara detail dan
bersifat uniformitas oleh lembaga supra desa, hendaknya tetap harus
mengindahkan kemampuan dan kebutuhan variasi lokal. Dengan demikian,
nilai dan strategi dari model bottom up planning yang dipadukan dengan top
down planning bukan hanya slogan yang menjurus pada formalitas belaka,
tetapi benar-benar diimplementasikan dalam wujud nyata.
2. Untuk memberi motivasi, semangat dan kerjasama yang baik, guna terbinanya
konsolidasi ke dalam dan ke luar serta menghindari perbedaan persepsi dan
prasangka-prasangka yang timbul dalam masyarakat, sudah sewajarnya
apabila Kepala Desa sebagai dinamisator dan fasilitator dapat menciptakan
suasana keterbukaan dan kebersamaan. Disamping itu, perlu menciptakan
untuk saling pengertian, saling menerima dan memberi, misalnya dalam
bentuk rangsangan (insentif) ataupun penghargaan yang dapat dirasakan oleh
masyarakat sebagai nilai tambah dari pengorbanan dan keikutsertaan mereka
dalam membantu kelancaran, akselerasi dan kesinambungan pembangunan
desa yang bersangkutan.
3. Kemudian bagi para teoritisi, diharapkan adanya pengkajian dan penelitian
lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat dalam kaitan dengan faktor
lain yang belum diteliti.
273
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, Harun, 1994, Statistika Sosial, Penyunting : Teguh Kismantoroadji,
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Black, James A., and Dean J. Champion, 1976, Methods and Issues in Social
Research, New York, London, Sydney, Toronto : John Wiley & Sons,
Inc.
Breton, Margot, 1994, Relating Competence : Promotion and Empowerment,
Journal of Progressive Human Services, 5 (1),27-45.
Bryant, Coralie dan White , 1989, Manajemen Pembangunan untuk
Negara Berkembang (terjemahan), Jakarta : LP3ES.
Chambers, Robert, 1988 , Pembangunan Desa: Mulai dari belakang
(terjemahan), Jakarta, LP3ES.
Cohen, John M. & Uphoff ,1977, Rural Development Participation :
Concepts and Measures for Project Design, Implementation and
Evaluation, New York, Ithaca : Cornell University.
Craig,Gary and Mayo, 1993, Community Empowerment A Reader in
Participation and Development, London,Zed Book
.
Combs, Phillip H & Manzoor, 1980, Memerangi Kemiskinan di Pedesaan
melalui Pendidikan Non Formal ( terjemahan ) Jakarta, YIIS.
Davis, Keith, 1979, Human Behavior at Work Organizational Behavior, McGraw-
Hill Publishing Company, Ltd.,New Delhi.
Dubois ,Brenda & .Miley, 1992, Social Work : An Empowering Profession,
Boston : Allyn and Bacon.
Effendy, Onong Uchjana, 1981, Kepemimpinan Dan Komunikasi, Bandung :
Alumni.
____________________, 1989, Human Relations dan Public Relations dalam
Management, Bandung : Alumni.
____________________, 1998, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Bandung,
Remadja Rosda Karya.
Eko, Sutoro, 2004, Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta
: APMD Press.
274
Friedenberg, Lisa, 1995, Psychological Testing ; Design , Analysis, and Use,
Singapore : Allyn and Bacon.
Friedmann, John., 1992, Empowerment : The Politics of Alternative Development,
Cambridge : Blacwell.
Gibson, James L, Ivancevich dan Donnely , 1994, Organisasi dan Manajemen,
Perilaku, Struktur Proses, (terjemahan ) Edisi keempat, Jakarta :
Erlangga.
Hanna, M.G. and Robinson, 1994, Strategies for Community Empowerment :
Direct-Action and Transformative Approaches to Social Change Practice,
New York : The Edwin Mellen Press.
Hawkins, Briant L, Preston, Paul, 1981, Managerial Communication, Santa
Monica California, Goodyear Publishing Company,Inc.
Juwanto, Gunawan, 1985, Komunikasi Dalam Organisasi, Yogyakarta : Pusbang
Manajemen Andi Offset.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat (Memadukan
Pertumbuhan & Pemerataan), Jakarta : CIDES.
___________________, 1997, Administrasi Pembangunan : Perkembangan
Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES.
Ndraha, Talizuduhu, 1981, Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Di
Berbagai Desa, Jakarta : Yayasan Karya Prisma.
Prijono, Onny S, Pranarka (ed), 1996, Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi, Jakarta : Centre for Strategic and International Studies
(CSIS).
Rogers, Everett .M &. Shoemaker, 1981, Komunikasi Inovasi, Suatu Pendekatan
Lintas Sektoral, (Terjemahan), Yogyakarta : Kelompok Diskusi UGM.
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofian, 1989, Metode Penelitian Survey, Jakarta
: LP3ES.
Smeltzer, Larry Waltman, John, Leonard Donald, 1991, Managerial
Communication a Strategic Approach, USA, Ginn Press.
Suharto, Edi, 1997, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial,
Spektrum Pemikiran, Bandung : LSP,STKS.
__________, 2005, Membangun Masyarakat MemberdayakanRakyat : Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Bandung, Refika Aditama.
275
Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan,
Yogyakarta : Gava Media.
Sumaryadi, I Nyoman, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom &
Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta, Citra Utama.
Sumodiningrat, Gunawan, 1998, Membangun Perekonomian Rakyat, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar Offset.
_____________________, 1999, Pemberdayaan Masyarakat & JPS, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Supriatna, Tjahya, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Jakarta : PT.
Asdi Mahasatya.
Tjokroamidjojo, Bintoro, Mustopadidjaya , 1988, Kebijaksanaan Dan
Administrasi Pembangunan, Jakarta : LP3ES.
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1991, Pengantar Administrasi Pembangunan, Jakarta :
LP3ES.
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1993, Politik Pembangunan Sebuah Analisis, Konsep,
Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana.
____________________, 1999, Pembangunan : Dilema Dan Tantangan,
Yogyakarta : Tiara Wacana.
SUMBER LAINNYA.
Akadun, 2002, Model Keberdayaan Aparatur Birokrasi Dalam Rangka
Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintah di Kabupaten
Bandung, Bandung, Disertasi Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Menko Kesejahteraan Rakyat RI , 2006, Sambutan pada Seminar Wokrshop
Nasional: “Transformasi kebijakan Publik dan Bisnis dalam upaya
Memecahkan Problem Kemiskinan di Indonesia, Kerjasama Fisip Unpar
dan Badan Kerjasama Lembaga Pengembang Ilmu Adm.se-Indonesia,
Makalah, Bandung.
Rusidi, 1996, Metodologi Penelitian (Diktat Kuliah), Bandung : Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Peraturan Perundangan dan Dokumen Lainnya
276
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah,
Jakarta.
Peraturan Pem. RI Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa , Jakarta, CV Citra Utama.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004- 2009, Jakarta,
Sinar Garfika .
Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2001, Rencana Strategis Badan
Pemberdayaan Masyarakat Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun
Anggaran 2001-2005, Bandung.
Pemerintah Daerah Cianjur, Program Pembangunan Daerah 2001- 2005
Kabupaten Cianjur.
Keputusan Bupati Cianjur Nomor 28 Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Lembaga
Kemasyarakatan di Desa.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 08 Tahun 2002 Tentang Rencana
Strategis Kabupaten Cianjur.
Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur Nomor 6 tahun 2006, Tentang Organisasi
dan Tata Pemerintahan Desa
277
L A M P I R A N
Angket
PENGARUH KOMUNIKASI
TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAAN
di Kabupaten Cianjur
_______________________________________________
Petunjuk pengisian :
1. Berilah tanda silang (X ) pada jawaban yang sesuai dengan pendapat
Bapak/Ibu atau kenyataan yang sebenarnya.
2. Kami mohon semua pertanyaan dapat diisi
3. Lembaga desa disini yakni yg tergabung dalam Tri-mitra
(Pemdes,BPD,LPM)
Identitas responden
Nomor responden : …………………………..
Umur : ……. tahun
Jenis kelamin : laki-laki / Perempuan *)
Pekerjaan tetap : ………………………………..
Unsur Lembaga Desa : Pemdes /BPD /LPM *).
Jabatan : …………………………
Pendidikan Terkhir : SD/ SLTP/ SLTA/ D-3/ S-1/ S-2 *)
Pelatihan yang pernah diikuti : …………………………….
===================================================
VARIABEL : KOMUNIKASI
I. Dimendi Kemampuan komunikator
1. Kepala desa selama ini karena kesibukannya, sehingga tidak semua
pesan/informasi dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
2. Dengan banyaknya tuntutan atau keluhan masyarakat, selama ini kepala
desa nampaknya kurang begitu respon dalam mengatasi masalah tersebut.
278
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
3. Dalam menarik simpati masyarakat untuk melakukan perubahan, apakah
kepala desa senantiasa ikut terjun langsung dalam menghadapi hal
masalah yang dihadapi selama ini ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
4. Dalam memecahkan masalah pembangunan desa,apakah Kepala desa suka
mempertemukan antara masyarakat dengan pejabat yang berwenang. ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
B.Dimensi Pesan
5. Dalam penyampaian informasi atau pesan-pesan pembangunan yang
disampaikan Kepala Desa, sering menimbulkan berbagai kesalahpahaman
? Apakah itu dirasakan Bapak/Ibu.
a. Selalu d. Jarang/hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
6. Dalam penyampaian pesan –pesan pembangunan melalui berbagai forum
pertemuan, bisanya Kepala desa dalam penyampaiannya senantiasa
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
7. Setiap pesan-pesan pembangunan/kebijakan yang baru selama ini
masyarakat belum merasakan mamfaatnya .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
C. Dimensi Media
8. Dalam mengadakan pendekatan kepada masyarakat oleh Kepala Desa ,
apakah suka dilakukan secara informal (melalui anjang sana atau
mengajak bicara secara pribadi, misalnya) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
279
9. Menurut Bapak/Ibu apakah forum pertemuan (seperti pengajian) ,apakah
digunakan dalam menyampaikan pesan oleh Kades ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
10. Forum pertemuan dengan para tokoh masyarakat , apakah sering dilakukan
oleh kepala desa ?
a. Selalu d. Jarang
b. Sering e. Hampir tidak pernah
c. Kadang-kadang
11. Dalam melakukan hubungan kerja keluar, apakah memamfaatkan jaringan
hubungan kerja melalui forum-forum lain (paguyuban,asosiasi) ?
a. Selalu memamfaatkan d. Hampir tidak memanfaatkan
b. Sering memamfaatkan e. Tidak pernah memanfaatkan
c. Kurang memamfaatkan
12. Selain pesan atau informasi pembangunan yang diterima dari para pejabat
yang berwenang, apakah Bapak/Ibu sering memanfaatkan dari sumber
media massa (TV, Radio) ?
a. Selalu d. Jarang sekali
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
D. Dimensi Komunikan
13. Dalam menerima setiap perubahan kebijakan, bagaimana kemampuan
lembaga desa dalam menanggapi terhadap perubahan tersebut .
a. Selalu merespon dengan baik d. Hampir tidak pernah
b. Sering merespon e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
14. Selama ini perubahan - perubahan yang terjadi di lembaga -lembaga desa
nampaknya sangat lambat. Setujukah dengan hal tgersebut .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
15. Apakah hubungan yang dilakukan Kepala Desa dengan
organisasi/lembaga sosial lain yang selevel (BPD,LPM, PKK, LSM)
nampak banyak menemui kesulitan ?
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
16. Dengan keadaan desa yang tersebar ke berbagai pelosok , apakah
hubungan kerja dengan pemerintah tingkat atasnya banyak menghadapi
hambatan (kesulitan) ?
280
a. Sangat menghambat d. Tidak menjadi hambatan
b. Menghambat e. Tidak menghambat sama sekali .
c. Cukup menghambat
E. Dimensi Umpan balik
17. Bagaimana dukungan lingkungan masyarakat terhadap langkah-langkah
yang dilakukan lembaga–lembaga desa yang ada ?
a. Selalu mendukung d. Hampir tidak pernah mendukung
b. Sering mendukung e. Tidak pernah mendukung
c. Kadang-kadang mendukung
18. Dalam memecahkan persoalan pembangunan di desa, menurut
pengalaman apakah ada suasana dialogis (saling bertukar pikiran) antara
Kepala Desa dengan semua elemen lembaga yang ada termasuk tokohtokoh
masyarakat desa ?
1. Ya, selalu d. Jarang sekali
2. Sering e. Tidak pernah
3. Kadang-kadang
19. Dalam acara penyampaian informasi atau laporan pertanggung jawaban,
sudah tercermin adanya suasana keterbukaan/saling pengertian ?
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidaka setuju
c. Ragu-ragu
20. Dari hasil musyarawarah yang telah disepakati , bagaimana tindaklanjut
dari setiap permasalahan yang dihadapi .
a. Selalu d. Hampir tidak pernah
b. Sering; e. Tidak pernah
c. Kadang-kadang
VARIABEL PEMBERDAYAAN
A. Dimensi Sosial
21. Selama ini masyarakat masih merasa sulit memperoleh informasi yang
diperlukan dalam rangka ikut mengontrol kinerja pemerintah desa.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. sangat tidak setuju
c. Kurang setuju
22. Menurut Bapak/Ibu, apakah selama ini masyarakat mendapat
kemudahan memperoleh layanan dari pemerintah sesuai dengan harapan
a. Sangat sesuai d. Tidak sesuai
b. Sesuai e. sangat tidak sesuai
c. Kurang sesuai
281
23. Bila diperhatikan apakah bantuan yang diberikan pemerintah baik dana
maupun teknis sudah mampu memancing swadaya masyarakat yang
lebih besar ?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sama sekali tidak mampu
c. Kurang mampu
24. Dengan adanya perubahan pengaturan/kebijakan tentang lembaga desa
(Pemdes,LPM,BPD) tidak berdampak positip pada tatanan gotong
royong masyarakat .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
25. Menurut Bapak/Ibu, dengan perubahan kebijakan ,apakah lembaga desa
lebih memperlihatkan kemampuan kerjasama secara sinergis dengan
lembaga supra desa (Kec/Pemda ) ?
a. Sangat mampu d. Kurang mampu
b. Mampu e. Tidak mampu
c. Cukup mampu
Dimensi Politis
26. Dari pengamatan Bapak/Ibu, para pengurus lembaga desa semakin
mampu untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
27. Menurut pendapat Bapak/Ibu apakah keberadaan lembaga desa dalam
menjalankan fungsi & wewenangnya telah sesuai dengan apa yang
diharapkan ?
a. Sangat sesuai d. Kurang sesuai
b. Sesuai e. Tidak sesuai
c. Cukup sesuai
28. Seberapa besar peranserta aktif masyarakat untuk menjalankan program
pembangunan desa melalui wadah kelembagaan desa yang ada ?
a. Sangat aktif d. Tidak aktif
b. Aktif e. Sangat tidak aktif
c. Kurang aktif
29. Selama ini , program bantuan pemerintah dalam pelaksanaannya kurang
menyentuh kepada kelompok warga yang miskin.
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
282
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
Dimensi ekonomis
30. Adanya bantuan-bantuan dari pemerintah .menurut pengalaman dari sisi
pemanfaatan masih belum sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai .
a. Sangat setuju d. Kurang setuju
b. Setuju e. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
31. Bagaimana kemampuan lembaga desa dapat merealisasikan bantuan atau
program yang diperoleh dari pemerintah tingkat atasnya?
a. Sangat mampu d. Tidak mampu
b. Mampu e. Sangat tidak mampu
c. Kurang mampu
32. Menurut Bapak/Ibu, seberapa besar program-program pembangunan telah
dirasakan warga masyarakat untuk kelancaran berusaha .
a. Sangat dirasakan d. Tidak dirasakan
b. Dirasakan e. Sangat tidak dirasakan.
c. Kurang dirasakan
33. Dengan program bantuan pemerintah, kondisi daya beli masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan belum ada kemajuan berarti .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
b. Setuju e. Sangat tidak setuju.
c. Ragu-ragu
Dimensi Psikologis
34. Bagaimana umumnya sikap masyarakat terhadap upaya-upaya inovasi
yang disampaikan pemerintah melalui lembaga di tingkat desa. ?
a. Sangat lambat d. Cepat
b. Lambat e. Sangat cepat
c. Agak lambat
35. Dengan perkembangan pembangunan yang semakin cepat berubah ini,
seberapa besar kemampuan Lembaga desa dalam menselaraskan dengan
tuntutan-tuntutan tadi ?
a. Umumnya mampu menyelaraskan a. Kurang mampu
b. Sebagian mampu b. Tidak mampu menyelaraskan
c. Sebagian kecil
36. Dengan posisi Bapak/ Ibu dalam kepengurusan lembaga desa saat ini,
dirasakan tanggungjawab semakin bertambah .
a. Sangat setuju d. Tidak setuju
283
b. Setuju e. Sangat tidak setuju
c. Ragu-ragu
37. Apakah ada kesan selama ini, bahwa pemerintah desa beserta lembaga
desa lainnya masih terlalu banyak menggantungkan diri dari uluran
tangan pemerintah ?
a. Selalu tergantung d. Tidak begitu tergantung
b Sering tergantung e. Tidak tergantung
c Kadang-kadang
38. Apakah Bapak/Ibu yakin dengan perkembangan peranan lembaga desa
seperti ini kemajuan pembangunan desa ini akan segera dapat dicapai ?
a. Sangat yakin d. Tidak yakin
b. Yakin e. Sangat tidak yakin
c. Kurang yakin
==== Terima kasih ====
284
285
Tidak ada komentar:
Posting Komentar